Rekonstruksi Tasawuf Sosial dalam Kehidupan Sehari-hari

Radikalisme agama, kapitalisme ekonomi, persaingan industri global merupakan di antara fenomena yang muncul di era kontemporer. Di dunia yang penuh chaos seperti itu, sebagian kalangan yang berpendapat bahwa tasawuf merupakan alternatif pilihan untuk mewaraskan kehidupan manusia modern. Tasawuf, dengan demikian, berpotensi menjadi antitesis dari kehidupan serba cepat dan duniawi ini.
Para peminat kajian tasawuf juga semakin meningkat. Misal, banyaknya peminat kajian Ihya Ulumiddin Ulil A. Abdalla, kajian tasawuf di Masjid Jenderal Soedirman Yogja. Menurut saya, ada dua alasan mengapa manusia modern perlu melirik tasawuf. Pertama, tasawuf menawarkan pemuasan dahaga spiritual di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang mengedepankan individualisme dan materialisme. Kedua, adanya upaya menarik mundur kebudayaan Islam ke arah Islam klenik dengan baju tasawuf atau tarekat. Poin pertama banyak kita temui dalam masyarakat kota yang haus terhadap dialog spiritual tanpa unsur kapitalisme-hedonisme, sementara poin kedua dapat kita temui pada beberapa masyarakat desa atau pedalaman yang ritualistik.
Terlepas dari kedua alasan yang saya sebutkan di atas, tasawuf justru sering dikambing-hitamkan sebagai kemunduran umat Islam karena ajaran kaum sufi yang sibuk mengejar kehidupan akhirat berdasarkan konsep zuhud dan asketisme yang tidak relevan dengan perkembangan zaman. Buya Syafii Ma’arif, misal, mengatakan bahwa, “Tasawuf hanya mengajak seseorang untuk terhanyut-hanyut di sungai esoterisme tanpa peduli isu sosial,”.
Memang tidak bisa dimungkiri bahwa pembawaan tasawuf di dalam kitab-kitab turats sering menggambarkan kehidupan asyik dengan Tuhan hingga menjauh dari urusan duniawi. Hal ini telah menuai kritik dari banyak ulama kontemporer. Sehingga, dari sinilah menurut saya pembacaan baru terhadap tasawuf yang relevan dengan isu kontemporer menemukan momentumnya sebagai tasawuf sosial, yang sebenarnya sudah ada secara embrionik sejak awal kelahiran tasawuf itu sendiri.
Fakta sejarah mengatakan bahwa para sufi turut berpartisipasi dalam membangun universitas atau madrasah yang biasa dikenal dengan zawiyah (Arab) atau khanqah (Persia). Gerakan tarekat pada masa Dinasti Abbasiyah untuk menggulingkan Dinasti Umayyah juga memiliki karakter sufistik dan jarang ditonjolkan karena kesan miring terhadap kaum sufi yang mengakar pada kajian keislaman klasik. Contoh lain misalnya, tarekat Ismailiyah yang bergerak di tengah-tengah masyarakat dan mengorganisir gerakan yang bersifat esoteris. Jika diselisik lebih jauh, gerakan di atas tidak lain adalah semacam protes terhadap penguasa di awal abad hijriah karena menggunakan Islam sebagai alat untuk meligitimasi sesuatu demi terwujudnya keinginan pribadi. Kaum sufi mengumpulkan massa, menggiring opini dan melontarkan kritik terhadap penguasa zalim.
Lantas, bagaimana dengan konsep tasawuf sosial sebagai konstruksi dalam ranah kehidupan sehari-hari? Peter L. Berger di dalam bukunya, The Social Construction of Reality: A Treatise in Sociological of Knowledge mengatakan bahwa adanya kontruksi sosial dapat berlangsung dari tiga bentuk. Pertama, konstruksi yang dibangun melalui proses internalisasi berdasarkan realitas subjektif masing-masing individu sebelum melibatkan diri dalam proses eksternalisasi. Hal ini ditegaskan oleh Berger bahwa institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan melalui tindakan dan interaksi. Meskipun institusi tersebut terlihat objektif, namun pada kenyataannya ia dibangun dalam kesubjektifan yang terus diulang-ulang dengan penegasan yang dibangun oleh orang lain. Kedua, rutinitas tindakan dan tingkah laku yang telah terpola dan dihayati oleh individu secara umum sebagai fakta. Ketiga, ekspresi simbolik dari apa yang dihayati dari poin kedua.
Poin-poin konstruksi tersebut dapat diaktualisasikan dalam beberapa ranah, di antaranya; pertama, mengenai keselarasan antara tasawuf dan syariat. Seperti yang dapat dipahami bahwa pengalaman beragama yang hanya mementingkan amalan lahiriah tidak akan memberikan kesan spiritual yang mendalam. Begitu pula amalan aspek batiniah dan mengabaikan lahiriah yang telah disyariatkan akan terjerumus kepada kesesatan.
Kedua, dalam ranah keselarasan dengan kehidupan dunia dan akhirat, tasawuf dapat dipraktikkan dengan tanpa meninggalkan kehidupan dunia. Jika kehidupan dunia diidentikkan dengan pangkat dan harta, maka apa yang ada di dunia bisa digunakan sebagai sarana untuk mencapai kehidupan akhirat atau mendekatkan diri kepada Tuhan. Di dalam hal ini, Syekh Yusuf al-Bakhour al-Hasani myatakan bahwa bertasawuf bukan berarti menerima kemiskinan bahkan mendukung kemiskinan dan orang-orang yang mengemis. Dimana dalam hal ini perlu ditelisik lebih jauh berdasarkan pola berpikir para sufi, apakah ia merangkul dunia untuk dunia, atau merangkul dunia untuk akhirat atau malah meninggalkan dunia seutuhnya untuk akhirat?
Ketiga, tasawuf sosial sebagai pembacaan baru terhadap pemaknaan zuhud, uzlah dan khalwat tanpa mengabaikan tanggung jawab sosial. bertasawuf dengan menghadirkan hati bersama Allah di tengah-tengah aktivitas sosial. Sehingga,—meminjam bahasa Buya Syafii Maarif— penghayatan esoteris tasawuf yang mendalam tidak dilakukan dengan pengasingan diri dan menyepi terhadap kehidupan sosial, tapi dapat dilakukan dengan melibatkan diri di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Konsep uzlah dan khalwat dapat dilakukan di sepertiga malam terakhir atau bermunajat setelah shalat wajib.
Walhal, tasawuf sosial sesungguhnya adalah penegasan dari substansi ajaran itu sendiri yang mengedepankan keseimbangan antara kesalehan individu dan kesalehan sosial. Sehingga, paradigma tasawuf sosial dapat menyentuh beberapa aspek kehidupan bahkan berdekatan dengan permasalahan tidak hanya kaum sepuh tapi juga anak muda seperti yang diucapkan Said Aqil Siradj, “Tasawuf, adalah misi kemanusiaan yang menggenapi misi Islam secara holistik.”.