Kasus Sigi dan Upaya Komprehensif Memberantas Terorisme

Oleh: M. Reza Ahsan Tudzoni
Aksi terorisme di Sigi bulan November lalu menunjukkan bahwa terorisme di Indonesia hampir tak pernah surut. Di tahun 2019, tercatat ada 9 kasus terorisme yang terjadi. Kini, di penghujung tahun 2020, terjadi lagi aksi terorisme sadis di Sigi. Krisis yang sedang dihadapi masyarakat akibat pandemi ternyata tidak menghalangi ‘hasrat’ mereka melakukan aksi teror. Suatu kenyataan yang menunjukkan bahwa kelompok terorisme tidak pernah peduli dengan ‘istilah’ kemanusiaan.
Aksi teror tersebut terjadi pada 27 November di Desa Lembantongoa, Sigi, Sulawesi Tengah. Dalam aksi tersebut, 4 orang tewas dibunuh dengan cara sadis, mayat mereka ditemukan dalam kondisi mengenaskan. Polisi menduga pelaku aksi bejat ini adalah kelompok teroris Mujahiddin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora. MIT sendiri tercatat telah membunuh puluhan warga sipil selama menggencarkan operasi teror di wilayah pegunungan Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, dalam kurun 9 tahun terakhir.
Suburnya aksi terorisme merupakan problem nyata yang hadir dalam kehidupan kita. Ketika suatu aksi terorisme berhasil ditumbangkan, hal tersebut ternyata tidak menutup peluang munculnya aksi terorisme baru. Selalu saja ada ‘bom-bom bergerak’ yang siap ‘meledak’ sewaktu-waktu. Seakan terorisme merupakan siklus tak berkesudahan yang terus berputar secara sporadis. Bahkan studi yang pernah dilakukan terhadap kelompok teroris di Timur Tengah menunjukkan 80 persen mereka yang dipenjara akan kembali menjadi teroris setelah keluar dari penjara. Fakta-fakta tersebut menyisihkan sekelumit pertanyaan, apa yang masih kurang dari upaya-upaya yang telah dilakukan dalam mengatasi terorisme?
Persoalan tersebut menurut saya berkaitan erat dengan cara pembacaan terorisme yang kurang komprehensif. Dalam ranah teoritis, terorisme sering kali hanya dibaca sebagai suatu aksi yang lahir dari pemahaman agama yang menyimpang. Hal ini terlihat dari banyaknya karya-karya yang terfokus mengkritik ideologi kelompok teroris, namun masih terbilang sedikit karya-karya yang membaca terorisme dari berbagai sisi lainnya. Padahal, faktor pendorong terorisme terbilang cukup kompleks. Sebuah studi dari University of Montreal Kanada menyebutkan faktor pendorong aksi terorisme terdiri dari faktor psikologi, ideologi, politik, ekonomi dan budaya. Faktor-faktor tersebut memang tidak selalu semuanya ada secara bersamaan dalam setiap aksi terorisme. Namun, dalam banyak aksi terorisme, faktor pendorong aksi tersebut tidak tunggal.
Dalam aksi terorisme Sigi misalnya, selain mereka melakukan pembunuhan atas 4 orang, mereka juga mencuri kurang lebih 40 kilogram beras. BNPT menyebut teror di Sigi disebabkan kelompok teroris MIT sedang kekurangan logistik. MIT memang hidup di lereng-lereng pegunungan Biru, kabupaten Poso, sehingga untuk bertahan hidup mereka mencuri dari masyarakat setempat. Dalam kasus terorisme Sigi, sangat terasa bahwa faktor ekonomi juga turut berperan dalam munculnya aksi teror mereka.
Melihat adanya faktor kompleks tersebut, saya rasa terorisme perlu dibaca dengan berbagai perspektif. Sehingga berbagai perspektif tersebut saling menopang dan bekerja sama dalam satu langkah mengepung terorisme.
Pembacaan Komprehensif
Kompleksitas faktor yang memengaruhi terjadinya tindakan terorisme membutuhkan pembacaan yang komprehensif. Pembacaan komprehensif salah satunya bisa dilakukan dengan pendekatan multidisipliner. Dengan pendekatan ini, terorisme bisa dibongkar dari berbagai perspektif yang saling menopang dan saling menguatkan. Berbagai perspektif tersebut secara bersamaan ‘mendekati’ terorisme dan memberikan solusinya masing-masing, baik dalam segi pencegahan maupun penanganan. Mengkritik ideologi kelompok teroris merupakan langkah paling umum dan menurut saya paling mendasar dalam mengatasi terorisme. Dalam pendekatan multidisipliner, langkah tersebut bisa dilengkapi dengan melakukan pencegahan dan deteksi dini yang dihasilkan dari pembacaan psikologis. Begitu juga dengan pembacaan dari berbagai perspektif lainnya.
Dari perspektif psikologi, secara singkat proses seseorang menjadi teroris terjadi karena ia merasa terasingkan dalam menjalani kehidupan. Hal ini disebabkan oleh keinginannya hidup sebagai muslim ‘kaffah’ (menurut versinya) tidak terpenuhi oleh lingkungan, sistem dan nilai-nilai yang justru jauh dari keyakinannya. Maka, bergabung dengan kelompok teroris baginya adalah pilihan yang menarik. Posisi kelompok teroris sebagai minoritas, juga sering kali menjadikan mereka merasa diperlakukan secara tidak adil, sehingga muncul kebencian dalam diri mereka dan menumbuhkan rasa ingin balas dendam. Lalu untuk mengubah realitas agar sesuai dengan keyakinannya, mereka melakukan tindakan kekerasan, karena kekerasan dianggap sebagai satu-satunya cara paling efektif untuk mencapai tujuan mereka. Dialog dianggap sudah tidak berfungsi. Dari sini dapat disimpulkan bahwa dalam diri mereka terdapat kepribadian perusak dan sakit, emosional yang tidak stabil, inferioritas dan motif balas dendam. Maka strategi pencegahannya adalah pihak atau lembaga yang mempunyai tugas khusus menangani terorisme, perlu mempelajari proses bagaimana ideologi ekstremis mampu menjadikan seseorang bergabung ke kelompok teroris. Di sisi lain, juga perlu mempelajari gerakan-gerakan yang bertendensi menjadi aksi terorisme. Sehingga terorisme dapat terdeteksi dan dapat diantisipasi lebih dini.
Sedangkan dalam kasus para teroris yang sudah tertangkap, maka strategi selanjutnya adalah melakukan intervensi kepada mereka. Seperti pada kasus napi teroris yang akan menjadi teroris kembali setelah keluar dari penjara, dengan intervensi pemerintah melalui program deradikalisasi dan pengembalian mantan napi teroris ke masyarakat, terbukti secara efektif berhasil membuat mereka meninggalkan dunia teror.
Dari perspektif ekonomi, kemiskinan dapat menjadi faktor terjadinya tindakan teror. Kemiskinan secara merata di masyarakat dapat menimbulkan lemahnya struktur dan sistem pemerintahan. Keadaan tersebut dalam beberapa kasus terorisme dijadikan sarang operasi oleh kelompok teroris karena lemahnya pemerintah dalam melakukan kontrol terhadap keamanan negara. Kemiskinan dan ketidakadilan yang melanda seseorang juga turut memengaruhinya untuk bergabung dengan kelompok teroris. Hal tersebut dikarenakan kelompok teroris menawarkan atau seolah menawarkan berbagai macam iming-iming solusi kemiskinan yang sudah lama ia hadapi. Seperti anggota kelompok teroris Abu Sayyaf yang mayoritas berasal dari keluarga miskin dan tidak teredukasi. Maka dalam menyikapi hal ini, saya rasa pemerintah harus terus menerus menggalakkan upayanya dalam pengentasan masyarakat dari kemiskinan.
Dari perspektif politik, sistem politik suatu pemerintahan berpengaruh terhadap perkembangan terorisme. Sistem pemerintahan yang tidak sejalan dengan pandangan kelompok tertentu, pemerintah yang otoriter, represif dan juga ditambah dengan sistem ekonomi yang tidak stabil memudahkan sel-sel terorisme tumbuh berkembang dengan baik. Maka dalam hal ini, menurut saya pemerintah harus senantiasa terbuka untuk menerima masukan dan melakukan pembenahan dalam kebijakan-kebijakannya.
Upaya pembacaan secara komprehensif bisa disimpulkan sebagai upaya melawan terorisme dengan melibatkan kerja sama antar disiplin ilmu. Dengan pembacaan ini, saya rasa langkah yang dihasilkan untuk mengatasi terorisme akan lebih efektif.
Wabakdu, permasalahan terorisme memang bukan masalah sederhana. Perlu jangka waktu panjang untuk benar-benar mampu menghentikan aksi terorisme. Namun dengan pembacaan komprehensif, saya berharap setidaknya upaya ini mampu membantu mempercepat langkah meminimalisir terjadinya aksi teror dalam rangka ‘proyek besar’ memberantas terorisme.