Opini

Pakaian; antara Keaslian dan Kepalsuan

Sebagian orang mengelus dada sembari berkata, “Masih mending kita ketimbang mereka. Meskipun kita dianggap buruk sebab berpakaian nggak jelas, kita masih bermoral,” setelah mendengar atau membaca informasi terkait seseorang yang terlihat baik di luar, namun melakukan hal amoral. Sebagian yang lain masih memakluminya bahkan membelanya dengan dalih bahwa kesalahan tersebut termasuk salah satu ujian dalam proses menjadi orang baik.

Ada diskontinuitas fungsi pakaian yang tadinya sebagai kebutuhan primer, menutup dan melindungi tubuh bergeser menjadi identitas diri. Ketika agama sering disebut sebagai sumber moral, kesalehan beragama sering dikaitkan dengan moralitas. Narasinya menjadi semakin saleh seseorang berpakaian, semakin berakhlak.

Dari sini, muncul pertanyaan apakah identitas diri seperti suku, agama dan bangsa dapat menentukan moralitas seseorang? Atau apakah sebuah pakaian sebagai identitas diri dapat memastikan baik atau buruk perilaku seseorang? Mengenai pertanyaan ini, saya teringat dengan peristiwa yang tertimpa pada salah satu teman saya di Mesir. Suatu pagi yang sepi, ia keluar dari rumah sendirian bermaksud membeli keperluan dapur. Sepulang dari toko, ia merasa diikuti oleh pria bergamis selama perjalanan. Ketika hampir sampai di depan pintu rumahnya, tiba-tiba dari belakang muncul pria tersebut sembari bertanya kepadanya. Ia pun membantu dengan memberikan jawaban kepadanya. Tak disangkanya, pria yang dianggapnya baik sebab bergamis itu tiba-tiba melakukan tindakan amoral kepadanya.

Dalam konteks Indonesia, gamis tidak hanya memberikan kesan agamis dan baik, namun juga memberikan hak istimewa di kalangan muslim kita. Penggunaan gamis di Indonesia mengalami peningkatan pasca demonstrasi Bela Islam 212. Sebagai contoh, para artis ‘hijrah’ memakai gamis putih di hari perayaan kemerdekaan Indonesia pada tahun kemarin. Cara berpakaian mereka yang semacam itu menuai pro-kontra. Adapun yang membela mereka berpendapat bahwa memakai gamis di hari besar Negara Indonesia sah saja, sebab termasuk menghargai upaya pejuang-pejuang seperti Pangeran Diponegoro dan Wali Songo yang juga berpakaian gamis. Sedangkan yang kontra beranggapan bahwa gamis tidak menunjukkan rasa nasionalis terhadap tanah air.

Saya sendiri berpandangan bahwa kedua alasan tersebut tidak perlu dipertentangkan. Tersebab sebagaimana pepatah jawa, “ajining diri ana ing lathi, ajining raga ana ing busana (harga diri tercermin dari perkataan atau perilaku, harga tubuh tercermin dari pakaian),” pakaian tidak menunjuk kepada keberagamaan atau kecintaan seseorang terhadap negaranya. Maksudnya ia tidak dapat menjadi standar penilaian moral.

Dalam kasus gamis di atas, para artis ‘hijrah’ tersebut bisa saja sengaja bermaksud ingin menunjukkan sisi agamis mereka sebagaimana gamis sebagai pakaian para pejuang Islam Nusantara. Memakai gamis dimaknai sebagai tiruan atas orang-orang saleh. Gamis, dengan demikian tidak dapat memastikan moralitas seseorang. Namun meski demkian, mengapa pakaian terpaksa menjadi ukuran moralitas seseorang?

Sekelompok manusia yang berlatar belakang sama cenderung membuat ikon sebagai identitas kelompoknya. Sebagai contoh, kondisi geografis bangsa Arab yang berdebu menjadikan gamis sebagai ikon mereka. Sebab, gamis dinilai praktis dan mudah dibersihkan. Seiring berkembangnya zaman, ikon berkembang menjadi indeks, yakni telah menjadi ukuran ciri tertentu seperti gamis sebagai ciri orang Indonesia yang berperawakan Arab pada zaman penjajahan.

Gamis menjadi budaya Arab. Untuk memahami perubahan makna gamis, kita bisa membacanya melalui elemen-elemen budaya. Dalam perspektif ini, budaya terdiri dari empat elemen, yaitu label, sinyal, kecakapan dan simbol (Van Schaik, C. P., 2003). Dari sini, pakaian yang semula sebagai salah satu contoh indeks berubah menjadi simbol suatu kelompok. Misalnya, sebagian orang sudah memandang orang Indonesia yang memakai gamis sebagai perilaku kearab-araban. Secara tidak langsung, mereka menyepakati bahwa gamis merupakan simbol bangsa Arab. Oleh karena pakaian termasuk salah satu elemen suatu budaya, ia juga mengandung nilai budaya.

Gamis merupakan salah satu budaya Arab yang mengandung nilai religius. Setiap orang Arab percaya adanya Tuhan, mengakui kekuasaan-Nya serta berafiliasi kepada agama tertentu (Nydell, 2012:3). Hal inilah yang mengakibatkan kesan religius kepada orang Indonesia yang memakai gamis. Dengan demikian, kita tidak bisa serta merta menyalahkan orang yang menilai orang lain hanya dari penampilan luarnya. Meskipun begitu, kita juga perlu mengetahui sisi aslinya tanpa menghakimi secara berlebihan. Akhirnya, pakaian tidak hanya sebagai penutup tubuh, namun juga menjadi tempat pelarian atau persembunyian dari niat asli seseorang. Semoga kita bijak dalam bersikap pada diri sendiri serta menyikapi orang lain.

Back to top button