Opini

Ihwal Gagasan Childfree Gita Savitri

Oleh: Azuma Muhammad

Pernyataan YouTuber Gita Savitri dan suaminya ihwal ketidakinginan mereka untuk punya momongan (childfree) mendapat banyak tanggapan dari berbagai pihak. Bagi mereka, anak adalah tanggung jawab yang besar dan harus berdasarkan rencana yang matang sebelum memutuskannya. Bahkan Gita lantas menyatakan sangat tidak mungkin (is very unlikely) pernikahannya ke depan nanti akan mempunyai anak. Karena beberapa hal bisa dilakukan untuk tidak punya anak.

Pernyataan Gita itu banyak mendapat tanggapan kontra dari warganet. Apalagi jika melihat pada tujuan dilakukannya pernikahan. Sebagaimana kita tahu, hikmah dan tujuan utama sebuah pernikahan menurut al-Quran adalah tercapainya rasa damai dan jalinan cinta-kasih bagi kedua pasangan. Dalam Surat ar-Rum, ayat 21, Allah berfiman: “Dan dari sebagian ayat-Nya (sebagai bukti keesaan) ialah penciptaan pasangan-pasangan dari diri kalian sendiri, agar kalian memperoleh rasa damai dan tenteram dari mereka, dan juga Ia jadikan antara kalian rasa saling mengasihi dan menyintai. Sungguh di dalamnya bukti-bukti bagi orang-orang yang mau berpikir.”

Pernikahan yang disebut sebagai “perjanjian suci” di hadapan Tuhan bukanlah sesuatu yang main-main. Oleh karenanya, seperti yang disinggung dalam ayat di atas, pernikahan yang ideal adalah pernikahan yang menghadirkan euforia kedamaian dan cinta kasih. Ini umumnya lebih bisa lebih dihadirkan usai pasangan yang menikah sudah mempunyai buah hati alias anak.

Bagi sebagian orang, alih-alih merumuskan dan mendiskusikan bagaimana mewujudkan tujuan utama pernikahan, hubungan ini seringkali dianggap sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan biologis secara legal semata. Efek dominonya, akad suci ini tidak bisa dihindarkan dari masalah yang berkaitan dengan reproduksi. Terlebih bagi sebuah masyarakat yang menganggap anak biologis sebagai barometer “keperkasaan”, kesuksesan, dan capaian “materiil” lainnya.

Oleh karenanya, gagasan childfree (tidak memiliki anak) sebagai pilihan hidup oleh banyak pasangan yang belakangan ini cukup hangat diperbincangkan dianggap menyalahi “kodrat”. Bagai mereka yang setuju, banyak argumen yang melatarbelakanginya, seperti over populasi, kekhawatiran masa depan anak dan banyak lainnya. Sebagian yang lain memilih hidup saling mengasihi dengan pasangan tanpa diributkan masalah anak.

Islam sendiri pada dasarnya memang tidak mewajibkan pasangan suami istri untuk beranak-pinak. Di dalam al-Quran pun tidak ditemukan teks yang mewajibkan hal tersebut. Bahkan dalam Hadits terdapat beberapa riwayat yang mengonfirmasi kebolehan praktik pencegahan kehamilan dengan tidak berejakulasi di dalam rahim selama hubungan suami istri. Dalam konteks saat ini berarti terdapat kelegalan penggunaan alat-alat kontrasepsi pencegah kehamilan.

Prof. Ali Jum’ah, salah satu anggota Dewan Ulama Senior al-Azhar yang juga mantan mufti Mesir menyampaikan secara resmi fatwanya—saat masih menjabat sebagai Grand Mufti—atas kebolehan gerakan childfree. Tidak ketinggalan pula, Grand Mufti Mesir saat ini Prof. Syawqi Âllām pun mengamini hal yang sama.

Para ulama ini menegaskan bahwa keputusan untuk memiliki anak atau pun tidak adalah hak prerogatif pasangan. Dengan catatan, baik suami maupun istri telah mencapai kesepakatan dan saling rida-legawa atas kesepakatan yang diambil, bukan berdasar egoisme sepihak belaka. Kebolehan praktik ini juga tidak membatasi alasan yang melatarbelakanginya, baik alasan ekonomi, over populasi, atau bahkan alasan yang cukup personal; sekedar tidak mau memiliki anak, selama kemaslahatan tertentu sebagai tujuan utamanya.

Lebih lanjut, kebolehan praktik ini hanya pada skala personal. Sedang hukumnya haram untuk skala global atau menyeluruh. Dalam artian jika seluruh manusia bersepakat untuk tidak bereproduksi maka hikmah penciptaan manusia sebagai khalifah di muka bumi tidak bisa tercapai karena adanya ancaman kepunahan.

Gagasan ini menjadi menarik pula ketika kita mengasosiasikannya dengan hak anak atas orang tuanya. Anak memiliki berbagai hak yang harus dipenuhi oleh orang tua, semisal hak atas pendidikan yang layak, hak atas kasih sayang yang ideal, hak atas kehidupan dan rasa aman, juga hak-hak lainnya. Artinya, ketika orang tua tidak yakin atas kemampuannya untuk memenuhi hak-hak demikian—dengan berbagai alasan konkritnya, maka gagasan childfree bisa menjadi solusi, toh agama tidak melarang praktik ini. Menjadi pelik ketika orangtua tidak bisa memenuhi hak anak atasnya, namun tetap nekad bereproduksi karena sekadar berdasar keinginan memenuhi ambisi dan ego personal, alih-alih membeli kondom yang harganya jelas lebih murah dari biaya persalinan.

Pada intinya, kita bebas memilih selama kita yakin akan kemaslahatan yang timbul dari keputusan yang diambil. Yang tidak-boleh-tidak adalah pemenuhan cinta-kasih antar pasangan. Seperti kata para penyair, cinta kasih adalah abadi, yang fana hanyalah kita; pelakunya.

Tulisan ini tayang di tawazun.id

Cek Juga
Close
Back to top button
Verified by MonsterInsights