Dialog Penting Untuk Mencegah Ekslusivitas Kelompok

Jujur saja, tradisi berdialektika ulama dahulu terkait tema-tema keagamaan cukup membuat saya iri. Ketika ada pemikiran yang dirasa tidak sejalan dengan pendapatnya, maka seketika langsung diluncurkan karya pembanding yang mengkritisi pemikiran tersebut. Misal, Imam Ghazali di dalam Tahâfut al-Falâsifah mengkritik para filsuf muslim, terutama Ibnu Sina dan al-Farobi terkait masalah teologi. Tulisan tersebut kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rusyd lewat karya Tahâfut al-Tahâfut yang menjabarkan kerancuan-kerancuan tulisan Imam al-Ghazali tersebut.
Periode selanjutnya juga ramai tradisi syarah dan talkhîs tema-tema keagamaan kitab ulama terdahulu. Meski tradisi tersebut juga mendapat banyak kritikan—dianggap sebagai sebab kemunduran peradaban Islam—amun jika ditelisik, kita akan menemukan bahwa tradisi tersebut juga menyesuaikan kebutuhan muslim saat itu. Banyak buku-buku anotasi dan ringkasan yang masih mempertahankan unsur ilmiah. Tak jarang kita temui buku-buku anotasi yang berisi kritikan beseta sanggahan untuk penulis matan ataupun penyarah lainnya.
Nah, hal yang membuat saya iri adalah fakta bahwa di Indonesia geliat-geliat keilmuan semacam itu tidak terlihat ke permukaan. Yang banyak kita temukan adalah forum-forum pengajian bebas yang membahas persoalan agama secara tematik ataupun mengkaji satu kitab klasik dengan menerima segala yang tertulis tanpa ada dialektika ilmiah terhadap teks yang dikaji. Cukup disayangkan sebetulnya. Pasalnya, pengajian-pengajian semacam itu saya rasa tidak cukup mampu membuka lembaran baru dunia keilmuan Islam untuk mengaktualisasi gagasan-gagasan ulama terdahulu ataupun memberi ruang muslim saat ini untuk mempersembahkan gagasan baru nan segar guna kemajuan peradaban Islam.
Geliat keilmuan muslim Indonesia yang tidak terlihat ke permukaan barangkali disebabkan eksklusivitas kalangan cendekiawan muslim dalam mengkaji tema-tema aktual. Meskipun bentuknya tidak serupa dan sepadan dengan yang saya contohkan di atas, setidaknya geliat-geliat keilmuan terkait tema-tema keagamaan tersebut masih kita temukan—dengan jumlah yang tidak banyak. Eksklusivitas yang saya utarakan di atas, bisa jadi dikarenakan publikasi gagasan-gagasan baru tersebut yang kurang maksimal sehingga tidak terjangkau oleh cendekiawan lain. Ataupun memang sebab banyak dari ulama kita yang tidak berorientasi dakwah dengan cara seperti itu; merasa masih ada hal lain yang perlu dibenahi.
Sebab kedua mengapa geliat keilmuan tersebut tidak tampak adalah, muslim Indonesia sudah tidak lagi menganggap hal tersebut penting dan teralihkan dengan isu-isu keagamaaan lainnya. Saat ini yang sama-sama kita saksikan adalah muslim Indonesia seolah masih terfokus dengan isu-isu konservatif yang sudah ramai sejak beberapa tahun yang lalu, yaitu radikalisme dan ancaman nasionalisme. Saya katakan konservatif, sebab kenyataannya isu-isu ini seakan mempertentangkan posisi ormas-ormas Islam di Indonesia. Dengan warna-warni ideologi yang dianut masing-masing ormas Islam di Indonesia, tentu saja isu-isu semacam di atas sangat berjasa membuat jarak serta menciptakan ketegangan antar-pengikut ormas yang berlainan.
Tanpa mengetahui seluk-beluk ideologi yang dianut ataupun bagaimana sebuah ormas menyikapi isu radikalisme dan ancaman nasionalisme, pengikut ormas NU masih sensitif dengan pengikut FPI, begitu pun sebaliknya. Hal ini tentu dikarenakan isu-isu tersebut telah berhasil menguasai atsmosfer keberagamaan kita. Terlebih yang saat ini masih laku di media sosial justru video-video ulama yang angkat bicara menanggapi isu-isu tersebut. Juga video tanggapan ulama atas pertanyaan-pertanyaan terkait imam besar ataupun ulama-ulama yang disegani oleh kelompok sebelah. Semakin mendramatisir, bukan?
Memang, ancaman ideologis tersebut tidak bisa kita biarkan begitu saja. Namun hal yang disayangkan juga, selama ini dalam menyikapi isu-isu tersebut tidak ditemukan adanya dialektika ilmiah antar-ormas yang memiliki ideologi bertentangan. Satu sisi dari orang awam sebagai pengikut ormas tersebut, setidaknya bisa menyikapi polemik ini dengan bijak. Jikalau merasa tidak memiliki pemahaman yang cukup terkait isu-isu tersebut, maka tidak perlu bersikap konservatif yang justru memperkeruh keadaan. Banyak kita temui, orang-orang awam justru saling mencaci atau menghina ulama dan imam panutan ormas yang bertentangan. Tak jarang juga kita menemukan satir-satir yang terdengar cukup kasar dan tidak pantas jika itu ditujukan untuk sekelas ulama, meskipun dari ormas lain.
Tidak asing di telinga kita, orang-orang Kudus di saat Idul Adha tidak menyembelih sapi sebagaimana muslim Indonesia pada umumnya. Mereka memilih kerbau sebagai pengganti sapi, sebab ingin menghormati tradisi orang Hindu terdahulu yang menyucikan sapi. Hal tersebut sebagaimana yang diajarkan Sunan Kudus pada waktu itu. Sapi, seekor hewan yang tidak berakal saja dihargai sebab disegani oleh orang Hindu, bagaimana dengan ulama sesama muslim yang hanya berbeda di beberapa persoalan ideologi? Perbedaan ormas seyogianya tidak lantas membuat kita mengabaikan ukhuwah insâniyah, ukhuwah islamiyah dan ukhuwah wathaniyah.
Kemudian yang tak kalah memprihatinkan juga, di tengah berkecamuknya ideologi ormas-ormas di Indonesia, jarang sekali atau hampir belum ditemukan forum diskusi terbuka yang mempertemukan ormas-ormas yang bertentangan. Padahal, diskusi ini bisa jadi menjadi kesempatan kita untuk mencari jalan tengah. Kalaupun ujungnya tidak bisa diketengahkan, setidaknya antarpengikut ormas tak lagi tonjok-tonjokan karena sudah mengerti pijakan ideologi yang diyakini satu sama lain. Meskipun saya sendiri pesimis sih, persoalan ideologi semacam ini tak akan menemui jalan tengah, hanya akan berujung mana benar dan salah.
Tulisan-tulisan ilmiah sebagaimana yang dilakukan oleh ulama terdahulu seyogianya bisa menyadarkan ulama kita. Kalau tidak bisa berdialog ilmiah di forum terbuka, setidaknya ada dialektika semacam Imam al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Saya rasa di Indonesia, satu pihak ormas sudah gencar menerbitkan karya-karya pembanding ideologi ormas lain (yang dirasa radikal). Namun tak kunjung ditanggapi ataupun dibalas dengan karya tulis yang ilmiah. Karya-karya tadi hanya ditanggapi lewat ceramah-ceramah yang saya rasa tidak argumentatif, apalagi ilmiah. Pertanyaannya, apakah mereka tidak percaya diri dengan ideologi yang diyakini, atau memang tidak memiliki kapabilitas keilmuan untuk menanggapi dengan ilmiah? Ini menjadi pekerjaan rumah ulama beserta penerus ‘ikhwân fillâh’.