Memaknai Kembali Kebebasan Berpendapat

Koran satire Prancis (2/9), Charlie Hebdo kembali mempublikasikan karikatur Nabi Muhammad tepat satu hari sebelum persidangan terhadap empat belas orang tersangka yang menghina dan memprovokasi serangan kekerasan terhadapnya pada 2015 silam.
Menurut para editor majalah tersebut, penting untuk mencetak ulang karikatur ini pada malam persidangan para pelaku kejahatan dan kekerasan itu. Peristiwa ini bukan kali pertama karikatur Nabi Muhammad diterbitkan. Satu dekade sebelumnya, pada 2005, surat kabar Denmark Morgenavisen Jyllands-Posten juga menerbitkan lusinan karikatur Nabi Muhammad yang memfitnah dan memprovokasi kaum muslim dan diterbitkan ulang tiga tahun berikutnya. Sayangnya, meskipun kelompok Islam Prancis beberapa kali mengajukan tuntutan, hal itu justru ditolak dengan alasan bahwa karikatur dilindungi oleh hukum kebebasan berekspresi. Ditambah dengan pernyataan yang mengatakan bahwa sesungguhnya yang sedang mereka serang adalah kaum fundamentalis, bukan umat Islam secara keseluruhan.
Fenomena ini semakin keruh dengan pidato Macron (2/10) yang mengatakan bahwa agama Islam adalah sedang di ambang krisis. Pernyataan tersebut berbuntut insiden-insiden lanjutan berupa penyerangan dan kekerasan. Kemarahan–yang mana bukan hanya kartunis yang menjadi korban—atas hinaan yang mengusik kesakralan umat Islam, serta guyonan terhadap karikatur Nabi Muhammad menurut saya telah mencederai kebebasan berpendapat itu sendiri.
Saya adalah orang yang mengamini kebebasan berpendapat dan berekspresi. Saya meyakini bahwa kebebasan tersebut memiliki batas tertentu. Kebebasan berpendapat tidak seharusnya menimbulkan kontroversi, perpecahan, serta menciderai kehormatan, kesucian, dan kesakralan nilai dan simbol agama. Kebebasan berpendapat bukan berarti melegalkan aksi penyerangan dan kekerasan atas hinaan yang dilontarkan.
Relasi Islam dan Prancis
Macron dalam pidatonya pada awal Oktober mengumumkan adanya regulasi baru untuk melawan gerakan radikalisme dan separatisme Islam di Prancis. Hal ini bukanlah sesuatu yang mengejutkan, mengingat pada 2012 silam sebanyak 260 warga Prancis meninggal akibat serangan terorisme. Dalam pidatonya, ia juga menekankan bahwa sebenarnya ia tidak sedang memerangi Islam, akan tetapi Islam radikal yang bercokol di dalam ideologi warga hingga yang menyebabkan teror-teror radikal.
Prancis sebagai negara sekuler, melihat Islam sebagai suatu kesatuan yang homogen. Padahal faktanya (Islam) masyarakat muslim di Prancis khususnya cukup beragam. Kejadian ini bukan sebab-akibat dari peristiwa satu-dua bulan belakangan. Ini adalah akibat dari penjajahan Prancis terhadap tanah Arab dan berimplikasi serius ketika menjajah tanah AlJazair dan Timur-tengah.
Pada 1920-1970 ketika umat Islam terbanyak berasal dari AlJazair sebagai pekerja kasar dan buruh. Peristiwa ini tidak memberikan dampak signifkan terhadap pemerintahan Prancis sendiri. Pada1980, ketika terjadi revolusi Iran di bawah Ayatullah Khomaeni serta semakin berkembangnya Islam (di Barat) dan tokoh-tokohnya, nilai-nilai nasionalisme pun mulai dimasukkan ke dalam ideologi umat Islam.
Hal ini lantas memicu lahirnya tipologi-tipologi Islam di Prancis. Pertama, Muslim yang menuntut agar hak-hak identitas keislamannya diakui serta menginginkan Islam sebagai jalan hidup satu-satunya bagi mereka. Kedua, kelompok yang mencoba memutus kehidupan Prancis modern dengan nilai-nilai Islam yang berbeda –gagasan yang harus menerapkan ajaran Islam secara sahih oleh Salafi-Wahabi dan IM. Ketiga, Islam sebagai masyarakat pada umumnya.
Ragam Islam yang saya sebutkan barusan memicu munculnya figur Muslim dari berbagai etnis, budaya, kultur, dan latar belakang. Dari berbagai keragaman tersebut, menurut saya pemerintah Prancis sendiri gagal memahami lika-liku keberagaman hingga berdampak terhadap kemunculan radikalisme.
Umat Islam mengalami getoisasi; mengelompokkan tempat tinggal di daerah pinggiran, kegagalan asimilasi masyarakat Muslim hingga melahirkan generasi muda yang mengalami krisis identitas dan mengalami diskriminasi. Dari fakta yang tersebut, menurut saya wajar jika masyarakat muslim merasa seperti terpinggirkan, hingga mereka menemukan legitimasi untuk mengekspresikan pendapat dimana puncaknya adalah sebagai bentuk respon atas karikatur Nabi Muhammad yang dipublikasikan.
Akulturasi dan Asimilasi
Islam sebagai agama, tidak bisa lepas dari sebuah realitas di manapun ia berada. Islam bukanlah agama yang terlahir dari ruang hampa budaya. Antara Islam dan realitas itu sendiri meniscayakan adanya dialog yang dinamis. Sebagai contoh ketika menyebar ke Indonesia, Jawa khususnya, Islam tidak bisa menafikan adanya budaya lokal yang saat itu sudah ada pada masyarakat; kepercayaan Hindu-Budha dan animisme-dinamisme. Antara keduanya diperlukan dialog yang kreatif dan dinamis sehingga Islam dapat diterima sebagai agama tanpa menggusur budaya lokal yang sudah ada. Sebaliknya, budaya lokal yang berwujud sebagai tradisi dan adat tetap dapat dilakukan tanpa melukai ajaran Islam sehingga Islam tetap dapat diajarkan tanpa mengganggu harmoni masyarakatnya.
Oleh karena itu, menurut hemat saya, berkaca dari bagaimana Islam dapat berkembang di Nusantara, poin yang seharusnya kita tekankan adalah hendaknya bagaimana Islam bisa berkontribusi terhadap peradaban Eropa, bukan memaksakan identitas keislaman untuk diterima di Eropa. Dialog kreatif dan dinamis antarkeduanya bukan berarti mengorbankan Islam dan menempatkan Islam kultural sebagai jenis Islam rendahan yang tidak sesuai dengan ajaran ‘murni’ yang berkembang di tanah Arab dan Timur-Tengah.
Islam kultural dapat memberikan sudut pandang baru dengan jenis varian Islam yang sudah berdialektika dengan realitas di mana Islam berada dan berkembang. Dengan warga yang kian majemuk secara sisi ekonomi, sosial dan budaya, kita tidak bisa hanya mengutamakan kebebasan berpendapat. Tanpa diiringi dengan asas persamaan dan persaudaraan, polemik ini tidak akan pernah selesai.