Opini

Berdakwah dengan Mahabah, bukan Amarah

Pada 23 Desember lalu, saya sempat melihat postingan Nadirsyah Hosen di laman Facebook-nya yang berisi: “Jika Anda menutup telinga, Anda akan berbicara dengan suara tinggi. Orang lain akan melihat Anda aneh karena anda berteriak. Pendakwah yang berteriak-teriak, meluap-luap bisa jadi pendengarannya juga tertutup.” Takarir poster tersebut menyajikan penjelasan logis mengapa orang berbicara keras ketika kupingnya tertutup.

Yang menarik ialah respon pengguna media sosial. Netizen yang tersulut emosi mencoba menyanggah status Gus Nadir dengan memberi jawaban-jawaban kenapa ada dai yang berdakwah dengan nada tinggi dan marah-marah. Ada yang mengatakan suara tinggi adalah khas dari tiap daerah. Ada pula yang mengatakan bahwa berdakwah dengan suara tinggi dan marah-marah adalah bentuk dari ketegasan dalam menyampaikan nahi munkar seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad.

Dalam menyikapi hal itu, mereka meminta penguat pendapat dari dalil-dali agama seperti Hadits. Salah satu Hadits yang menjadi alasan kenapa mereka mendukung dai yang berdakwah dengan suara keras adalah: Dari Jabir bin Abdillah RA, ia menceritakan: Bila sedang berkhotbah, Rasulullah SAW memerah matanya, suaranya keras dan kemarahan beliau memuncak, seakan-akan beliau sedang memperingatkan pasukan (dari musuh) [HR. Muslim].

Dalam menjelaskan konteks Hadits, Imam Nawawi berkata: “Hadits ini dapat dijadikan dasar petunjuk bahwa seorang khatib dianjurkan membaguskan arti pentingnya khutbah, mengeraskan suara, dan menegaskan perkataan, serta berintonasi yang sesuai dengan karakter tema, baik yang bersifat targhîb (janji) maupun tarhîb (ancaman). Dan mungkin saja kemarahan beliau muncul saat memperingatkan perkara yang besar atau urusan yang penting.” [Syarh Muslim: 6/155-156]

Para netizen yang mendukung dakwah dengan suara keras biasanya mengimani bahwa sudah terlalu banyak para dai yang menyampaikan amar makruf di Indonesia, maka perlu diimbangi dengan dai yang menyampaikan nahi munkar.

Mencermati hal ini, saya dapati bahwa pernyataan mereka bertolak belakang dengan apa yang saya pelajari, khususnya pelajaran dakwah di fakultas saya, Usuludin, perihal bab meneladani Nabi dalam berdakwah dan karakter dai dalam berdakwah.

Saya akan memulai dari Hadits yang menjadi alasan mereka di atas. Di dalam buku Piranti-piranti Dakwah (Wasâil al-Da’wah), Ahmad Ibrahim Athiyyah (Ketua Jurusan Dakwah Universitas Al-Azhar Mesir) menyinggung maksud dari meneladan dakwah Nabi. Menururtnya, seorang dai dikatakan meneladan dakwah Nabi ketika keadaannya sesuai dengan sebab-sebab kenapa Nabi melakukan dakwah dengan cara demikian. Jika sebab-sebabnya tidak sama, maka hal tersebut tidak bisa dikatakan meneladan Nabi, meskipun mereka melakukan apa yang dilakukan Nabi.

Hadits yang dijadikan patokan oleh netizen di atas, kurang tepat jika dianggap meneladan dakwah Nabi. Tersebab, setelah ditakhrij dan dikumpulkan riwayat-riwayatnya, keadaan khotbah Nabi yang seperti itu hanya terjadi pada kondisi-kondisi tertentu seperti yang diriwayatkan di dalam buku Sunan al-Nasa’i.

Perkataan Imam Nawawi itu memang benar adanya. Namun, hal ini tidak menjadikan Hadits tersebut layak sebagai alasan dalam berdakwah dengan nada yang tinggi dan marah-marah.

Kita perlu memahami lebih dalam lagi makna bahasa yang disampaikan oleh Sahabat. Kita perlu melihat Hadits-hadits lainnya yang menceritakan cara Nabi dalam berdakwah. Seyogianya kita tidak berhenti pada satu Hadits itu saja, apalagi jika hanya memahami Hadits dari terjemahan bahasa Indonesia.

Saya ingin menanggapi pernyataan mereka yang mengatakan bahwa karakter setiap daerah yang berdampak pada cara menyampaikan dakwah. Di dalam kitab Wasâ’il al-Da’wah juga dibahas kaidah-kaidah untuk dipelajari para pendakwah sebelum terjun ke masyarakat. Di antara yang penting ialah seni berbicara. Dakwah disampaikan perlahan dan tidak terburu-buru seperti yang dilakukan Nabi. Hal ini tak lain agar apa yang disampaikan oleh sang dai bisa dipahami dan diterima oleh audiens.

Itu artinya, berdakwah memiliki ketentuannya sendiri dan memang terlepas dari atribut karakter maupun lingkungan sang dai. Seperti di Mesir, jika kita lihat kondisi sosial budaya di negara ini, karakter pribuminya sangatlah keras dan bersuara tinggi. Sopir-sopir angkot dan penjual kaki lima di jalanan kerap kali beradu mulut dengan nada tinggi hanya karena hal-hal sepele. Kebiasaan ini  berbeda dengan orang yang berpendidikan ataupun para ulamanya. Meski mereka sama-sama terlahir dari Mesir, karakter para tokoh agamanya dalam berdakwah sangatlah tenang, begitu juga dengan sikapnya. Wajah damai dan mencerahkan seperti ini terlihat pada masyayikh al-Azhar, misalnya.

Persoalan nada tinggi dalam berdakwah memang perkara kondisional. Dalam berdakwah, para masyayikh al-Azhar juga tidak selalu bernada lemah-lembut. Sekiranya berdakwah dengan nada tinggi, isi dakwahnya bukan ujaran kebencian apalagi cacian, melainkan bentuk dari penegasan. Dakwah-dakwah semacam ini bisa kita lihat dalam ceramah Syekh Usamah Azhari missal, saat menyanggah pendapat Ikhwanul Muslimin. Ia tetap menghormati seorang Hasan al-Banna sebagai sosok yang baik dan berilmu, hanya saja ia tidak setuju dengan pemikirannya. Ia berprinsip bahwa cara menyanggah pemikiran adalah dengan pemikiran. Hubungan sosial adalah suatu hal, dan ideologi adalah hal lain lagi. Ketidaksetujuan dalam hal ideologi ataupun politik, tidak menjadikan seorang dai ataupun ulama mengkafirkan ataupun mencaci kepribadian orang tersebut.

Seorang dai juga seyogianya tidak berlebihan dalam menyampaikan konten dakwahnya. Semisal terlalu sering membahas siksa neraka sehingga membuat umat justru takut terhadap Islam. Sebab, berlebihan-lebihan ini adalah hal yang tidak disukai oleh Nabi Muhammad Saw.

Rekaman tentang sikap dakwah Rasul terdapat di dalam Sunan al-Tirmidzi. “Sesungguhnya aku sangat marah pada kalian dan kalian akan duduk paling jauh dari majlisku di hari kiamat nanti. Yaitu kalian yang terlalu berlebih-lebihan dalam berbicara.”

Hal ini juga yang selalu ditekankan oleh Syekh dr. Yusri Rusydi, salah satu mursyid thariqah Syadziliah di Mesir, bagian dari masyayikh besar al-Azhar. Ia mengatakan bahwa berdakwah mestinya dilakukan dengan mahabbah (cinta), bukan dengan ikrah (kebencian). Tujuan dari dakwah tersebut ialah agar umat muslim melakukan ibadah karena kecintaannya terhadap Allah SWT, bukan sebab keterpaksaan. Agama adalah nasihat, itu landasannya.

Begitu juga dengan amar makruf nahi munkar yang mereka singgung di atas. Jika menukil dari apa yang telah disampaikan oleh Imam Ghazali di dalam bukunya, Ihyâ Ulûmiddîn, amar makruf nahi munkar sejatinya keduanya sama-sama disampaikan dengan cara nasihat. Imam Ghazali berkata bahwa sesungguhnya manusia tidak dilahirkan dalam keadaan berilmu, maka dari itu mereka bodoh akan perkara-perkara yang berkaitan dengan syariat. Mereka membutuhkan peran ulama untuk mengajari mereka akan hal termaksud. Oleh karenanya, tidak ada alasan untuk menyampaikan dakwah dengan selain ramah.

Back to top button
Verified by MonsterInsights