Esai

Konversi Keberagamaan Umat Kekinian

Ketika membincang kedudukan manusia sebagai seorang hamba di hadapan Tuhannya, tentu tidak akan lepas dari media penghantarnya, yakni agama; untuk mengenal eksistensi Tuhan Yang Maha Segalanya. Agama yang sejatinya memuat titah Tuhan, pesan perdamaian dan segala aspek adiluhung, menjadi relasi ‘keyakinan’ yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya. Tentunya, sikap manusia untuk meyakini suatu ajaran merupakan identitas murni bahwa ia memiliki keyakinan final dalam hidupnya—tentang agama, ajaran ataupun paham, meski ia seorang agnostik. Mereka lantas memahami bahwa ada entitas yang transeden di luar dirinya sendiri.

Ada satu ramalan menarik dari psikolog terkemuka Amerika Serikat abad 20, James Willian, dalam bukunya The Varities of Religious Experience, yang membahas identitas murni manusia dalam sikap keberagamaannya. Ia menyatakan bahwa “Meski ‘sains’ boleh jadi melakukan apa saja terhadap kecenderungan tersebut, manusia akan tetap bersembahyang hingga akhir masa. Dorongan naluriah untuk bersembahyang adalah konsekuensi, ia hanya menemukan kawan yang menentramkannya dalam kehidupan yang ideal.”

Tentunya, dorongan itu tidak hanya terekam pada seorang agamawan yang sedari awal sudah baik-baik saja, tetapi berlaku untuk semua. Yang perlu digarisbawahi ialah, dorongan itu juga muncul dari seseorang yang merasa jengah dengan persoalan yang berkaitam dengan materi maupun kehidupan sekuler. Lalu dengan sadar, ia berkeinginan untuk kembali ke satu hal yang membuatnya menemukan tujuan hidup, yakni semangat beragama dan kecenderungan untuk menegaskan bahwa ia seorang penganut agama yang baik. Jika hal ini dirasa tidak berlebihan, belakangan ini kita menemukan gejala beragama semacam ini terjadi di kehidupan masyarakat urban dan kawula muda.

Corak perubahan sikap masyarakat urban dan kawula muda dalam identitas beragamanya disebut konversi agama, yakni perubahan menuju ke arah yang dianggapnya sebagai penyelamat. Konversi ini ditandai dengan perubahan emosi yang temporal secara mendalam maupun dangkal. Maka tidak ayal, jika sarjana Psikologi Agama menandai bahwa sikap demikian dijadikan sebagai lompatan untuk menuju jalan yang dianggapnya benar.

Proses psikologi konversi agama dimulai dari perasaan gelisah (unrest), baik dari lingkup eksternal maupun internal. Perasaan ini muncul akibat ekses-ekses yang justru dibawa oleh pesatnya kemajuan sains, teknologi dan kehidupan sekuler, yang menjadi penyebab utama terjadinya konversi agama. Perasaan hampa, pudarnya kesetiaan pada nilai-nilai adiluhung, kecenderungan berlomba-lomba untuk lebih hebat, ketimpangan dan segresi sosial, merupakan dampak dari kehidupan yang dulu dianggap ideal. Sebagai konsekuensi, mereka mencari titik penentram dari pelbagai problem di atas, yakni agama.

Setelah melalui tahapan unrest ini, lambat laun tumbuh sikap kepasrahan dan ketundukan untuk mengikuti agama secara mutlak. Tumbuhnya sikap pasrah ini ia alami dengan alasan logis, bahwa ia telah menemukan jalan yang dianggap dengannya bisa termaafkan semua dosa dan merasa dekat dengan Tuhan. Perkembangan selanjutnya, wajah konversi ini terlihat jelas pada realisasi dan ekspresi keberagamaan; pada perilaku kesehariannya, kata-katanya, serta pola pikirnya. Umumnya, mereka tidak segan-segan menampakkan, bahwa ia adalah seorang beragama yang baik di depan publik.

Gejala masyarakat yang bersemangat untuk kembali ke agama, menjadi kesepakatan munculnya kebangkitan agama yang tidak dapat dibendung. Sayangnya, fenomena kebangkitan agama ini lebih cenderung ke arah fundamentalisme maupun radikalisme, yang notebenenya dianggap “anak jadah” dari agama itu sendiri. Fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di dunia Islam saja, melainkan beberapa agama mengalami fenomena kelahiran “anak jadah” dalam rahim agama, yang dianggapnya penghambat dari ejawantah misi agama yang bersifat pluralis.

Penyebab larinya masyarakat urban dan kawula muda ke arah fundamentalisme ataupun radikalisme ialah akibat dari ekses-ekses yang membuat mereka jengah untuk melihat kehidupan sehari-harinya. Mereka terbius dengan dakwah guru-guru yang secara frontal mudah menyematkan label takfiri kepada kelompok yang tidak sepaham, mengotak-kotakkan paham yang lebih islami dan satu-satunya jalan penyelamat manusia untuk kehidupan selanjutnya. Mereka terbawa kepada ajaran fundamentalistik, tekstualis dan klaim kebenaran sepihak yang absolut.

Paradigma beragama yang mereka lihat tersebut bersifat integrasi total. Dimana sikap beragama bertumpu pada doktrin-doktrin takfirisme dan pemahaman apa-apa yang tidak sesuai dengan dasar al-Quran maupun Hadits sudah barang tentu salah. Nah, doktrin-doktrin semacam itu dipastikan berakar pada cara pandang terhadap agama yang menekankan pada aspek-aspek “keras” hukum keagamaan. Semisal, tidak ada hukum selain hukum Allah, serta budaya Islam Nusantara yang tidak tercantum dalam dua sumber agama dianggapnya “musyrik”. Sikap beragama semacam itu lebih menitikberatkan pada permasalahan teologis-tekstualis dan mengesampingkan ajaran Islam yang bersifat spiritualitas.

Tidak sedikit persoalan yang dianggapnya sebagai hal-ihwal teologis justru menumbuhkan sikap eksklusif, radikalis dan tertutup. Model keberagamaan seperti ini menjadi peringatan bagi cendekiawan yang mengaku moderat untuk membumikan wajah Islam yang tidak hanya fokus pada persoalan teologis, tapi juga berupaya menghadirkan wajah Islam yang spiritualistik. Di sisi lain, masyarakat urban dan kawula muda yang kecantol kajian hijrah di lingkungan kampus, kudu selektif dalam mengikuti ulama atau guru yang memang kapasitas keilmuan agamanya mumpuni.

Dalam ajaran dakwah para guru yang melulu pembahasannya teologis-tekstualis, terkadang melupakan esensi ajaran Islam yang bersifat teosofi-spiritualistik. Kita tidak beranggapan bahwa ajaran Islam yang teologis itu tidak penting, ihwal ini kita sepakati bahwa persoalan teologis memiliki kedudukan yang urgen sebagai salah satu rukun beragama. Akan tetapi, kebanyakan para guru tersebut cenderung luput membahas dan mengkaji satu terma agama yang bersifat spiritualitas, yang biasa kita pahami dengan ihsân.

Sejatinya, kealpaan itu  sudah disinggung dalam Hadits yang cukup familiar dan panjang yang menjelaskan beberapa pondasi (rukun) beragama dalam Islam. Hadits ini derajat kesahihannya diakui sarajana muslim serta tercatat di dalam kitab Shahîh Muslim. Dengan kata lain, Hadits ini biasa disebut dengan Hadits Jibril. Redaksi Hadits tersebut menerangkan, bahwasanya ada sosok laki-laki (Jibril) yang datang bertanya kepada Nabi Muhammad tentang rukun iman, rukun Islam dan rukun ihsan. Sahabat ketika itu terheran-heran, kenapa orang ini bertanya kepada Nabi Muhammad dan membenarkan jawaban Nabi Muhammad? Lantas, Nabi Muhammad, pasca-kepulangan sosok laki-laki tadi mengatakan bahwa ia adalah Jibril yang sedang mengajarkan kepada para Sahabat tentang agama Islam.

Satu hal yang mudah dipahami dari penjelasan Hadits di atas, bahwa penyebutan tiga pondasi dalam Islam merupakan satu buhul yang tidak dapat dipisahkan antar-satu sama lain. Jika kita cermati, bahwa sisi spiritualitas dan moralitas dalam beragama terletak pada rukun ihsan yang terkadang terabaikan oleh umat Islam. Padahal, puncak dalam beragama adalah ketika seseorang meyakini Tuhan dalam lingkup rukun iman, serta mengerjakan rukun Islam dengan baik, lalu mengamalkannya dengan cinta—seolah-olah ia beribadah melihat Tuhan—sebagaimana termanifestasikan dalam rukun ihsan.

Saya meminjam istilah dari Haidar Bagir, bahwa ihsan itu persoalan mengerjakan amal saleh dengan cinta. Yakni, melakukan amalan paling sempurna, paling indah, menghadirkan Tuhan dalam setiap ibadah yang berkaitan dengan keintiman dan membangun solidaritas sesama umat manusia. Para sarjana muslim tidak membatasi bahwa makna dari beribadah hanya berkutat pada pelaksanaan rukun Islam saja, justru lebih dari itu yakni mengetahui hakikat Tuhan (ma’rifatullâh) atas dasar cinta.

Seseorang yang sudah kadung cinta kepada Allah, otomatis ia memahami bahwa ibadah yang termanifestasi dalam Islam tidak menonjolkan sisi teologi yang berkaitan dengan Tuhan semata. Justru lewat rukun ihsan ia mengerti bahwasanya ajaran Tuhan tentang welas asih kepada sesama juga dicatat sebagai kesempurnaan iman seseorang. Saya mengambil pernyataan Imam Ghazali dalam Bidâyah al-Hidayah, dimana pernyataan ini terilhami dari Hadits Nabi Muhammad, “Seseorang tidak akan sampai pada hakikat keimanan, apabila ia tidak mencintai segenap umat manusia seperti ia mencintai dirinya sendiri.”

Kiranya, dengan ihsan ini agama benar-benar menjadi oase di tengah kehidupan manusia. Ini bukan berarti pembahasan Islam spiritualitas mengesampingkan persoalan teologi, justru puncak dari keimanan seseorang terletak pada rukun ihsannya, setelah ia behasil mengejawantahkan rukun iman dan Islam. Sudah saatnya dakwah yang berisi doktrin takfirisme maupun yang berpusat pada persoalan teologi ditangkal dengan dengan dakwah spiritualitas Islam yang lebih menitikberatkan ibadah dengan cinta, welas asih dan keimanan paripurna.

Back to top button