Merdeka dalam Belajar

Tiada hari kita lalui tanpa mendengar seruan mengenai pentingnya revolusi yang harus segera diimplementasikan di semua lini, termasuk di sektor pendidikan. Media-media hingga para politisi yang ingin terlihat progresif tidak henti-hentinya menggaungkan revolusi industri 4.0 agar tidak kalah bersaing dan demi masa depan bangsa Indonesia. Demi mencapai keinginan tersebut, Nadiem Makarim selaku Mendikbud periode kedua Jokowi, layaknya politisi-politisi progresif yang menawarkan pembaharuan membawa konsepsi baru tentang orientasi pendidikan bangsa Indonesia, yaitu Merdeka Belajar.
Program ala Nadiem tersebut dirancang karena terdorong oleh keinginan untuk mencipta suasana belajar yang bahagia tanpa dibebani pencapaian nilai tertentu. Esensi dari program tersebut adalah kemerdekaan berpikir dan berekspresi. Di antara tujuannya ialah supaya para pelajar dapat menyesuaikan minatnya dan tidak tekungkung dengan materi-materi UN yang sifatnya tertentu. Namun, program yang menjadi prioritas Mas Menteri ini tidak hanya mendapat respons positif dari masyarakat, namun juga menimbulkan kritik dari anggota DPR (CNBC Indonesia, 3/2/20), beberapa ormas Islam (Republika.co.id, 23/7/20) hingga wapres Indonesia periode 2016-2019, Jusuf Kalla (Kompas, 13/12/19). Di antara hal yang menjadi sorotan mereka adalah perubahan UN menjadi asesmen nasional dan program organisasi penggerak.
Merdeka belajar yang dimaksud Nadiem memang tidak berangkat dari ruang kosong. Kata ‘merdeka’ merupakan antitesis dari ‘penjajahan’, atau lebih tepatnya ‘dijajah’, suatu diksi yang menggambarkan keadaan terkekang, terikat dan belum merdeka. Selama ini, sistem dan para pelaku pedidikan kita ‘dijajah’ oleh birokrasi yang rumit, standarisasi UN dan kurikulum yang mengikat. Pendidikan yang katanya hak semua anak bangsa, nyatanya menjadi hak para orang berpunya. Anak-anak jenius yang menyukai bidang seni–budaya terpaksa harus mempelajari matematika dan sains sebagai kunci sukses hari tua. Jika nilai mata pelajaran yang diujiankan secara nasional rendah, maka ia tidak bisa memasuki kampus pilihan, nestapa sebab bakatnya tidak diakui negara. Demikian juga dengan para guru, mereka dijajah oleh jam pelajaran dan setumpuk kurikulum yang tak memberi ruang untuk menyampaikan materi dengan caranya tersendiri.
Jika ditelusuri lagi, definisi ‘merdeka’ ala Nadiem ini rentan. Alih-alih untuk memerdekakan, program termaksud rawan menjadi bentuk ‘penjajahan’ baru bagi lima generasi ke depan. Dalam tataran tertentu, program ini berpotensi memicu timbulnya soal lama yang pernah dialami bangsa Indonesia; pendidikan yang mengabdikan diri pada logika pasar. Pendidikan untuk mencetak tenaga kerja. Barangkali ini adalah bentuk ekstrem dari kemerdekaan dalam belajar, dimana hal itu terjadi justru saat aktor pendidikan (guru, murid, kepala sekolah) mengekspresikan kemampuan intelektual dan kultural sebebas-bebasnya. Ketika masing-masing anak tumbuh maksimal dengan potensinya, alih-alih menjadi profesional, tak jarang mereka (kelak) menjadi insan-satu-cerita (single-story man). Padahal di ranah praktis, moderasi di segala lini yang sedang digaungkan pemerintah membutuhkan insan-aufklarung (renaissance human being); manusia yang cakap di lintas-bidang seperti dokter-seniman (Ibnu Sina) ataupun birokrat, hakim dan filsuf (Ibnu Rusyd). Insan-satu-cerita akan gagap menghadapi itu.
Saya berharap Merdeka Belajar bisa memerdekakan pendidikan kita dari belenggu pemikiran materialistis. Sebab, pendidikan ialah hal mulia. Ia tidak semestinya berorientasi pada kesuksesan materi dan keberhasilan praktis. Nadiem mengatakan bahwa mau tidak mau, selama lima tahun ke depan arah pendidikan kita harus pragmatis. Untuk mencapai tahap ideal, pendidikan yang benar-benar mencetak manusia unggul katanya, membutuhkan rombak-sistem selama minimal sepuluh tahun. Saya sepakat. Yang ingin saya ingatkan di sini ialah bagaimana seyogianya kita—aktor yang terlibat secara langsung maupun tidak—memanfaatkan kemerdekaan itu.
Oleh sebab itu, ketika beberapa kalangan menginginkan cita-cita luhur bagi pendidikan Indonesia, rasanya naif saat melihat fakta bahwa kesuksesan seseorang ditentukan oleh kelas sains maupun sosial. Demi mencapai tujuan tersebut, semangat generasi muda mesti diiringi keterlibatan masyarakat berbegai elemen. Oleh sebab itu, bercita-cita luhur mestinya menjadi fokus orientasi kita. Seperti yang diutarakan oleh sosiolog W. E. B. Du Bois,
“Cita-cita pendidikan, apakah manusia dididik untuk mengajar atau membajak (lahan), menenun atau menulis, tidak boleh dibiarkan tenggelam ke dalam utilitarianisme yang dangkal. Pendidikan harus menjaga cita-citanya yang luas, dan tidak pernah lupa bahwa pendidikan berhubungan dengan jiwa dan bukan dengan dolar.” (Du Bois, 1902: 82).
Senada dengan Du Bois, Imam al-Ghazali, Sang Hujjatul Islam telah lebih dulu memandang konsep dan tujuan pendidikan ideal. Ia menekankan aspek-aspek religius sebagai dasar pengembangan potensi manusia. Menurutnya, pendidikan selain bertujuan mengembangkan potensi intelektual, ialah suatu jalan untuk menumbuhkan nilai-nilai akhlak (etika) dan spiritual.
Terkait bagaimana semestinya pendidikan dilangsungkan, Imam al-Ghazali telah menggaris kurikulum pendidikan. Menurutnya, pendidikan ideal mesti memiliki dua kecenderungan, yakni kecenderungan agama-tasawuf dan pragmatis. Makna kecenderungan agama di sini ialah menempatkan ilmu-ilmu agama sebagai alat untuk menyucikan diri dari dunia. Sedangkan, kecenderungan pragmatis artinya penilaian terhadap ilmu berdasarkan manfaatnya bagi manusia, kehidupan dunia dan akhirat. Hal ini menandakan bahwa dampak dari ilmu pengetahuan berpotensi dalam kehidupan bersosial kita.
Tentu saja al-Ghazali bukan satu-satunya yang memiliki orientasi pendidikan pada nilai-nilai etika, spiritual dan intelektual. Atau dengan kata lain: cita-cita pendidikan yang lebih luas, menurut Du Bois. Indonesia memiliki Buya Hamka yang dikenal sebagai ulama dan sastrawan Indonesia. Perspektifnya tentang tujuan pendidikan bermuara pada dua dimensi, yaitu bahagia di dunia dan di akhirat. Dengan kata lain, proses pendidikan pada akhirnya menuju pada Tuhan dengan menjadi hamba (manusia) yang hakiki. Ia pun menekankan materi pendidikan yang berdasarkan pada ilmu, amal dan akhlak, keadilan, serta muatan kurikulum yang mencakup ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan menjadi dasar peradaban manusia.
Belajar ialah berproses menjadi manusia unggul, insan-pencerah. Dengan prinsip inilah, kita akan benar-benar merdeka dalam mengekspresikan kebebasan bertumbuh-kembang, kebebasan dalam belajar.