Esai

Diversifikasi Mitos dalam Kenaikan Kejahatan Seksual di Madura

“Di Bangkalan, seorang janda muda diperkosa oleh delapan orang.” Begitu, tempo hari, kawan saya datang berkunjung dan membagikan cerita. Ia bercerita setelah meletakkan jajanan di muka, kawan saya membuka perbincangan dengan menyebalkan.

Sebagai orang yang cukup lama hidup di lingkungan Madura, tentu saya merasa prihatin sekaligus bersusah hati saat mendengar hal tersebut. Sejak itu, saya pun mulai meragukan kebenaran dari pernyataan-pernyataan peneliti kebudayaan Madura.

A. Latief Wijaya, misalnya, ia menyatakan bahwa perempuan adalah representasi harga diri lelaki Madura. Dari sini, saya bertanya-tanya, jika memang perempuan adalah representasi harga diri lelaki Madura, mengapa peristiwa seperti kekerasan seksual dapat terjadi?

Untuk itu, meminjam definisi Barthes tentang mitos, yang mana ia terangkan dengan mengetengahkan konsep konotasi, yakni pengembangan segi signifié {petanda, “makna”} oleh pemakai bahasa. Pada saat konotasi menjadi mantap, itu akan menjadi mitos dan ketika mitos menjadi mantap, itu akan menjadi ideologi. (Hoed, 2007: 139)

Perihal bagaimana seharusnya menjadi laki-laki dan bagaimana seharusnya perempuan, setidaknya salah satu pepatah Madura telah menentukan hal tersebut, “Oreng lake’ mateh acarok, reng bêbhini’ mateh arembik” (seorang lelaki mati karena carok, seorang perempuan mati karena melahirkan), misalnya.

Dari jargon di atas, paling tidak terdapat dua konotasi yang dapat digarisbawahi: [1] lelaki Madura bertangung jawab untuk melindungi harga dirinya, melindungi perempuannya. [2] seorang lelaki bertanggung jawab untuk melindungi keluarga dari serangan eksternal dan seorang perempuan bertanggung jawab melindungi keluarga dari serangan internal. Intinya, konotasi dari pepatah tersebut adalah ‘melindungi’.

Namun, dengan tidak melupakan selebaran yang disebarkan oleh Jawapos Radar Madura tempo hari, bahwa kejahatan seksual di Bangkalan, dalam kurun waktu lima tahun terakhir saja mencapai angka 101 kasus. Atau boleh dikata, dalam satu bulan, terdapat satu sampai dua kasus kejahatan seksual terjadi di Bangkalan.

Dari sini, masyarakat Madura yang memiliki pandangan hidup bahwa seorang lelaki harus melindungi harga diri (baca: perempuan)nya sekalipun nyawa menjadi taruhan. Itu sebagaimana tertuang dalam pepatah yang lain, “Ango’ah poteah tolang katêmbheng pote matah” (lebih baik putih tulang daripada putih mata), sangatlah bertentangan jika disandingkan dengan realitas tingginya kasus kejahatan seksual di Madura.

Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi diversifikasi makna pada jargon yang sempat menjadi mitos di kalangan orang Madura. Paling tidak, pengamatan saya terhadap diversifikasi makna tersebut memunculkan dua konotasi: Pertama, dari jargon yang mulanya memiliki konotasi ‘melindungi’ melahirkan konotasi yang lain yakni  ‘standar maskulinitas lelaki Madura’.

Carok, jalan kekerasan yang mulanya berfungsi sebagai opsi terakhir untuk mengukuhkan harga diri, kini menjadi jalan penindasan untuk menunjukkan identitas laki-laki. Tentu ini adalah diversifikasi makna negatif yang jika tidak ada pengambilan sikap secara serius, akan berkembang menjadi masalah-masalah baru yang semakin lama kian sulit ditangani.

Walau tidak dapat dimungkiri, saat ini, diversifikasi makna demikian telah merembet pada banyak lini kehidupan masyarakat Madura, bahkan pada pendidikan yang notabene berperan sebagai institusi pengader penerus bangsa. Tentu dengan tidak melupakan aksi unjuk maskulinitas yang merenggut nyawa seorang guru pada tahun 2017 lalu.

Kedua, dari jargon yang pada mulanya memiliki konotasi ‘melindungi’ memunculkan konotasi lain yaitu ‘terlalu melindungi’. Hal ini yang menyebabkan penekanan status sosial perempuan di Madura marak terjadi. Kebebasan perempuan dikekang secara semena-mena oleh kaum laki-laki, mulai dari pendidikan, pernikahan, dst. Semua ditentukan oleh laki-laki.

Apakah pengekangan tersebut tidak mendapat perlawanan sebagaimana isu-isu feminis di luar sana? Tentu ada. Maret lalu, Kohati Cabang Bangkalan melakukan unjuk rasa menanggapi tingginya angka kekerasan seksual di Tanah Madura. Lebih jauh lagi, perlawanan yang lain juga pernah dilakukan oleh Nurillah Achmad dalam cerpennya berjudul “Dua Pembunuh dalam Satu Waktu” yang menampilkan pembunuhan anarkis seorang istri kepada suaminya menggunakan sinso (gergaji mesin).

Namun, jika mencermati lebih jauh dari kasus pemerkosaan janda di atas—janda dalam hal ini didudukkan sebagai perempuan yang tidak lagi memiliki suami untuk melindungi dirinya—, tentu akan lain perkaranya dengan diversifikasi makna sebagaimana telah saya sebutkan di muka. Secara subjektif, saya memandang ada kecenderungan dari orang Madura untuk mengganggap bahwa perempuan yang tidak memiliki lelaki adalah legal untuk diperlakukan secara semena-mena. Bilakah begitu, semoga subjektivitas saya yang salah?!

Sebab bila begitu, anggapan demikian adalah tragedi paling getir yang tak dapat dinafikan, pintu masuk kejahatan seksual, bahkan termasuk dilakukan secara kolektif dan terencana. Jikalau demikian, perempuan di Madura tidaklah lebih dari hewan buruan atau peliharaan dengan kebebasan yang terkekang.

Dari sini, saya kira masyarakat Madura membutuhkan mitos baru untuk menangani kecenderungan tersebut, demikian pula dalam menanggulangi diversifikasi-diversifikasi makna negatif pada jargon sebelumnya yang semakin lama kian meresahkan kehidupan sosial masyarakat Madura.

Back to top button
Verified by MonsterInsights