FilmResensi

Kingdom: Ashin of The North; Kritik Sosial terhadap Sistem Politik yang Cacat

Bagaimana jika negara yang begitu Anda cintai, bahkan kepentingannya selalu lebih Anda utamakan dari kepentingan pribadi maupun keluarga ternyata mengkhianati Anda? Demikian sekelumit perasaan kecewa yang tersirat setelah menonton film genre misteri berjudul “Kingdom: Ashin of The North”. Meskipun secara garis besar film ini bercerita mengenai wabah penyakit yang menyerang wilayah Joseon (Korea), akan tetapi konflik pemikiran yang dihadirkan membuat saya mampu merasakan berbagai komplikasi emosi dalam sosok Ashin; tokoh utama dalam film ini.

Ketika saya membaca sinopsis pada sekuel drama Kingdom I tahun 2019 silam, saya berasumsi wabah yang membuat mayat menjadi kembali hidup sebagai zombi bersifat irasional dan tidak berdasar. Sampai-sampai saya enggan menontonnya lebih lanjut. Tapi siapa sangka bahwa penulis naskah drama tersebut, Kim Eun Hee, menuliskannya berdasar dokumen pengadilan kerajaan di abad ke-19, dimana tercatat ada puluhan ribu kematian di ibu kota akibat epidemi yang tidak dikenal. Terlepas dari ide zombi yang menurut saya terlampau fiktif dan imajinatif, tapi dalam beberapa adegan penulis berhasil menghadirkan penjelasan asal usul kemunculan zombi secara ilmiah. Hal itu didasari atas penelitian ahli medis yang direpresentasikan oleh penjelasan sosok tabib hingga menurut saya terkesan lebih rasional.

Sesuai pembahasan paragraf di atas, film ini adalah sekuel dari dua drama sebelumnya, Kingdom I dan Kingdom II. Film layar lebar kali ini disutradarai oleh Kim Sung Hoon yang juga bertanggung jawab atas produksi umum pada dua seri film sebelumnya. Tidak seperti dua drama sebelumya yang memuat 6 episode di setiap bagiannya, film ini hanya berdurasi sekitar 90 menit dimana dalam film ini merupakan batu loncatan sebelum memasuki bagian ke-3. Secara umum Kingdom: Ashin of The North menceritakan sosok Ashin sebagai tokoh sentral dan misterius yang muncul di akhir drama Kingdom II beserta kemunculan tanaman pembangkit mayat yang menjadi asal mula wabah ini terjadi.

Cerita bermula dari penjelasan topografi wilayah Joseon yang terpecah akibat perang melawan pendudukan pasukan Jepang. Suku Jurchen yang mendiami Joseon lebih dari 100 tahun terpecah menjadi dua; suku Jurchen Pajeowi yang tinggal di daerah perbatasan sebelah Utara dan suku Jurchen Joseon di sebelah Selatan. Suku yang mendiami wilayah Utara terkenal dengan era babarisme nan agresif hingga membuat Joseon Selatan was-was akan adanya pemberontakan. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah mengutus suku Jurchen Joseon untuk menjadi mata-mata dengan tugas mengamati pergerakan suku Jurchen Pajeowi yang tinggal di daerah perbatasan. Suku Jurchen Joseon sebenarnya adalah suku yang terbuang, tidak lagi memiliki kampung halaman dan keberadaannya pun tidak diakui oleh pemerintah Joseon. Di sanalah Ashin kecil bersama ibu dan ayahnya yang merupakan kepala suku sekaligus berprofesi selaku antek mata-mata rezim tinggal.

Isu mengenai tanaman pembangkit sendiri sudah ada sejak lama, ia banyak diburu oleh banyak suku. Sementara keberadaan tanaman misterius tersebut terletak di hutan yang telah lama tidak boleh dimasuki penduduk. Ashin sering keluar masuk ke lokasi terlarang itu demi mencari ginseng liar yang digunakan sebagai obat untuk ibunya yang sering sakit-sakitan. Dalam perjalanan mencari ginseng tersebut, ia menemukan relief bergambar asal usul dan cara menggunakan tanaman pembangkit mayat. Sayangnya, dalam hutan tersebut, Ashin tidak hanya menemukan relief, tapi juga ia secara tidak sengaja menjumpai tumpukan mayat yang tampaknya dibunuh oleh salah seorang prajurit pemerintah.

Keadaan semakin pelik karena ternyata tumpukan mayat tersebut adalah warga suku Jurchen Pajeowi. Lantaran khawatir saudara sesukunya marah karena mereka meninggal di daerah Joseon, Min Chi Rok, Kepala Prajurit Joseon memerintahkan ayah Ashin untuk menyebarkan kabar hoaks bahwa pelakunya adalah harimau liar dan bengis yang telah hidup ratusan tahun lamanya.

Ketika ayah Ashin menyebrang sungai perbatasan untuk melaksanakan misinya, sang ibu semakin sekarat dan membutuhkan pertolongan cepat. Hal ini lantas membuat Ashin terpaksa masuk kembali dan mencoba segala cara untuk menyembuhkan ibunya. Bahkan, ia berencana memberikan tanaman pembangkit mayat pada ibunya. Namun, ketika Ashin kembali dari hutan, ia menemukan seluruh desanya hangus terbakar akibat ulah suku Jurchen Pajeowi yang dipimpin oleh Aidagan. Ia menemukan kalung ayahnya dan beberapa tubuh manusia digantung di gerbang pintu masuk desa.

Ashin kecil meminta bantuan Min Chi Rok untuk membalaskan dendam atas kematian keluarganya dengan tanpa memerdulikan berapa lama waktu yang dibutuhkannya. Sejak saat itu, Ashin tinggal di kandang babi di kamp militer Joseon. Selanjutnya, Ashin bertugas menggantikan ayahnya menjadi mata-mata, mencuci baju para prajurit, belajar berburu dan memanah seorang diri hingga ia menjadi sosok Ashin dewasa.

Suatu hari datang kabar mengenai konferensi damai dengan pasukan Jepang telah putus, keadaan semakin pelik terutama di daerah perbatasan. Ashin diutus untuk mengamati pergerakan suku Jurchen Pajeowi lebih detail kembali. Sementara waktu para pasukan Jurchen Pajeowi sedang pergi berperang. Tidak disangka, ketika Ashin berhasil menyusup ke kamp lawan, ia menemukan ayahnya yang selama ini ia kira telah mati. Ternyata sang ayah masih hidup dalam keadaan tengah dihukum pasung dan dipotong kedua kaki dan tangannya. Ashin pergi dengan rasa marah, penuh pertanyaan dan sedih bercampur menjadi satu. Sesampainya di kamp militer Joseon, ia mengobrak-abrik kantor dan menemukan dokumen perdamaian dengan mengorbankan ayah Ashin sebagai tumbal. Akibat kemarahan yang semakin menjadi, ia lantas membunuh sisa-sisa prajurit dan membangkitkannya kembali sebagai zombi untuk menciptakan keributan dan kekacauan di desa. Terakhir, ketika Ashin berhasil membunuh orang-orang di desa dan membakar semua zombi, ia menjual tanaman pembangkit tersebut kepada tabib Lee Seung Hui. Dari sini cerita “Kingdom: Ashin of The North” berakhir dan tanaman pembangkit di Kingdom I menemukan titik terangnya.

Politik Imajinasi
Jika kita mencermati biang dari permasalahan ini, semua bermuara pada alur politik yang cacat. Tanaman pembangkit adalah satu dari sekian banyak faktor parsial dimana semua didasari oleh sifat tamak dan rakus. Demi melanggengkan satu marga tertentu sampai-sampai harus mengabaikan kehidupan rakyat miskin dan kelaparan. Sampai pada puncaknya, kehadiran pejuang dari masyarakat pinggiran yang menahan kebencian terhadap seseorang dan kelompok rival selama bertahun-tahun. Sossok Ashin telah melewati hari demi hari dengan pikiran balas dendam dan penderitaan akan sakit hati atas kehilangan keluarganya.

Tidak hanya terpaku pada satu tokoh, pembacaan sosial dari sudut pandang Min Chi Rok sebagai Kepala Prajurit Joseon yang terkungkung dalam jerat politik oligarki membuat saya memahami pilihan pragmatisnya. Mengorbankan seseorang demi perdamaian dari pada harus menabuh genderang perang di tengah situasi negara yang porak-poranda atas invasi Jepang.

Sehingga jelas dalam film ini menunjukkan bahwa muara dari politik oligarki akan menghasilkan ketimpangan ekonomi serta kemiskinan. Selanjutnya, ketimpangan ekonomi yang tinggi dalam masyarakat tidak hanya membahayakan kohesi sosial, tapi juga memengaruhi stabilitas politik dan ekonomi yang bergandengan erat dengan korupsi. Keduanya lantas berinteraksi dalam lingkaran setan; korupsi menyebabkan distribusi kekuasaan yang tidak merata di masyarakat, dan pada saatnya pula ia akan menjelma ke dalam distribusi kekayaan dan kesempatan yang tidak setara.

Dari poin di atas, film ini menggambarkan kritik sosial terhadap ekses praktik sistem politik oligarki. Sebagai solusi atas berbagai permasalahan kompleks dalam film ini, penulis naskah menghadirkan solusi berupa pemikiran imajinatif sang putra mahkota, “Semua orang tidak boleh mati karena aparat yang bodoh, aku akan menyelamatkan pemerintahan, menyelamatkan masyarakat dari wabah dan menuntaskan kemiskinan, demikian ujarnya.

Imajinasi dan daya kreatif dari pemegang kekuasaan adalah solusi dasar dari jebakan-jebakan masalah sosial yang memenjara hidup kita sehari-hari. Setidaknya berdasar ujaran sang putra mahkota, Kingdom season III akan menjadi pembuktian dari imaji politik yang masih merupa dalam pemikiran. Kontekstualisasi dalam kehidupan nyata bisa kita lihat pada zaman penjajahan ketika Nusantara masih berupa kerajaan yang terpisah-pisah. Sedangkan ide berupa sebuah negara merdeka tidak lain hanyalah sebuah utopia. Namun, dengan imajinasi kolektif banyak pemikir saat itu, negara merdeka bernama Indonesia kini telah berumur tiga perempat abad. Hari ini imajinasi akan sebuah bangsa yang berkeadilan sosial, bebas dari korupsi dan ketimpangan ekonomi memang masih tampak seperti utopia. Namun, jika setiap warga negara  mulai membayangkan hal itu secara bersama, diikuti dengan tindakan realistis, saya rasa perwujudan nyata dari imajinasi itu hanya perkara waktu.

Back to top button