Opini

Polemik Dai; Sertifikat dan Menyebarkan Agama

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme menyebutkan tingkat radikalisme di Indonesia di atas 10 persen. Dari polemik dai televisi, maraknya radikalisme dan isu-isu arus transnasional lain Kementrian Agama (Menag) mewacanakan sertifikasi dai atau sertifikat ulama.

Sertifikat dai sudah diwacanakan sejak 2019 oleh KH. Ma’ruf Amien sebelum Fachrul Razi. Tujuan pembentukan sertifikasi dai salah satunya ialah melahirkan penceramah yang bersih dari akar-akar radikal dan berideologi pancasila. Menag memang melibatkan Lembaga Ketahanan Nasional, Badan Pembina Ideologi Pancasila, Badan Penanggulan Terorisme dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), namun sertifikasi dai masih menimbulkan kegaduhan di masyarakat.

Salah satu badan yang dengan tegas menolak pernyataan tersebut adalah MUI. MUI menolak dan menegaskan bahwa program tersebut menimbulkan kegaduhan. Selain itu, agama juga berpotensi disetir oleh beberapa pihak sebagai alat mengontrol agama.

Dai dan Kepentingannya
Ketika sertifikasi dai diberlakukan, elemen seperti ormas-ormas agama dan masyarakat harus lebih aktif dalam menggalakkan ideologi agar beriringan dengan pancasila. Hemat saya, ada beberapa poin yang harus menjadi pertimbangan dalam menjalankan program tersebut.

Pertama, dai ialah orang yang mengajarkan agama untuk kemaslahatan umat. Dai digadang sebagai posisi netral terhadap pemerintah dan pereda konflik politik. Tapi, sertifikasi di atas menimbulkan beberapa spekulasi adanya campur tangan dari pihak-pihak yang berkeinginan tertentu. Berdakwah adalah bentuk menjaga agama yang diturunkan oleh Allah SWT melalui lisan, mencakup asal-usul agama dan berakidah. Begitu juga pengingat jalan untuk mereka yang tersesat.

Berbeda dengan dai alumni al-Azhar. Mereka independen dari politik maupun pemerintah. Sertifikasi dai dikhawatirkan menjadi alat kontrol kehidupan beragama yang disetir oleh golongan tertentu.

Selain itu, pengajar agama yang bersertifikat menimbulkan beberapa spekulasi, di antaranya jaminan tunjangan tetap dari pemerintah. Dari tunjangan tersebut, seolah dai harus mengabdikan dirinya kepada pemerintah, selain kepada masyarakat. Dalam surat al-Syu’ara; 109, Allah menjelaskan untuk tidak menginginkan atau berharap imbalan terhadap apa yang telah dia berikan (ajarkan). Dari hal tersebut, ada beberapa yang menggolongkan dai sebagi pekerjaan tetap yang diharuskan untuk memberikan imbalan.

Kedua, berbeda pandangan dalam haluan. Latar belakang Indonesia yang terdiri dari beberapa afiliasi juga menjadi kendala dalam sertifikasi dai, karena banyaknya afiliasi yang diakui negara juga tidak bisa dijadikan patokan dalam standarisasi beragama. Selain dari latar belakang haluan yang berbeda juga berpengaruh dalam memberikan fatwa. Hal ini tentu menjadi kendala dalam memberikan standarisasi yang searah dalam berdakwah.

Jika MUI diposisikan sebagai lembaga otoritatif serta penguat dalam keagamaan dan afiliatif, MUI dituntut untuk objektif dalam memberikan standar kepada dai-dai. Begitu juga dalam menetapkan standarisasi yang diterima oleh masyarakat. Upaya tersebut sebagai bentuk ikhtiar agar orang dalam lingkup MUI jauh dari akar-akar radikalisme. Lantas, siapa yang akan memberikan sertifikasi?

Ketiga, generalisasi dai. Sertifikasi dai diberikan kepada para 8.000 dai di 34 provinsi dan 200 dai di pusat pemerintahan. Kekurangan dalam wacana ini adalah bagaimana kiai-kiai desa mendapatkan sertifikasi dai, jika daerahnya tidak terjamah pemerintah?

Pemerataan sertifikasi dai tidak bisa dilakukan secara sembrono. Sebagai penyeimbang hidup, keselarasan dalam dai juga tidak bisa dilakukan kecuali penyelarasan dalam ideologi Pancasila. Jika diibaratkan, dai menjadi coach. Sedangkan alat yang digunakan itu adalah jalan atau afiliasi, serta tujuannya gunung atau akhirat. Untuk bisa naik kuda menuju gunung kita membutuhkan coach untuk bisa naik ke kuda yang mengantarkan ke gunung yang kita tuju melalui jalan yang diarahkan coach tersebut. Setiap coach mempunyai cara masing-masing dalam memeberikan arahan anak didiknya. Disitulah peran dai sebagai pengajar umat.

Dari tiga poin di atas, ukuran cakap dan tidaknya seorang dai diukur dari cara pandang masyarakat sebagai audiens dalam menilai dai tersebut. Masyarakat bisa menilai berdasarkan materi yang disampaikan. Dari sini, sertifikasi dai bukanlah solusi efektif dalam menyiarkan agama. Masyarakat perlu bimbingan yang langsung turun ke lapangan dibanding laku-laku formal-birokrasional.

Back to top button