Mengapa Seseorang Bisa Fanatik terhadap Kelompoknya

Pertanyaan mengapa seseorang beragama akan memiliki jawaban menarik jika setiap agamais menjawab, saya beragama karena saya telah menemukan kebenaran dari agama yang saya yakini. Sayangnya, masih begitu banyak agamais yang tidak menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut. Belum lagi ketika pertanyaannya lebih spesifik, mengapa Islam, misalnya. Kenyataannya memang masih banyak muslim yang memilih Islam bukan karena keyakinan (baca: pengetahuan) sendiri. Banyak di antara kita yang meyakini sesuatu sebab nenek moyang juga meyakini demikian. Ia tidak memilih agamanya sendiri. Warisan keyakinan telah lebih dulu memilih itu untuknya.
Ketika seseorang meyakini sesuatu, berarti ia telah mempercayai bahwa sesuatu yang ia yakini itu benar, atau setidaknya ia berharap bahwa itu benar. Keyakinan itulah yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Bisa dikatakan bahwa setiap tindak laku seseorang pasti dilandasi sebuah keyakinan. Tanpa sebuah keyakinan, tidak akan ada tindakan. Misal, untuk melakukan tindakan makan, seseorang butuh keyakinan bahwa makan itu mengenyangkan dan menyehatkan. Jika meyakini hal lain, seperti ‘jika saya makan, saya akan gemuk,’ seseorang bisa memilih untuk tidak makan meskipun ia lapar. Sehingga bisa disebut bahwa keyakinan dan laku merupakan dua hal yang tak bisa dipisahkan.
Meyakini bahwa sesuatu itu benar tidak berarti bahwa keyakinan kita ialah kebenaran bagi orang lain. Keyakinan apapun itu terkadang berpotensi bertentangan dengan aturan tertentu ataupun tradisi masyarakat. Karena perbedaan latar belakang dan faktor lain inilah, sebuah keyakinan bersifat subjektif. Mereka meyakini itu benar, namun bagi saya bisa jadi itu tidak benar. Pun karena keyakinan tersebut turun-temurun diyakini lintas generasi, ia akan mentradisi. Keyakinan yang telah mentradisi akan mengikat lebih kuat daripada keyakinan pribadi.
Dari watak keyakinan dan tradisi tersebut, saya tidak heran mengapa masing-masing kelompok bersikeras akan kebenaran ajarannya. Kita bisa melihat perbedaan pendapat di dalam madzhab fikih sebagai suatu hal yang ‘baik-baik saja’, namun tidak demikian dalam teologi. Sebagai hal paling fundamental untuk menilai keyakinan seseorang benar atau sesat, perdebatan yang berlangsung di dalam topik-topik teologis selalu mendorong masing-masing kelompok untuk bersitegang.
Kembali ke perbedaan di dalam fikih. Apakah fenomena bermadzhab dalam teologi Islam ini bisa kita sebut sebagai bentuk tradisi Muslim? Jika tradisi kita artikan sebagai adat kebiasaan turun-temurun yang masih dijalankan oleh masyarakat, maka benar. Banyak dari kaum Muslim yang bermadzhab teologi bukan karena pengetahuannya sendiri, melainkan karena turunan ataupun mengikuti mayoritas masyarakat di sekitarnya. Jika kita menilik sejarah, kita temukan di masa awal Dinasti Umayyah mayoritas muslim bermadzhab teologi Jabariyah. Hingga pada kepemimpinan Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H) muncul Ghilan al-Dimasyqi mempelopori paham Qadariyah. Muktazilah mulai eksis sejak 120 H hingga menjadi madzhab resmi negara di masa kepemimpinan al-Makmun, al-Muktashim, dan al-Watsiq dari 195-233 H. Sedangkan Ahlussunnah yang dibawa Imam Asyari baru muncul pada 302 H, itu pun di umur ke-40 tahun beliau baru menyatakan diri keluar dari kelompok Muktazilah.
Dari fakta ini, kita menemukan karakter bermadzhab teologi saat itu sesuai dengan karakteristik bagaimana masyarakat memegang tradisi. Ia bisa tergantikan dengan tradisi yang baru datang—dimana tradisi tersebut berhasil merebut keyakinan masyarakat akan tradisi sebelumnya, baik itu ditanggalkan sepenuhnya ataupun masyarakat menjadi terkotak-kotak. Madzhab yang sudah berdiri kokoh dapat digusur oleh madzhab yang baru muncul. Jikalau begitu, apakah kelompok Sunni, sebagai mayoritas bisa tergantikan atau bahkan lenyap oleh madzhab teologi lain? Jawabannya, tentu bisa. Untuk mengantisipasi hal itu, kelompok Ahlussunah mesti beradaptasi agar bisa diterima dengan menyiarkan ideologinya ke berbagai kelas masyarakat.