Islamologi

Islam Memanusiakan Manusia

Semangat beragama masyarakat Indonesia sedang mengalami peningkatan. Saat ini, masyarakat kita seolah sedang berlomba-lomba menjadi manusia yang religius. Simbol-simbol serta atribut keagamaan—Jubah, hijab, cadar, gamis dan sebagainya—semakin laris diperjual-belikan. Konten ceramah ustadz-ustadz Youtube semakin digandrungi, hingga quotes-quotes syar’i menjadi makanan “wajib” sehari-hari kaum milenial.

Namun di balik meningkatnya religiusitas umat tersebut, masih terdapat beberapa gesekan-gesekan terkait keberagamaan. Misalnya, kasus pembantaian satu keluarga Kristen di Sigi oleh kelompok Mujahid Indonesia Timur baru-baru ini. Belum lagi aksi vandalisme dengan menuliskan kalimat “saya kafir”, “anti Islam” hingga merobek al-Quran di sebuah mushalla di Tangerang beberapa waktu lalu. Dalam kasus berbeda, ujaran-ujaran kebencian dilontarkan oleh (konon) pemuka agama terhadap pemeluk agama lain. Kasus-kasus gesekan semodel itu semakin menambah peliknya permasalahan keberagamaan di Tanah Air.

Keberagamaan di Tanah Air
Agama tidak bisa dilepaskan dari kultur masyarakat Indonesia. Meski Indonesia bukan negara agama, tapi nafas-nafas keagamaan telah melandasi ideologi dan kehidupan negeri ini. Kehidupan beragama bahkan telah dijamin negara dalam Sila Pertama Pancasila. “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang sekaligus menjadi bukti bahwa kebebasan beragama dilindungi oleh konstitusi.

Indonesia dengan segala bentuk kemajemukannya menjadi sebuah kekayaan tersendiri. Pluralisme yang ada di negeri kita senantiasa disorot negara lain, bahkan dijadikan role model oleh mereka. Di antaranya karena pluralisme sebagai sebuah paham yang menoleransi adanya keragaman; baik dalam pemikiran, budaya, etnis maupun agama. Keberagaman menjadi dasar berfikir secara kolektif untuk memahami dan mengembangkan wacana pluralisme serta mengedepankan keterbukaan. Bahkan, pluralisme di Tanah Air juga merupakan implementasi ajaran al-Quran. Yakni Allah SWT berfirman dalam QS al-Hujurat ayat 13: “Wahai para manusia, sungguh kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal.”

Secara kultur, Indonesia mayoritas penduduknya sangat agamis. Ini bisa dilihat dari banyaknya upacara keagamaan di Tanah Air. Ibadah-ibadah maupun upacara keagamaan telah diajarkan sejak kecil. Dalam Islam misalnya, orang tua mengirim anaknya untuk memelajari al-Quran ke TPQ (Taman Pendidikan Quran). Ataupun orang tua yang Kristen mengajak anaknya untuk mengikuti misa kebaktian di gereja setiap hari Minggu. Setelah memasuki bangku sekolah, nilai-nilai religiusitas tak luput pula dari perhatian. Aktivitas berdoa sebelum memulai kegiatan belajar mengajar serta adanya mata pelajaran agama di setiap institusi pendidikan. Pendidikan agama juga telah dijamin oleh negara melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 tahun 2007. Penanaman dan pendidikan agama sejak kecil inilah yang menjadikan masyarakat Indonesia menjadi religius.

Sisi lain dari kemajemukan adalah adanya perbedaan dalam pelbagai ruang kehidupan, termasuk dalam kehidupan beragama. Dewasa ini, perbedaan itu seolah menjadi persoalan besar yang dialami bangsa ini dalam kehidupan sosial. Satu sisi, kemajemukan dan pluralitas dianggap sebagai khazanah kekayaan bangsa. Namun di lain sisi, keberagaman acap memunculkan riak-riak perpecahan, seperti kasus-kasus yang telah saya singgung di atas. Dampak terburuk dari konflik-konflik tersebut adalah hilangnya rasa toleran dalam beragama.

Penyebab konflik yang terjadi disinyalir karena masyarakat dianggap tidak cukup cerdas untuk memahami pluralitas. Sementara negara dianggap kurang tanggap dalam menerapkan kebijakan-kebijakan terkait kesejahteraan dan pluralitas. Penyebab utamanya ialah masih minimnya tingkat pengetahuan dan keterampilan masyarakat dalam mengartikulasikan gagasan-gagasan pluralitas dan kemajemukan; baik ranah teoritis maupun praksis. Kalaupun sebagian telah memiliki keterampilan dan tingkat pengetahuan yang cukup, mereka masih dihambat oleh faktor kesadaran untuk berpartisipasi mengawal pluralisme secara aktif.

Saat ini, tidak hanya masyarakat yang menjadi sorotan perihal konflik yang ada, namun juga publik figur—tokoh politik, penceramah, artis dan sebagainya. Mereka yang semestinya memahamkan masyarakat terkait pentingnya toleransi dalam kemajemukan, justru malah melakukan hal-hal sebaliknya. Bahkan banyak pemuka agama yang telah keluar dari koridornya. Sebut saja ceramah provokatif Habib Rizieq Syihab, Maheer Tuwailibi, Bahar bin Smith atau Sugi Nur yang mana mereka semua gemar sekali melakukan ujaran kebencian dan provokasi.

Sebagai penceramah, mereka telah melupakan nilai-nilai agama Islam yang lembut dan menjadi rahmat bagi semesta alam. Ironisnya, para pemuka agama provokatif model itu malah menjadi rujukan sekaligus motivasi dalam beragama. Konten agitatif dan provokatif mereka malah lebih diminati oleh remaja Islam milenial. Maka tak heran bilamana kita menemui simpatisan mereka yang sangat keras dalam ucapan maupun tindakan, bahkan sampai rela mati sebagaimana yang terjadi baru-baru ini. Belakangan, di Indonesia memang sedang banyak pihak melegitimasi kekerasan atas nama Tuhan. Padahal, kekerasan dari perspektif manapun tidak dibenarkan, terlebih lagi dari perspektif agama, terkhusus lagi agama Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Pemahaman sempit dan kaku dalam beragama kiranya menjadi pemicu terbesar terjadinya konflik horisontal antar umat beragama. Absolutisme, eksklusivitas, fanatisme buta  dan agresivitas dalam beragama adalah penyakit-penyakit yang marak terjadi belakangan ini. Itulah problem pelik yang dihadapi berbagai agama saat ini, tidak saja Islam. Agama diperalat, nama Tuhan dihinakan oleh egoisme dan kesombongan kolektif. Fenomena demikian sebenarnya tidak pantas lagi dinisbatkan pada agama, karena agama pada esensinya ialah sikap menyembah, tunduk dan rendah hati yang transenden. Harus disadari bahwa agama pada level eksoterik (syariat) memang berbeda, tetapi pada level esoteris (esensi agama) semuanya sama saja. Semua agama pada dasarnya dipandang sebagai jalan yang sama-sama sah untuk menuju Tuhan yang satu.

Islam Memanusiakan Manusia
Jika kita tarik ke masa primordial Islam, Nabi Muhammad SAW telah mengajarkan bagaimana menyikapi perbedaan. Beliau merancang “Piagam Madinah” yang mampu menyatukan dan mengharmoniskan umat Islam dan Yahudi Madinah kala itu. Hak-hak menjalankan agama dijamin untuk keduanya. Perbedaan agama tidak menjadi penghalang bagi keduanya untuk hidup bersama. Kiranya faktor penting yang menjadi pijakan besar dalam Piagam Madinah ialah kesadaran para Sahabat perihal pluralisme. Sahabat telah sadar bahwa mereka tidak hidup sendiri, melainkan bersama dengan pemeluk agama lain. Mereka sadar bahwa Islam ialah agama yang damai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Pada era modern ini, pendekatan untuk mengurangi konflik dan gesekan antar agama dapat dilakukan dengan beberapa cara. Menurut WR. Comstock di bukunya “The Present and Future of Religion” dalam Religion and Man (New York: Harper & Row, 1971) terdapat empat pendekatan. Pertama, menghilangkan eksklusivism. Ekslusivisme ialah pandangan yang senantiasa menganggap bahwa ia adalah kelompok yang paling benar (true/valid), adapun selain mereka ialah salah (false/misguided). Kelompok ini selalu ada dalam setiap agama.

Kedua, teleogical. Ia merupakan sebuah pandangan yang menyatakan bahwa segala sesuatu dan segala kejadian menuju pada tujuan tertentu. Ia juga berpendapat bahwa setiap agama memiliki keterikatan dan saling mengisi. Sebut saja agama Yahudi dan Kristen yang kita kenal sebagai agama persiapan sebelum datangnya risalah Muhammadiah alias sebelum kehadiran agama Islam.

Ketiga, pluralism. Ia beranggapan bahwa berbagai agama—dengan segala perbedaannya— pada akhirnya memiliki satu tujuan (goal). Ibarat pendaki gunung, seseorang boleh menempuh berbagai jalan, tapi pada akhirnya akan bertemu di puncaknya. Ia juga beranggapan bahwa prinsip agama itu sama, walaupun berbeda sistem agamanya. Dewasa ini semakin timbul kesadaran mengenai urgensitas mengenal agama lain dan mengadakan kerjasama. Indonesia dengan sebutan negara “cross road” merupakan persinggahan banyak agama di dunia. Orang mengenal agama Hindu dan Budha dengan kerajaan besarnya di Indonesia. Kristen berkembang bersamaan dengan datangnya kolonialisme. Kemudian, Islam datang bersamaan dengan kesultanan, dan menjadi cikal bakal kebangkitan Indonesia merdeka.

Keempat, dialog atau interaksi. Dialog senantiasa menjadi pilihan yang tepat dan bijaksana dalam menyelesaikan persoalan. Dialog menjadi jalan terbaik untuk membangun dan memelihara hubungan harmonis. Ia bisa memecahkan perselisihan; baik dalam ranah lokal, regional maupun mondial. Selain itu, dialog juga dapat dilakukan sejak dini untuk membina kebersamaan demi tercapainya kerukunan dan kedamaian yang abadi.

Dalam konteks keberagamaan, tak ada salahnya kita mengambil contoh pada salah satu tokoh yang gencar menyuarakan dialog dan toleransi pada masa orde baru. Ia dijuluki sebagai bapak kerukunan umat beragama, yaitu H. A. Mukti Ali. Ia merupakan santri, tokoh intelektual sekaligus mantan Menteri Agama Republik Indonesia. Dalam menangani masalah yang rumit seperti kerukunan hidup umat beragama, ia sering mengampanyekan dialog-dialog yang intensif. Beliau mempopulerkan istilah agree in disagreement. Tema tersebut diangkat dengan keyakinan bahwa agama tidak dapat dipaksakan. Untuk itu, ia menciptakan solusi bahwa yang dirukunkan itu bukan keyakinan agamanya, melainkan kebersamaan sebagai sebuah bangsa. Dalam setiap dialog bukan masalah teologi yang dibicarakan, melainkan masalah sosial keagamaaan yang menjadi perhatian setiap umat beragama.

Kemanusian dalam Islam
Kiranya tema dialog yang relevan pada saat ini ialah nilai kemanusiaan yang dimiliki setiap agama. Dalam Islam misalnya, manusia dan kemanusiaan menjadi perhatian serius. Ketika Rasulullah SAW pertama kali menyiarkan agama ini, kondisi negara Arab sedang dirundung kebejatan moral dan pelecehan nilai-nilai kemanusiaan yang akut. Perang dan pertumpahan darah antarsuku akibat fanatisme terjadi di mana-mana. Perempuan diinjak martabatnya, bahkan bayi perempuan dikubur hidup-hidup karena dianggap tidak berguna dan memalukan. Perjudian, minum minuman keras, perbudakan menjadi hal yang lumrah. Jadi, beliau diutus tidak hanya membersihkan paganisme, namun juga untuk menata moral masyarakat Arab yang saat itu kehilangan rasa kemanusiaan. Oleh sebab itu, beliau mendeklarasikan diri bahwa pengutusan beliau untuk menyempurnakan akhlak.

Perhatian Islam terhadap manusia dan kemanusiaan juga telah dijelaskan secara eksplisit dalam al-Quran. Allah SWT berfirman dalam QS al-Isra’ ayat 70: “Dan telah kami muliakan anak cucu Adam.” Pada ayat tersebut, al-Quran memakai redaksi karramnâ (Kami (Allah) telah memuliakan), ini berarti bahwa manusia itu mulia, dan Allah sendiri yang memuliakan, bukan manusia lain. Pesan kemanusiaan juga telah disampaikan Rasulullah SAW saat Haji Wada’, salah satu redaksinya ialah beliau berpesan: “Wahai manusia, ingatlah sesungguhnya Tuhanmu adalah satu dan nenek moyangmu juga satu.” Beliau memakai redaksi “wahai manusia” ketimbang redaksi “wahai orang-orang yang beriman”, padahal mayoritas yang hadir saat Haji Wada ialah orang mukmin. Hal ini mengajarkan bahwa beliau menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.

Atau momentum Fathu Makkah yang menjadi bukti sahih selanjutnya. Orang Mekkah yang masih menyembah berhala saat Mekkah ditaklukkan, dijamin sendiri oleh Rasulullah perihal keamanan dan keberlangsungan hidup; baik jiwa maupun harta mereka. Hingga puncaknya, beliau berpidato perihal orang beriman dan orang muslim. Dikutip dari riwayat Imam Ahmad bahwa Nabi SAW bersabda: “Maukah kalian kuberitahu mengenai pengertian mukmin? Mukmin ialah orang yang memastikan dirinya bisa memberi rasa aman untuk jiwa dan harta orang lain. Adapun muslim ialah orang yang memastikan ucapan dan tindakannya tidak menyakiti orang lain.”

Wabakdu, ajaran akhlak, kasih sayang dan kesantunan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah—yang akhir-akhir ini sering dilupakan umat Islam di Tanah Air— patut lebih diperhatikan lagi. Bahkan Gus Mus mewanti-wanti perihal akhlak sambil berderai air mata saat mengisi sambutan Haul virtual KH. A. Masduqi Mahfudz. Gus Mus mengajak agar para ustadz, pemuka agama dan habaib kembali menghadirkan akhlak Rasulullah yang sering dilupakan. Ini dilakukan agar masyarakat awam yang kurang paham perihal esensi ajaran Islam tidak menjadi orang yang keras, kaku dan radikal dalam beragama. Karena pada dasarnya al-insanu abdu al-ihsan; manusia ialah hamba kebaikan. Semoga setelah ini tidak ada lagi ujaran-ujaran kebencian yang bisa menimbulkan gesekan maupun konflik antar umat beragama di Indonesia. Dan semoga kita senantiasa menjadi insan yang berbudi luhur, sekaligus menjadi manusia yang menghormati kemanusiaan dirinya dan kemanusiaan orang lain. Semoga!

Cek Juga
Close
Back to top button