Menjadi Mahasiswa Ideal di Era Kekinian

Menjadi mahasiswa adalah menjadi agen-agen perubahan bangsa. Mereka akan dituntut mengabdi dan mengaplikasikan ilmu yang diperoleh selama menjadi mahasiswa. Bangsa Indonesia senantiasa membutuhkan “tenaga” putra-putri terbaiknya yang telah menempa diri di kampus-kampus terbaik di seantero jagat raya. Termasuk dari para mahasiswa-mahasiswi yang menuntut ilmu di Negeri Seribu Kubri; Mesir alias yang biasa disebut Masisir.
Seiring berkembangnya zaman, mahasiswa-mahasiswi dituntut untuk melek teknologi, cakap dan lebih menguasai banyak keahlian (skill) alias harus multiguna. Tidak cukup menjadi seorang mahasiswa-mahasiswi hanya berbekal ijazah dengan nilai akademis yang bagus, tapi miskin ide dan kreativitas. Apalagi jika skripsi dan nilai bagus yang ada itu hasil penjokian, “bimbel buta” atau hasil dari nyontek selama ujian.
Selama ini, tipe mahasiswa-mahasiswi ideal di Masisir adalah mereka yang bisa menyabet predikat Jayid Jiddan dan Mumtaz. Sampai-sampai, ada beberapa komunitas yang “menjual” target Mumtaz dalam moto komunitas mereka. Demi meraih hasil Mumtaz tersebut, segala cara dilakukan, termasuk mengintensifkan bimbel, tanpa mengkajinya secara mendalam. Ini yang kemudian diistilahkan dengan “bimbel buta”. Karena anak-anak baru hanya disuruh mendengar, mencatat arti diktat (muqoror) yang dibacakan, kemudian menghapalkannya.
Dari para mahasiswa Jayid Jiddan atau Mumtaz ala “bimbel buta” itu tidak sedikit yang ketika disodori kitab baru tanpa makna dan belum pernah dibimbelkan akan tidak paham. Fenomena ini banyak dijumpai di Masisir. Tentunya itu sesuatu yang harus diubah dan diperbaiki. Jangan sampai ada lagi selorohan, “Jauh-jauh ke Mesir tapi enggak bisa baca kitab”.
Di era ujian nasional telah ditiadakan dan diganti dengan kebijakan Asasmen Nasional, capaian murid atau mahasiswa-mahasiswi dalam proses belajar secara individu, input dan capaian hasil belajarnya lebih ditonjolkan. Zaman sekarang mahasiswa yang berprestasi semata di nilai akademis tidak lagi menjadi standar ideal. Apalagi jika sekadar nilai bagus, tapi sebatas kemampuan numeral dan hapalan, sementara kemampuan pembacaan literasinya nol. Pelajar dan mahasiswa model seperti itu akan lesap ditelan persaingan global.
Idealnya, pelajar dan mahasiswa-mahasiswi zaman sekarang harus benar-benar cakap literasi, kreatif, progresif dan inovatif. Untuk bisa seperti itu tidak cukup hanya dengan ikut bimbel dan menghapal diktat semata, tapi harus ikut organisasi, kajian (diskusi), ngaji (talaqi) dan rajin kuliah. Apakah bisa membagi waktu dengan aktif di beberapa kegiatan. Jawabannya bisa, sangat bisa. Tergantung bagaimana kemauan dan kegigihan yang bersangkutan. Buktinya ada, tidak perlu jauh-jauh, ada di dekat kami. Namanya Hamidatul Hasanah. Dia adalah redaktur plus editor bedug.net, kru buletin Prestasi dan juga redaktur numesir.net. Mahasiswi super sibuk yang tetap bisa berprestasi secara akademik dan siap diuji untuk baca segala kitab.
Selain aktif di kepenulisan, Hamidah juga pernah aktif di LBMNU Mesir, anggota aktif kajian Mizan, koordintor LMINU dan pernah aktif di divisi Keilmuan Senat Fakultas Ushuluddin. Seabrek aktivitas dan rutinitas hariannya tidak menghalanginya langganan mendapat predikat nilai Jayid Jiddan hingga Mumtaz. Yang terbaru, mahasiswi Akidah Filsafat asal Majenang Cilacap itu menyandang gelar mahasiswi terbaik dalam Upacara Wisuda dan Anugerah Prestasi Universitas al-Azhar 2019-2020 di halaman gedung KBRI Kairo. Sebuah prestasi yang patut kita apresiasi dan teladani. Semoga setelah ini tren di Masisir tidak lagi semata mengejar Mumtaz, tapi juga harus mengejar bagaimana menjadi mahasiswa-mahasiwi yang cakap di segala bidang. Semoga!