Opini

Pesantren dan Dua Persoalannya

Jujur saja, saya cukup bosan melihat orang-orang yang dengan mudahnya mengatakan, “Ayo, kamu harus mondok, besok kalau besar jadi dai.” Atau, “Mana nih orang pesantren, seharusnya bisa tampil di publik untuk mengimbangi dai yang ekstem.” Ada juga, “kamu dulunya santri kok sekarang gak jadi ustaz.”

Asal mereka tahu, sering kali saya dibuat geram oleh postingan teman-teman lama saya di pesantren. Entah itu foto mesranya bersama pacar, atau pun foto seksi yang memamerkan tubuh mulusnya. Mereka yang saya pergoki bukan santri kaleng-kaleng yang cuma mondok sebulan-dua bulan, melainkan empat hingga enam tahun. Mengetahui fakta ini, pasti orang-orang yang mudah jeplak di atas akan lebih berhati-hati dan mempertimbangkan ulang, benarkah lulusan pesantren pantas untuk digadang-gadangkan menjadi seorang dai?

Jamak diketahui, pesantren memang unggul dalam beberapa hal dari lembaga pendidikan formal. Pesantren dikenal sebagai yayasan pendidikan yang berfokus pada pendidikan moral dan agama. Dalam hal pendidikan moral, pesantren tidak sebatas menyampaikan pengetahuan-pengetahuan teoritis sebagaimana lembaga formal di luarnya. Pesantren beriktikad mendampingi dan mengawasi langsung perkembangan santri. Para santri tidak mendapat pelajaran moral hanya ketika duduk di kelas, tetapi juga lewat tindak laku kiai-bu nyai. Ini pertama.

Kedua, dikatakan sebagai yayasan pendidikan yang berfokus pada ilmu keagamaan, pesantren tidak serta merta membagi maklumat-maklumat agama secara instan. Kurikulum pendidikan di pesantren biasa dimulai dengan pengajaran seperangkat ilmu alat untuk memahami literatur-literatur Islam. Harapannya, semoga nantinya seorang santri mudah mengakses berbagai literatur Islam ketika dihadapkan dengan suatu pertanyaan.

Hal di atas merupakan gambaran umum dari pesantren. Menurut kacamata saya, kedua hal tersebut (pendidikan moral dan agama) yang menjadi alasan mengapa “lulusan pesantren” dijadikan sebagai standar ideal seorang dai oleh kebanyakan orang: bermoral baik dan memiliki pengetahuan agama luas.

Namun kenyataannya, kedua alasan yang membuat “lulusan pesantren” digadang sebagai dai ideal periwayat misi utama pesantren terdahulu, kian meredup dengan munculnya sistem pendidikan berstandar nasional di bawah Kemendikbud ataupun Kemenag yang dimasukkan ke dalam sistem pondok pesantren. Mengutip perkataan KH. Agus Sunyoto (Ketua Lesbumi PBNU dan penulis Fatwa dan Resolusi Jihad); “Pesantren sekarang sudah banyak yang hilang. Pesantren-pesantren besar sudah tidak ada pesantrennya.”

Saya memahami bahwa seiring berjalannya waktu, pesantren dituntut untuk mengemban misi yang semakin berat. Yaitu menjaga tradisi keilmuan kaum pesantren antara berjalan di tempat dengan sistem lama—yang terkesan kolot, atau memperbarui sistem menyesuaikan arus modernisme.

Sayangnya, kehadiran lembaga sekolah formal tersebut yang merupakan salah satu usaha pesantren mengikuti arus modernisme tidak diterapkan dengan sebaik-baiknya. Kurikulum bawaan Kemenag dan Kemendikbud tak jarang justru memarginalkan tradisi pesantren yang sebetulnya masih relevan diterapkan dan lebih solutif. Lembaga pendidikan nasional tersebut tidak hanya membawa sistem baru yang sekaligus mengubah kurikulum semula pesantren, namun juga tenaga-tenaga pengajar di dalamnya yang sedikit-banyak berdasar pada penempatan PNS oleh badan negara.

Ada dua poin penting yang mesti saya ulas tentang pesantren di sini. Pertama, dalam hal moral, pesantren unggul dalam hal pengawasan tindak laku santri. Dengan kemunculan lembaga sekolah formal, selain waktu tidur maka lima puluh persen waktu santri dihabiskan di lingkungan sekolah. Ketika di pondok, saya tidak meragukan bagaimana ketatnya pengawasan kiai-ibu nyai kepada santrinya. Melalui nasihat yang disampaikan ketika salat berjemaah atau majelis mengaji kitab.

Cerita akan berbeda ketika santri sedang berada di lingkungan sekolah formal. Tidak semua tenaga pengajar merupakan utusan dari yayasan pesantren. Mereka sering kali acuh akan tindak laku santri ketika di sekolah. Di sana tidak ada sosok sebagaimana kiai-ibu nyai yang dihormati, disegani bahkan ditakuti oleh santri. Sehingga, fungsi pengawasan pesantren tidak lagi ada ketika santri sedang berada di lingkungan sekolah. Oleh karenanya, tidak heran jika banyak santri yang meremehkan sekolah formal dengan berani melanggar peraturan-peraturan yang sebetulnya ketika di pondok ia tidak berani melanggar.

Kedua, terkait pendidikan agama. Kehadiran sekolah formal tentu saja mengurangi kuantitas pembelajaran pendidikan agama di pesantren. Masuknya kurikulum berstandar nasional membawa serta mata pelajaran umum yang tidak diajarkan di pesantren. Meskipun di dalamnya masih ada beberapa mata pelajaran agama, namun hal itu tetap tidak maksimal sebab diktat yang dipakai hanyalah susunan orang-orang Kemenag, berbahasa Indonesia dan pembahasannya tidak mendetail. Sehingga tidak hanya kuantitas pembelajarannya yang berkurang, tetapi juga kualitas sistem pembelajaran yang dipakai tidak maksimal sebagaimana pesantren tradisonal.

Pengajaran ilmu-ilmu agama di pesantren tradisional dilakukan secara intensif dan komprehensif. Model pengajian disampaikan secara bandongan dan sorogan. Para santri biasa berdiskusi di forum bahtsul masail, tempat dimana santri harus menyelesaikan sebuah persoalan dan menemukan sebuah solusi. Yang penting juga ialah bahwa bahtsul masail menjadi wadah uji nalar kritis santri dalam mengelaborasi literatur Islam klasik kaitannya dengan persoalan terkini.

Kemunculan sekolah formal berstandar nasional cukup menjadi alasan kita untuk meragukan: bisakah pesantren mencetak manusia pencerah yang unggul dalam ilmu dan berbudi dalam pekerti?

Back to top button