Esai

Donald Trump; Mercusuar Demokrasi Amerika

Oleh: Donald Wijaya Kusuma

Joe Biden mampu menghentikan karir politik Donal Trump sebagai orang nomor satu di negeri Paman Sam.

Presiden yang berasal dari partai Demokrat ini berhasil mengantongi 306 suara elektoral (51,1%), saat dimana partai Republik meraih 232 suara elektoral (47,2%). Meski terlaksana di tengah pandemi COVID-19, kontes perpolitikan Amerika Serikat (AS) tetap berhasil memikat perhatian internasional. Maklum, Amerika masih menjadi negara adikuasa.

Meskipun AS merupakan negara demokratis yang diasumsikan mapan oleh banyak pihak, nampaknya ia menyimpan banyak persoalan terkait pelaksanaan demokrasi. Wilson W. di dalam bukunya, Presidential Elections: Strategies and Structures of American Politics, menyebut beberapa indikasi demokrasi tak sehat di Amerika. Di antaranya, tingginya angka golput, kecenderungan partai politik memilih kandidat presiden populis dibandingkan kandidat yang lebih baik kualitasnya, biaya politik tinggi, politik kompromistis antara kelompok kepentingan dengan partai serta kerumitan sistem pemilu presiden.

Demokrasi AS diperkeruh dengan penolakan Trump atas kekalahannya di pergelutan politik AS tahun ini. Tingkah laku Trump mencetuskan sejarah baru dalam tradisi demokrasi AS sejak 220 tahun lalu. Saya akan mengulas problematika demokrasi AS dalam kurun pemerintahan Trump, seorang nakhoda demokrasi negara the guardian of democracy.

Mercusuar Demokrasi AS
Kemapanan demokrasi AS sudah tidak relevan. Melihat angka golput yang sangat tinggi, demokrasi AS bukan termasuk kategori demokrasi yang partisipatif dan substansial dimana jumlah masyarakat yang tidak berpartisipasi dalam pemilu hampir mencapai 50%. Pasalnya demokrasi akan berjalan semu ketika partisipasi rakyat dalam sistem demokrasinya rendah. Dengan itu eksistensi demokrasi AS Menurut saya adalah sebuah kemercusuaran.Dalam hal partisipasi pemilu, AS berada di bawah Belgia dan Denmark.

Menurut Miriam Budiarjo, penulis buku Dasar-Dasar Ilmu Politik, semakin tinggi partisipasi politik rakyat, tingkat demokrasi juga bertambah baik. Jika partisipasi rendah berarti warga negara menelantarkan dan tidak peduli masalah-masalah kenegaraan. Dengan demikian, para birokrat akan berbuat semaunya dan dapat meremehkan keperluan, aspirasi dan permintaan rakyatnya. Ketika rakyat tidak berpartisipasi dalam politik, maka pemerintahan akan berjalan seperti tidak diawasi dan sulit menyalurkan kebutuhan dan aspirasi rakyat.

Selain itu, partai politik sebagai salah satu wadah penting dalam percaturan demokrasi kerap kali justru melumpuhkan nilai-nilainya. Partai politik sering mengajukan pemimpin yang populis, bukan pemimpin yang berkompeten dan memiliki kualitas komprehensif dalam menyelesaikan permasalahan negara. Mereka ramai mengajukan para artis, pengusaha, sanak keluarga dan publik figur yang dikenal banyak masyarakat sebagai upaya meraup suara. Model-model demikian sangat potensial memunculkan pemimpin-pemimpin demagog yang otoriter.

Bobroknya Demokrasi Amerika
Terpilihnya Trump sebagai Presiden Amerika ke-45 memperlihatkan bobroknya demokrasi Amerika yang selama ini diagungkan bak “polisi” demokrasi dunia. Di dalam buku yang sempat viral berpose dengan Gubernur Jakarta, How Democrasies Die, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt memperingatkan bahwa demokrasi di Amerika berada di dalam masalah dan mati secara perlahan. Hal tersebut dapat terjadi jika sebuah negara demokrasi dipimpin oleh seorang yang otoriter. Pada tataran ini, Donald Trump telah menabrak prinsip demokrasi.

Profesor Universitas Harvard itu menggambarkan bahwa matinya demokrasi bukan semata karena pemimpin yang terpilih secara demokrasi diambil paksa oleh jendral militer atau lainnya, seperti yang terjadi di Thailand oleh Chan-O-Cha, di Chili oleh Pinochet, atau di Mesir oleh al-Sisi. Matinya demokrasi, tuturnya, disebabkan oleh penghianatan para demagog. Jika seorang demagog mampu memperpanjang kekuasaan pemimpinannya dengan cara yang tidak bijaksana, otoriter dapat menghanguskan prinsip-prinsip demokrasi.

Membatasi prinsip-prinsip demokrasi secara mutlak memang tidak mudah. Pasalnya, perjalanan demokrasi terus berubah-ubah mengikuti perkembangan zaman. Walaupun demikian, demokrasi memiliki nilai-nilai fundamental yang dianggap sebagai nilai universal dan harus diperhatikan dalam pergulatannya. Seperti kedaulatan rakyat, kekuasaan mayoritas, pembatasan pemerintah secara konstitusional, nilai-nilai toleransi, kerja sama dan mufakat, jaminan hak-hak asasi manusia, hak-hak minoritas, pemilihan yang bebas dan jujur, persamaan di depan hukum, proses hukum yang wajar, serta pluralisme sosial, ekonomi dan politik. Singkatnya, segala sesuatu yang mencakup kedaulatan rakyat dan pemerintah yang demokratis, serta kebebasan dan egalitarianisme.

Nah, ironinya, demokrasi AS yang dinakhodai Trump memercikkan noda kemapanan dengan menabrak beberapa prinsip demokrasi. Hal tersebut dapat kita lihat bagaimana Trump menekan lawan politik, melakukan stigma negatif berlebihan, mengubah peraturan untuk menguntungkan dirinya, memberikan konfrontasi yang membuat orang merasa terancam, lebih-lebih ketika ia membungkam pers yang tidak bersahabat dengannya. Ia bahkan sangat membatasi arus imigran dan itu sempat menuai kecaman dari rakyat.

Kasus pembunuhan George Floyd oleh seorang polisi berkulit putih pada 22 Mei 2020 meledak. Ketika demonstran mengeluhkan isu rasisme di Washington DC, bukannya menampung aspirasi masyarakat, mantan Presiden Amerika itu justru mengambil posisi kontra, lalu memanfaatkan jubah kekuasaannya dengan menurunkan aparat untuk memukul mundur demonstran. Ini menunjukkan bahwa hak asasi manusia tidak diberikan hak sebagaimana mestinya oleh AS. Sebagaimana yang dikatakan oleh seorang ahli teori politik Amerika, Robert A. Dahl bahwa pada sistem kenegaraan yang menganut demokrasi, masalah hak asasi manusia sangat penting.

Nah untuk menyelamatkan demokrasi, saya rasa konsolidasi partai politik dalam menentukan pemimpin mutlak diperlukan. Pengawasan dan penyeimbang institusi negara juga tak kalah penting, sebab dari situlah rakyat dapat mengawasi kebijakan pemerintah, menyeimbangkan institusi negara dari yang salah dan benar. Penghormatan aturan tak tertulis demokrasi seperti menghindarkan nepotisme dalam jabatan. Menghormati demokrasi multi-etnis.

Wabakdu, kekalahan dalam berkompetisi memang sesuatu yang sangat menyedihkan. Hal tersebut mengingatkan saya kepada kekalahan Liverpool sebagai klub favorit dari Real Madrid di final liga Champion tiga tahun lalu. Siapa saja yang turut berkompetisi harus mempunyai jiwa besar dan lapang dada. Atau setidaknya, jangan seperti sebagian pendukung Liverpool yang mempunyai dendam tersirat ke Sergio Ramos. Jika memang Trump masih belum bisa menerima kekalahannya, saya sarankan Donald Trump mengunjungi Indonesia serta berguru kepada Bapak Prabowo, siapa tau bisa diangkat oleh Biden menjadi Menteri Pembasmi Komunis China.

Back to top button