Politik Machiavellianisme di Pemilu Wihdah

Sebenarnya, saya pribadi semenjak awal kedatangan ke Mesir di tahun 2016 berusaha untuk skeptis terhadap dunia perpolitikan Masisir, terutama di lingkaran PPMI dan Wihdah. Hemat saya, bukan tempatnya membawa-bawa bendera politik dan manuver-manuver perpolitikan ala politik praktis Indonesia ke ranah kampus al-Azhar. Terlebih lagi, saya mengamati kedua organisasi “induk” tersebut masih kurang memberikan pengaruh besar kepada pelajar dan mahasiswa, selain berita tentang kemegahan seremonial dan festival simbolik yang mereka adakan setiap tahun dengan anggaran yang besar. Akan tetapi, usai tersebar berita bahwa telah terjadi manuver berbau politik nepotisme (atau bahkan skandal) dalam prosesi pemilihan ketua Wihdah-PPMI, serta disertai adanya sedikit “paksaan” dari Mas Hakam, maka saya putuskan untuk mencoba mengurai dari benang kusut yang ada.
Selanjutnya, saya mulai mengontak seorang mahasiswi yang kebetulan berada dalam lingkaran kelas diskusi hermeneutika bersama saya. Ia mengatakan bahwa asal mula kejanggalan ketika pihak panitia memutuskan untuk meninjau kembali persyaratan pihak 02 akibat adanya surat tuntutan dari pihak 01, setelah proses screening dan akan menapaki masa kampanye. Dalam surat tersebut, pihak 01 menilai panitia tergesa-gesa melakukan pemeriksaan data peserta pemilu, khususnya berkaitan dengan pemenuhan persyaratan calon 02. Di situ tertulis, “… 1) Mengirimkan surat cuti dari jabatannya sebagai ketua 2 BPA PPMI dan bukannya surat pengunduran diri. 2) Saudara Septa nyatanya belum pernah mengajukan surat pengunduran diri secara resmi ke ketua WIHDAH 2020-2021 …”.
Di sini, persoalannya adalah dalam proses peninjauan, yang diharuskan melakukan penghentian kampanye hanya pihak 02, sedangkan lawannya (pihak 01) dibiarkan berkampanye dan menyebar propaganda “jualannya” ke mana-mana.
Atas kondisi yang demikian, timses milik Septa Rellani (pihak 02) maju ke panitia untuk menuntut kesamaan pelarangan kampanye demi menjaga keadilan berpolitik. Akan tetapi, layang protes tersebut tidak membuahkan hasil, justru menghasilkan sebuah surat pernyataan terbuka dari pihak DPA Wihdah-PPMI. Yang mana tertulis bahwa Saudari Septa Rellani didiskualifikasi dari pencalonan ketua Wihdah-PPMI karena dua hal; ketidakjujuran dan tidak berbudi pekerti.
Poin ketidakjujuran berasal dari klarifikasi bahwa pihak 02 ternyata belum mengirimkan surat pengunduran dari BPA PPMI dan Wihdah-PPMI. Kemudian, poin tidak berbudi pekerti berasal dari penilaian sepihak dari DPA Wihdah-PPMI, bahwa calon 02 tidak memenuhi sifat terpuji yang umum seperti, jujur, adil, bijaksana dan lain-lain. Meski penuh dengan kesimpangsiuran di sana-sini, pihak DPA dan panitia pemilu ketua Wihdah-PPMI tetap saja melaksanakan prosesi pemilu, hingga sudah masuk di sesi debat kandidat.
Melihat data yang sedemikian rupa, saya coba akan mulai mengurai benang kusut tersebut melalui proses awal screening panitia terhadap calon. Sebagaimana diketahui, bahwa panitia diberi kuasa dan kepercayaan penuh atas jalannya pemilu tersebut, termasuk untuk menentukan kelayakan calon peserta. Jikalau terjadi ketidaklengkapan persyaratan, maka dengan mudah panitia menolak pencalonan atau meminta pihak calon untuk melengkapinya. Di sini, panitia pemilu telah meloloskan kedua calon tersebut, maka asumsi yang terbentuk adalah keduanya telah memenuhi kelengkapan persyaratan. Akan tetapi, ketika pihak panitia menerima layang protes dari satu pihak dan memprosesnya, tanpa menghentikan prosesi pemilu secara keseluruhan. Bahkan malah berpilih kasih dengan membiarkan satu pihak berkampanye, di sisi lain melarang pihak satunya untuk berkampanye. Dari sini, sangat bisa diasumsikan bahwa pihak panitia justru dengan sengaja membiarkan kedua pihak lolos screening, kemudian menggunakan surat tersebut untuk menghambat pihak 02 dalam mengoleksi suara massa. Pasalnya, kondisi tersebut tidak akan bisa diciptakan tanpa melalui pengumuman lolos screening yang kemudian berlanjut ke masa kampanye. Ini sekadar analisa dan asumsi saya, bisa salah, tentu saja juga sangat bisa benar.
Selanjutnya, dalam benak saya usai melihat kecerobohan dan ketidakadilan yang dilakukan panitia, harusnya itu mendatangkan sanksi dari pihak yang berwenang. Akan tetapi, dalam surat pernyataan dari DPA Wihdah-PPMI, bukannya panitia yang disanksi, justru malah Saudari Septa Rellani yang didiskualifikasi akibat kecerobohan pihak panitia. Bahkan sampai ada memasukkan poin “ketidakjujuran”. Yang lebih naif dan menggelikan, terdapat pula poin “tidak berbudi pekerti” yang berasal dari penafsiran pihak DPA Wihdah-PPMI sebagai penguat keabsahan proses diskualifikasi. Jika dinalar, atas standar dan bukti apakah seseorang dinyatakan tidak berbudi pekerti dalam lingkaran sosial Masisir ini? Yang saya tahu, mengenai keabsahan poin budi pekerti tersebut di pemilu Indonesia harus melalui SKCK yang dikeluarkan pihak kepolisian untuk memastikan apakah si calon pernah berbuat tindak pidana atau tidak. Lantas, pertanyaannya apakah DPA Wihdah-PPMI memiliki aparatur negara yang bertugas memonitor ketertiban budi Masisirwati sebagaimana kepolisian? Apa vonis itu jatuh secara cepat dan ajaib? Kalau benar vonis tidak berbudi pekerti aau tidak berakhlakul karimah itu ada setelah Saudari Septa Rellani gugup dan salah menjawab, lalu dianggap berbohong, adilkah keputusan itu? Bilakah para pengurus DPA WIHDAH-PPMI itu tidak pernah gugup lalu salah menjawab atau tidak pernah bohong sekalipun? Saya kok ragu ya. Nah, dari sini, poin “tidak berbudi pekerti” itu bisa dikatakan sepihak, subjektif dan tidak berdasar karena memang tidak memiliki dasar legalitas serta bukti yang kuat.
Dari beberapa uraian di atas, maka agaknya bisa disimpulkan bahwa pihak panitia bersamaan dengan DPA Wihdah-PPMI telah melakukan nepotisme untuk memenangkan calon urut nomor 1 bernama Faramutya. Melihat permainan politik kotor tersebut, mengingatkan saya akan tokoh bernama Niccolo Machiavelli yang menciptakan aliran politik Machiavellianisme. Yang mana, salah satu ajarannya dalam buku “The Prince” yakni, “Penguasa (Prince) berhak melakukan segala cara untuk melanggengkan kekuasaannya, meski dengan cara yang paling kotor sekalipun”. Ajaran tersebut syahdan dibungkus dengan cerita Raja Alexander dalam menguasai Kerajaan Darius dengan melakukan segala cara termasuk membungkam paksa lawan politiknya agar suksesi kekuasaan tersebut berjalan mulus. Saya tidak mengetahui apakah terdapat hubungan khusus antara ketua Wihdah-PPMI saat ini dengan calon urut nomor 1. Namun, bisa dipastikan terdapat sebuah skema agar kelompok (yang melatarbelakangi dua orang tersebut) supaya tetap berkuasa bagaimanapun caranya.
Jikalau skandal nepotisme ini benar-benar terjadi, maka saya sangat menyayangkan tindakan tersebut, karena itu mengotori wajah Wihdah-PPMI. Sungguh disayangkan, sebuah lembaga yang (katanya) berisi kader-kader cerdas Azhariah justru belajar politik pragmatis ala Niccolo Machiavelli. Jika hal tersebut merupakan kesalahan teknis “yang baru disadari”, maka semua saya maafkan, tapi saya tetap mengultimatum untuk segera diperbaiki. Mari kita membangun politik bersih dan menguatkan dinamika ilmiah di tubuh Wihdah-PPMI. Jika Wihdah-PPMI tidak bisa diajak “bersih-bersih” dan berbenah, mungkin wacana Wihdah dibubarkan dan dilebur ke PPMI layak untuk digaungkan.