BukuResensi

Fatâwa al-Nawâzil; Respon terhadap Isu Permasalahan Hukum saat Pandemi

Agama menduduki peran penting dalam kehidupan manusia, baik secara individu maupun kelompok. Dimana dalam ajarannya—Islam terkhusus, mencakup ritual-ritual yang menghubungkan pada ranah metafisika yang irasional. Sebagaimana umat muslim mengimani dan mengamini bahwasanya syariat yang terkandung dalam agama Islam adalah tauqîfî, bersumber dari Tuhan. Ia tidak dalam objek yang sepatutnya masuk ke dalam ranah pembaharuan atau dekonstruksi yang menjurus terhadap suatu term tertentu.

Sebagai contoh, kita mempercayai bahwa sejak perintah shalat diturunkan ia tidak pernah berubah; baik dari waktu pelaksanaan, jumlah rakaat, hingga rukun dan syaratnya, semua itu berdasarkan periwayatan Hadits yang masyhur. Akan tetapi, berbeda dengan hal-hal parsial yang berhubungan dengan syariat Islam yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Dari sini saya beranggapan bahwa fatwa dalam agama Islam memiliki posisi yang cukup urgen, tersebab ia berkaitan dengan kebutuhan masyarakat mengenai hukum sebuah tindakan, perkataan dan hal-ihwal lainnya. Terlebih saat umat Islam mengalami satu kondisi di luar kebiasaan mereka dalam menjalankan syariat Islam. Artinya, satu kondisi ini tidak menghilangkan esensi syariat Islam yang sudah diatur sejak abad kedua Hijriah.

Saya melihat kebutuhan akan fatwa semakin menemukan urgensinya ketika masa pandemi Covid-19. Dimana dalam menghadapi dan meminimalisir penyebarannya perlu mengubah beberapa aspek ritual keagamaan yang seringnya dilakukan secara kolektif. Lembaga Fatwa Mesir mengenai hal ini telah menerbitkan kitab Fatâwa al-Nawazil Waba’ Corona, untuk merespon berbagai permasalahan yang muncul di tengah wabah yang belum berakhir. Kitab setebal 740 halaman itu menjelaskan tidak hanya dengan menukil dari nas al-Quran dan Hadits, akan tetapi juga memberikan jawaban secara rasional terhadap masalah-masalah yang muncul di tengah wabah Covid-19. Meskipun secara mayoritas kitab ini mencakup ranah fikih, justru kitab ini tidak sama sekali mengesampingkan sisi medis, sosial bahkan teologis dalam pembahasannya.

Dalam tamhid (pengantar) kitab ini misalnya, penulis menjelaskan dalam sub-bab mengenai, “Hukum Mengingkari Berobat dari Covid-19 dengan Mencukupkan Tawakal kepada Allah.” Dalam membantah sangkaan tersebut, penulis menggunakan dalil akal dengan mengatakan bahwa tentu saja kita mengimani bahwa al-Mu’tsir al-Haqiqi (yang memengaruhi segala sesuatu) ialah Allah. Bahwa sebab (minum obat) tidak mempengaruhi musabab (kesembuhan dari Covid-19), kecuali dengan campur tangan Allah. Oleh karena itu umat muslim memercayai bahwa benar adanya Allah-lah Yang Maha Kuasa –maha memengaruhi segala sesuatu, akan tetapi sebagai bentuk kesopanan (ta’adub) seorang hamba, ialah memercayai adanya penghubung (berobat dari Covid-19) di antara kesembuhan dan Allah.

Dari tamhîd tersebut, penulis menganalogikan dengan perkara lain yang cukup mudah diterima. Semisal, bisa jadi sebuah sebab—api misal, tidak bisa menjadi sebab terbakarnya kayu seperti yang terjadi dalam mukjizat dan karamah. Penulis kemudian mengkompilasikan beberapa hadits nabi berikut dengan mutaba’ah (riwayat hadits lain yang memiliki jalur serupa) dan syawahid (riwayat hadits lain yang serupa dari segi makna). Selanjutnya, penulis juga mengutip banyak perkataan ulama dan kitab karangannya untuk memberikan penjelasan secara lebih komprehensif sebelum mengemukakan pendapat pribadi di akhir pembahasan, tentunya didasari fakta dan kondisi ilmiah di lapangan.

Adapun metode yang ditempuh penulis dalam menyusun kitab ini cukup menarik. Beliau menuliskan setiap pertanyaan yang menjadi judul sub-bab dari bab-bab besar di atasnya, sehingga kita bisa dengan mudah menemukan pembahasan yang ingin diketahui. Beliau juga mengelaborasi beberapa rujukan yang koheren dengan persoalan yang ada. Tentu tidak hanya berdasarkan nas al-Quran dan Hadits saja, justru diperkaya dengan rujukan medis dan kondisi sosial masyarakat hari ini.

Kecerdasan Beragama sebelum Beragama
Covid-19 telah mengubah beragam aspek kehidupan, baik secara ekonomi, sosial, kesehatan hingga aspek religius. Ia mampu membuat rumah ibadah menjadi sepi, tapi tidak mematikan Islam, setidaknya itulah poin yang saya dapat setelah membaca kitab  Fatâwa al-Nawazil waba’ Corona karya Prof. Dr. Syekh Syauqi ‘Allam,  mufti lembaga fatwa Mesir. Melalui kitab karangannya, saya menemui cara pandang baru bagaimana agama Islam tidak hanya mempertahankan eksistensinya, tapi juga menunjukkan kesignifikanannya pada masa krisis.

Melalui kitab yang terdiri atas lima bab besar ini, Syekh Syauqi ‘Allam tidak hanya menjawab permasalahan kaum awam. Justru beliau tidak segan-segan menolak beberapa argumen kaum radikal yang terlalu berlebihan dalam beragama, hingga menyangkal berita hoax yang bersifat menakut-nakuti seperti term hari akhir, ufo, dll. Saya membaca bagaimana wajah Islam sejatinya memiliki kemampuan adaptif dan inovatif, bukan dalam ranah epistemologi dan metodologi, tapi dalam membuka alternatif baru sehingga Islam tetap hidup meskipun tanpa pertemuan komunal secara fisik.

Dari pembacaan saya di atas, saya menyimpulkan adanya kecerdasan beragama—meminjam istilah Ismail Fajri Alatas, dibanding harus memaksakan wajah beragama yang saklek. Shalat berjamaah adalah hal baik, tapi ketika situasi pandemi, dimana salah satu bentuk pencegahannya adalah dengan menghindari kerumunan sesuai dengan yang dianjurkan pakar medis, saya rasa kurang bijak dengan mementingkan sebuah tindakan egois yang membahayakan nyawa.

Kitab ini layak untuk dibaca sebagai pengetahuan bagi orang awam, tapi tidak sebagai sumber utama. Syekh Syauqi ‘Allam menulis kitab ini dengan bahasa kontemporer yang mudah dibaca, akan tetapi pada beberapa pembahasan, beliau hanya menukil sebuah paragraf berupa statemen ulama klasik sebatas sebagai penguat atas argumen pribadi beliau tanpa mengulas lebih dalam atau menjadikannya pisau analisa terhadap fenomena yang terjadi. Bahkan menurut saya, beberapa istilah membutuhkan pemahaman mengenai Maqashid Syari’ah dan Ushul Fiqh yang tidak dijelaskan secara gamblang.

Judul Buku: Fatâwa al-Nawazil Waba’ Corona
Penulis: Syekh Syauqi Ibrahim ‘Alam
Penerbit: Dar al-Ifta’ al-Misyriyah
Tebal Buku: 743 halaman

Back to top button