Humaniora

Belajar Menjadi Militan dari Kak Ahsan

Saya mengenal Kak Ahsan Ulil Albab sejak menjadi anak baru di Mesir dan tatkala mulai aktif di dunia kepenulisan. Sejak dari pesantren, saya memang tertarik dengan dunia kepenulisan, khususnya jurnalistik. Dan ternyata, di Mesir ada media yang bisa mewadahi ketertarikan saya tersebut, yaitu buletin Bedug. Saya pun langsung mendaftar jadi anggota buletin di tahun pertama kedatangan saya; tahun 2018. Sejak saat itulah saya mengenal Kak Ahsan, Pimred buletin Bedug dari angkatan sebelum saya masuk. Di buletin Bedug, kami memang sengaja menggunakan istilah Pimred, bukan Pemred. Terkait apa alasannya, itu kalau diulas sekarang bisa jadi tulisan panjang tersendiri di luar tema yang akan saya bahas.

Nah, karena beliau adalah seorang Pimred, maka otomatis beliau yang kerap bertugas memandu dan mengoordinir setiap ada rapat redaksi. Dengan aksen khas Sulawesinya, Kak Ahsan selalu lugas dan tegas dalam memimpin rapat. Ia juga disiplin soal waktu rapat dan tegas ketika memimpin atau saat meminta setoran tulisan yang memang harus dikumpulkan untuk diedit. Tetapi meski begitu, saya dan teman-teman se-angkatan merasa nyaman dan senang ketika rapat bersama Kak Ahsan. Mungkin itu karena bawaan sifat Kak Ahsan yang ramah, humoris dan suka membanyol. Sifat ramah itu membuat kami yang masih anak baru jadi berani mengeluarkan suara, berdialektika, hingga tertawa bersama.

Memang salah satu triknya, setelah dipancing dengan tawa, kami lantas dipantik lagi untuk berani berbicara. Awalnya kami harus mengenalkan diri di depan umum, lalu dipancing harus berani menyampaikan opini pribadi atas tulisan-tulisan senior yang disuguhkan. Bahkan, kami juga dilatih untuk berani mengkritisi tulisan atau tema rapat yang ada. Itulah pembelajaran pertama yang Kak Ahsan tularkan kepada kami; be brave, but don’t be stupid!

Setelah setengah tahun menjalani proses belajar tulis menulis bersama para senior—termasuk Kak Ahsan, saya juga banyak belajar tentang bagaimana membangun karakter diri dan mentalitas yang baik sebagai mahasiswa perantauan. Karena bagaimanapun juga, kuliah jauh dari pengawasan orang tua memang membutuhkan karakter diri yang kuat. Untungnya, kami di Bedug juga dicetak menjadi pribadi yang berkarakter, punya integritas, militan, beradab dan punya kepekaaan sosial yang bagus.

Dari beberapa senior di Bedug, salah satu yang memiliki karakter kepemimpinan yang kuat, cakap dan memiliki ide-ide kreatif (termasuk) di antaranya adalah Kak Ahsan. Beliau pun menjadi tempat saya bertanya seputar kuliah dan pengembangan diri di luar dunia kepenulisan. Kak Ahsan adalah senior yang paling sering saya, bahkan teman-teman lain tanyai tentang banyak hal. Barangkali karena sikapnya yang humoris dan benar-benar humble kepada siapa saja, termasuk ke juniornya. Sehingga junior-junior seperti kami tetap berani menyapa dan mengajak beliau diskusi. Apalagi kami di Bedug memang tidak mengenal kata senioritas. Kami respek dan hormat ke redaktur yang lebih lama (senior), tapi ketika forumnya sedang diskusi, kalau memang salah dan tulisannya jelek ya tetap kita “bantai” dengan kritik dan masukan-masukan yang konstruktif.

“Kak, bagimana caranya belajar yang efektif dan membagi waktu untuk kuliah juga untuk kesibukan-kesibukan kita di luar kuliah?” Suatu waktu, saya bertanya kepada Kak Ahsan yang secara akademik mendapatkan peringkat Jayid Jidan dan dahulu bisa langsung kuliah di tahun pertama keberangkatannya; tahun 2016. Sesuatu yang memang untuk saat itu jarang terjadi.

Jawaban Kak Ahsan waktu itu, “Gila-gilaan.” Saya hanya tertawa mendengar jawaban tersebut dan menganggap beliau tidak serius dalam menjawab pertanyaan saya. “Ya, memang harus gila-gilaan. Gila-gilaan dalam belajar. Pokoknya mengerahkan segenap jiwa dan raga untuk bisa belajar dalam keadaan apapun,” pungkas beliau yang sontak membuat saya terdiam.

Setelah mendapatkan kata gila-gilaan itu, saya pun berusaha mengimplementasikan spirit gila-gilaan tersebut di Ujian pertama saya. Ketika semua orang beranggapan bahwa organisasi ataupun kegiatan di luar kuliah hanya mengganggu belajar, saya mencoba turut membantah, bahwa ternyata stigma itu salah. Sebagaimana dibuktikan Kak Ahsan, jika kita mengerahkan segenap jiwa dan raga untuk belajar dengan gila-gilaan, di masa-masa persiapan ujian (saat semua kegiatan organisasi atau komunitas tawaquf), nyatanya, usaha memang tidak pernah membohongi hasil. Karena memang kenyataannya, tidak semua orang yang “gagal” di kuliah, disebabkan oleh aktivitas organisasi atau kegiatan pengembangan diri lain di luar ngampus. Nyatanya, justru murni disebabkan mereka sendiri yang tidak belajar dengan maksimal. Terbukti, banyak Masisir yang tidak aktif di mana-mana, tapi hasil nilai akademiknya biasa saja, bahkan buruk. Sebaliknya, tidak sedikit Masisir yang aktif berorganisasi, kajian dan sibuk, tapi nilainya bisa Jayid Jidan, bahkan ada yang mumtaz.

Syahdan, setelah satu setengah tahun, saya belajar menyeimbangkan antara belajar menulis di Bedug dan belajar diktat kuliah, serta menjadi anggota di beberapa organisasi terdekat; kekeluargaan dan almamater. Saya pun lantas konsultasi lagi kepada Kak Ahsan. “Kak, kenapa antum semangat sekali menghidupkan literasi di kekeluargaan antum; Wawasan KKS dan almamater antum; buletin Qalam?”

Pertanyaan itu terlontar setelah saya melihat beliau selalu bersemangat dan militan dalam mengawal serta membersamai teman-teman di kekeluargaan dan almamaternya untuk menjadi penulis dan jurnalis. “Karena kita, pergi untuk kembali,” jawab beliau bernas.

Berangkat dari jawaban seorang senior yang bernama Kak Ahsan itulah, akhirnya saya terpantik ingin ikut mencoba mengimplementasikan hal tersebut di kekeluargaan dan almamater saya; KMJ dan IKAMARU. Apalagi usai melihat buletin Visi KMJ Mesir yang sudah mati selama 12 tahun, sementara jejak buletinnya masih ada, rasanya sangat disayangkan sekali jika tidak ada generasi melanjutkan perjuangan para pendahulu.

Alhamdulillah, termasuk berkah dari spirit serta nasihat-nasihat dari Kak Ahsanul Ulil Albab, semangat literasi di kekeluargaan penulis kini telah bisa bangkit kembali. Tentu saja itu bukan jasa Kak Ahsan seorang, banyak pihak yang juga telah banyak berkontribusi membangkitkan gairah literasi di sekitaran penulis, bahkan di Masisir Raya. Tentunya itu semua harus terus kita bina, bahkan kalau bisa harus terus kita tingkatkan lagi. Semoga!

Back to top button
Verified by MonsterInsights