Menyikapi Kisruh Demokrasi di Indonesia

Iklim pemerintahan dan suhu perpolitikan Indonesia seperti daerah yang sedang dilanda badai. Suasananya riuh, kisruh dan terjangan “angin” demonstrasi terus melanda berbagai daerah di Indonesia. Agaknya seperti itulah ungkapan yang bisa untuk menggambarkan kondisi Indonesia sekarang ini. Sejak Kamis (8/10/2020) lalu, berbagai kalangan dari masyarakat Indonesia turun ke jalan sebagai bentuk demonstrasi terhadap pemerintah. Di antaranya yang turun ke jalan adalah para buruh, mahasiswa dan para pelajar. Aksi demo tersebut sebagai bentuk penolakan terhadap sikap DPR dan pemerintah yang dianggap otoriter dengan adanya kebijakan Omnibus Law RUU Cipta Kerja (Ciptaker).
Istilah omnibus law sendiri pertama kali dimunculkan saat pidato pertama Presiden Joko Widodo usai dilantik sebagai Presiden RI untuk kedua kalinya, Minggu (20/10/2019). Dalam pidatonya waktu itu, Jokowi menyinggung sebuah konsep hukum perundang-undangan yang lantas disebut Omnibus law.
Omnibus Law RUU Ciptaker kemudian resmi disahkan menjadi undang-undang pada Senin (5/10/2020). Prosesnya yang terbilang sangat mulus, yakni kurang dari setahun sejak dikenalkan Jokowi pada (20/10/2019) menimbulkan banyak persepsi negatif. Oleh sebagian besar pihak, undang-undang ini dirasa terlalu dini untuk diresmikan, rapat yang diagendakan pada 8 Oktober pun tiba-tiba dimajukan jadi 5 Oktober. Selain itu proses pembahasannya terbilang tertutup, tidak transparan dan pembahasannya dilakukan beberapa pihak saja.
Dari sisi pemerintah, tujuan dari Omnibus Law Ciptaker adalah untuk membuat lapangan kerja seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia. Semua ini bertujuan untuk memenuhi kehidupan yang lebih layak dan menciptakaan indonesia yang maju dalam sektor ekonomi. Omnibus Law Ciptaker memberikan beberapa manfaat terhadap perekonomian Indonesia, para pelaku usaha, maupun para pekerja. Nyatanya, pengesahan RUU tersebut justru membuat masyarakat bertanya-tanya sekaligus protes. Gerangan apa kok bisa demikian?
Membincang ihwal demokrasi di Indonesia memang selalu hangat dan menarik. Mulai dari masyarakat tongkrongan kelas warteg, pelajar, pekerja, hingga tongkrongan di kafe-kafe elite semua ikut mengulasnya. Demokrasi sudah tidak menjadi pembahasan yang tabu lagi, bahkan sejak masa B.J Habibie, pintu demokrasi telah dibuka selebar-lebarnya. Sejak awal mulanya berdirinya Indonesia, sejatinya masyarakat Indonesia telah memilih demokrasi sebagai sistem. Namun semenjak rezim Soeharto, demokrasi yang ada seolah sekadar sebagai sistem formalitas belaka. Tujuan demokrasi yang sudah jelas untuk menyejahterakan rakyat, menyatukan kemajemukan dan prinsip agar rakyat hidup berdampingan tanpa adanya diskriminasi masih sebatas slogan semata.
Dari tujuan suci demokrasi, masyarakat berbondong-bondong membentuk sistem demokrasi yang sedemikian rupa guna menyejahterakan kehidupan yang lebih baik. Tapi, perjalanan demokrasi di Indonesia tidak selamanya mulus, pasang-surut demokrasi beriringan sejak lahirnya demokrasi. Singkatnya, pasang-surut demokrasi sangat dipengaruhi oleh tingkah laku elite politisi dan para pejabat negara. Demokrasi tidak hanya dalam pemilu saja, berlaku juga sebagai politik hukum di Indonesia.
Menurut Samuel Hungtion (Jurnal Politik Muda, 2015), sebuah sistem politik otoriter bisa bertransisi menjadi sistem demokrasi? Samuel lantas membaginya kedalam empat model. Pertama, transformasi demokrasi yang bersumber dari atas. Model pertama ini terjadi ketika negara (state) lebih kuat dari sipil. Kedua, penggantian. Demokratisasi yang muncul dari bawah, di mana posisi negara (state) lemah dan oposisi masyarakat sipil kuat. Ketiga, campuran antara transformasi dan penggantian atau disebut transpalasi. Terjadi karena pemerintah sangat kuat dan kekuatan oposisi tidak mampu menggulingkan pengusa yang ada. Empat, demokratisasi yang dipaksa oleh dorongan luar.
Menilik realitas demokrasi di Indonesia, Samuel mengategorikannya ke dalam model ketiga atau transpalasi. Walaupun pada akhirnya Samuel menyanggah apa yang terjadi. Jika menilik pada sejarah, pemerintah mengakui adanya demokrasi, yaitu demokrasi pancasila, faktanya demokrasi tersebut sama sekali tidak dirasakan oleh masyarakat karena pada kenyataannya pemerintah mengganti sistem otoriterisme. Berbeda dengan pemerintah, masyarakat tetap berusaha mempertahankan sistem demokrasi untuk kemaslahatan mereka.
Dalam kultur keindonesiaan, demokrasi tidak bisa terlepas dari dua sisi; substansi dan prosedur. Prosedur sebagai cara untuk mencapai substansi, dengan begitu keduanya selaras dan tidak saling bergesekan untuk melahirkan demokrasi yang sesungguhnya. Omnibus Law di sini juga harus dibaca melalui dua sisi; substansi dan prosedur. Substansi Omnibus Law bukan untuk menciptakan lapangan kerja atau memudahkan pekerja. Tapi, syahdan memudahkan investor dalam berinvestasi.
Ihwal pesangon, penurunan pesangon atas kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang diturunkan dari 32 kali upah menjadi 25 kali upah juga dirasa tidak memihak rakyat. Hal tersebut jelas memberatkan para pekerja dan tentunya memberikan banyak kebebasan terhadap investor. Wewenang yang selama ini diberikan kepada daerah pun ditarik kembali ke pusat. Bahwa pengaturan yang bersifat sektoral yang berada di tangan kementrian diambil alih oleh pusat atau presiden. Dari sisi prosedur, adanya ketimpangan dalam proses tersebut menghasilkan demokrasi yang tidak sehat. Pada akhirnya, demokrasi Indonesia akan kembali lagi pada rezim Soeharto (otoriter) secara disadari atau tidak.
Permasalahan demokrasi di Indonesia sebenarnya hanya berkutat pada relasi antara pemerintah dan masyarakat yang tak kunjung berakhir. Dimana sistem demokrasi dapat menciptakan dialog antara pemerintah dan masyarakat dalam menentukan suatu hukum, bukan hanya pemilu saja. Masyarakat ingin suara dan aspirasinya didengar oleh pemerintah. Jika negara Indonesia mengakui adanya sistem demokrasi, mengapa masih ada pertumpahan darah yang terjadi karena suara masyarakat tidak didengar. Dalam kasus pengesahan Omnibus Law yang tidak transparan, hingga kini menimbulkan berbagai spekulasi dari masyarakat bahwa ada permainan di balik pengesahan tersebut. Salah satu perangkat dasar dalam demokrasi yang dicetuskan Yunani kuno; jujur (fairness) dirasa telah sirna.
Kiranya, demi memenuhi keberadaan perangkat tersebut dibutuhkan transpalasi dari pihak pemerintah maupun masyarakat Indonesia. Pihak pemerintah pun diharapkan lebih transparan terhadap polemik dan politik hukum yang ada, sementara masyarakat Indonesia diharap bersikap lebih dewasa dalam menyikapi kisruh demokrasi di Indonesia.