
“‘Siapakah Anda sebenarnya?” Itulah pertanyaan yang mendasari serial film berjudul ‘Messiah’ yang rilis di laman Netflix awal tahun 2020. Film itu menceritakan kehadiran seorang yang menyatakan dirinya sebagai mesias (Kristiani) yang datang ke dunia untuk kedua kalinya. Atau jika dalam anggapan orang Islam, dia datang sebagai al-Masih. Meskipun dia menyatakan diri bahwa kedatangannya dengan tujuan yang baik, namun yang terjadi adalah sebaliknya, kedatangannya menciptakan kerusuhan di semua lini kehidupan manusia. Termasuk masalah keyakinan, sosial dan geopolitik.
Film yang digarap oleh Michael Petroni, Mark Burnett, dan Roma Downy ini melibatkan beberapa tokoh dalam mengungkap kekacauan yang terjadi. Di antaranya ada agen CIA Eva Geller (Michelle Monaghan), agen intelijen Palestina Aviram Dahan (Tomer Sisley), seorang pendeta dari Texas Felix Iguero (John Ortiz), putri pendeta Rebecca Iguero (Stefania LaVie Owen), pengungsi Palestina Jibril Medina (Sayyid El Alami) dan jurnalis Miram Keneally (Jane Adams).
Konflik film ini terjadi di dua tempat, yakni Palestina dan Amerika Serikat. Palestina menjadi latar pertama dengan kemunculan pertama kalinya sang mesias di Damaskus, Suriah. Sang mesias menggunakan konflik yang terjadi di Suriah untuk menarik perhatian masyarakatnya. Sebelumnya, dia berkhutbah tentang keyakinan dan ketuhanan selama satu bulan, tanpa makan dan minum. Hal itu membuat para penduduk yang merasakan dampak dari konflik, lantas percaya dengan apa yang diucapkan sang mesias dan meyakininya sebagai al-Masih. Dan pada akhirnya, sebanyak 2000 orang mengikuti perintah sang mesias untuk berjalan menyusuri gurun menuju Yerussalem, Palestina. Perjalanan mereka berakhir di perbatasan Yerussalem dengan ditawannya para pengikut sang mesias oleh petugas perbatasan dan ditahannya sang mesias oleh intelijen Palestina. Namun, ketika sang mesias ditahan, dia berhasil meloloskan diri tanpa sepengetahuan agen intelijen yang bertugas. Hal itu diketahui oleh para pengikutnya yang tertawan di perbatasan. Walhasil, sebagian pengikutnya memilih kembali dan tidak memercayainya lagi sebagai al-Masih. Dan sebagian lagi memilih menetap dengan tetap yakin bahwa al-Masih akan mendatangi mereka kembali, termasuk Jibril Medina yang merasa dirinya-lah yang terpilih oleh al-Masih.
Setelah sang mesias kabur dari Palestina dan menjadi buronan, agen CIA Eva Geller berhasil melacak dan menemukannya di Texas. Adegan sang mesias yang menyelamatkan sebuah gereja kecil di Texas dari tornado menarik perhatian pendeta gereja tersebut, Felix Iguero dan masyarakat sedunia. Mereka juga meyakini bahwa dia adalah sang mesias yang diutus oleh Tuhan untuk mereka. Hingga akhirnya mereka berkenan mengikutinya pergi ke Washington bersama keluarga pendeta. Dan mereka semakin yakin bahwa dia adalah sang mesias, setelah mereka melihatnya berjalan di atas air. Mereka menganggap hal itu sebagai mukjizat, seperti halnya ketika dia di Palestina yang berhasil menghidupkan kembali seorang anak yang mati terkena tembakan.
Di salah satu dialog sang mesias saat di Washington, seorang jurnalis, Miram Keneally menanyakan kebenaran identitas sang mesias. Namun pertanyaan tersebut tidak mendapatkan jawaban yang sesuai. Sang mesias semakin mengelak ketika Miram terus memojokkannya dengan pertanyaan senada. Hal itu membuat Miram semakin curiga dengan identitas seseorang yang mengaku sebagai mesias dan berhasil mempengaruhi ribuan orang. Eva Geller juga merasakan hal yang sama dengan Miram. Eva terus menyelidiki identitas dari sang mesias dan dia berhasil menemukannya. Eva menemukan identitas sang mesias yang ternyata mempunyai hubungan dengan seorang teroris yang bernama Wallace.
Gambaran Skeptis-Parokial
Di salah satu episode, ketika sang mesias berada di Washington, terdapat sebuah adegan dimana seorang mahasiswa studi Islam mengetahui kabar sang mesias mampu berjalan di atas air. Kabar itu membuat si mahasiswa merasa bimbang dengan keyakinan yang telah ia anut. Hal tersebut juga sama dengan yang dialami oleh Felix. Dia semakin meragukan bahwa sang mesias yang telah ia percayai adalah sang mesias yang telah dikabarkan di alkitabnya. Jibril Medina juga mengalami hal yang sama ketika ibunya meninggal akibat terkena serangan dari pemberontakan di Damaskus.
Saya menyimpulkan, apa yang dialami beberapa tokoh di atas adalah bentuk dari perilaku skeptis. Seperti adegan yang menunjukkan mahasiswa tersebut memilih untuk meninggalkan al-Qurannya dan tertarik melihat kegiatan doa yang diadakan sebuah gereja. Hal yang hampir senada juga dialami oleh Felix. Setelah dia menyadari jika ada masalah internal dalam keluarganya, dia mulai meragukan kebenaran identitas sang mesias. Padahal, sebelumnya dia memercayainya. Secara garis besar bisa saya katakan, bahwa ada dua bentuk perilaku skeptis yang terjadi di atas. Contoh skeptis yang pertama merupakan gambaran skeptis dalam konotasi negatif. Dimana skeptis tersebut mengubah karakter seseorang dari yang sebelumnya yakin berubah menjadi sangsi atas apa yang telah diyakini. Padahal jika meminjam bahasa Dr. Muhammad Utsman al-Khusyt, seharusnya skeptis dapat membebaskan seseorang dari kesesatan interpretasi yang salah, dengan catatan orang tersebut menggunakan pola pikir yang metodologis. Sementara contoh skeptis yang kedua adalah bentuk skeptis dalam konotasi positif.
Di dalam buku ‘Nahwa ta’sîsi ‘ashri diny jadîd’, Dr. Utsman juga mengungkapkan, bahwa ada dua macam pembagian sikap skeptis (as-syak). Yang pertama adalah skeptis-parokial (as-syak al-madzhaby). Skeptis ini juga dikenal sebagai bentuk absolut dari skeptis yang keberadaannya hanya mengingkari kebenaran secara general. Mereka berpendapat, bahwa seseorang tidak akan mampu mengetahui kebenaran suatu perkara. Akal manusia juga merupakan indra yang lemah untuk mengungkap kebenaran tersebut. Bisa saya katakan, bahwa skeptis ini hanya menghadirkan sangsi pada personal seseorang, tanpa mempunyai ambisi untuk mencari jawaban yang sebenarnya.
Yang kedua adalah skeptis-metodologis (as-syak al-manhajy). Sikap skeptis yang kedua ini menjadi sebuah perantara untuk sampai pada kebenaran/hakikat suatu perkara. Ia hadir pada diri manusia sebagai perasaan sangsi atas kerancuan suatu hal dan menjadi medium untuk mengamati dan menemukan hakikat atas kesangsian yang dialami. Ini juga yang dikatakan oleh al-Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam Mizân al-‘Amal-nya, bahwa sikap skeptis seharusnya mengantarkan pada kebenaran yang ada. Jika seseorang tidak merasa sangsi, maka ia tidak akan mempunyai ambisi untuk mempelajarinya. Ia juga tidak akan mengamati, kemudian pada akhirnya akan tetap dalam keadaaan kebutaan dan kesesatan atas sangsinya.
Kembali ke contoh perilaku skeptis yang kedua. Skeptis tersebut saya golongkan sebagai skeptis dalam konotasi positif, sebab perilaku tersebut bisa mencerminkan skeptis-metodologis yang seharusnya dilakukan. Dimana pendeta Felix bisa meyakinkan dirinya terhadap kebenaran identitas sang mesias. Sebut saja asal perbuatan skeptis tersebut adalah semacam pertanyaan ‘Siapakah Anda sebenarnya?’ seperti apa yang ada di awal paragraf. Maka, sudah tepat jika mengatakan sikap skeptis-metodologis yang di alami Felix sudah berhasil menjawab pertanyaan tersebut.
Syahdan, bentuk skeptis kedua inilah yang seharusnya diimplementasikan pada diri kita. Selain hal itu memang harus dilakukan oleh seseorang yang berada di kalangan akademik, itu juga untuk menunjukkan hakikat manusia yang sebenarnya. Manusia normal tidak akan mau terjebak dalam pusaran kesesatan atas suatu hal yang sangsi. Maka dengan mempunyai pemikiran metodologis, kita bisa membebaskan diri dari turbulensi kesangsian pemahaman. Dan menunjukkan bahwa skeptis-metodologis bukan sebuah kesangsian yang disebabkan oleh ketidaktahuan, ataupun kekacauan berpikir dan kesalahan interpretasi.