Terjebaknya Perempuan dalam Mitos Sejarah

Membaca ihwal perempuan erat kaitannya dengan wacana yang disebut feminisme. Meski mengalami pro dan kontra wacana ini masih saja eksis di kalangan pegiat kajian gender hingga hari ini. Upaya dalam menjelaskan pentingnya wacana feminisme nyatanya dipersulit oleh kelahirannya sendiri, yakni sebagai anak keturunan Barat. Memang, lahirnya ide feminisme terbukti mengesampingkan yang liyan seperti ras, agama, budaya serta sosial masyarakat. Namun, oleh sebagian masyarakat feminisme dijadikan sebagai sumber aspirasi sebagai tombak bagi mereka yang masih saja terkungkung dalam penindasan, baik lokal ataupun global. Seperti upaya perempuan di Afghanistan, yang mulai dikuasai oleh Taliban saat ini dalam mengembalikan hak pendidikan dan ruang publik perempuan.
Melihat fenomena ini, saya sendiri justru masih penasaran bagaimana awal mula stigma perempuan mulai dipandang rendah. Tidakkah Tuhan menciptakan manusia sama-sama sebagai agen (khalifah) di bumi untuk mewujudkan keadilan? Upaya kesetaraan gender tidak hanya ditandai akan kemunculan feminisme pada abad ke-18 M, jauh sebelum itu Islam telah datang untuk memangkas penindasan-penindasan era jahiliah dengan norma dan nilai sosial Islam.
Apa yang menyebabkan tumbuhnya pandangan bahwa perempuan berada dalam dimensi kedua? Dalam hal ini saya berusaha menggunakan pendekatan Gadamer dalam ‘Sejarah Pengaruh’ yang bergerak pada ruang historisitas manusia, dalam hal ini kesadaran perempuan sebagai makhluk sejarah, dibaca sejak lahirnya Adam. Saya juga melampirkan catatan Muhammad ‘Ilwan Al-Mahamy dalam bukunya, Tahrîr al-Mar’ah bayna al- Islâm wa al-Gharb.
Terjebak Sejarah
Sejarah pengaruh Gadamer adalah teori hermeneutika yang berlandaskan pada empat aspek kesadaran yang perlu dipahami oleh manusia. Pertama, manusia sadar atas ketersituasian bahwa ia berada dalam konteks tertentu, ia tumbuh dan dilahirkan pada keadaan yang secara tidak langsung telah membentuk dirinya sebagai sosok yang seperti apa. Kedua, kesadaran akan sebuah tradisi yang bergerak melingkupinya. Manusia telah selalu tumbuh bersama sebuah tradisi. Ketiga, kesadaran zaman, kesadaran seseorang yang hidup pada suatu zaman. Keempat, refleksi diri atas sejarah pengaruh itu sendiri.
Sebagaimana kita tahu, terlemparnya Adam ke dunia dari surga merupakan pemberangkatan awal peradaban manusia. Keterlemparan Adam merupakan balasan atas ketidakpatuhannya terhadap Tuhan atas larangan memakan buah khuldi. Dalam catatan sejarah umat Yahudi, (menukil dari kitab Tahrîr al-Mar’ah bayna al- Islâm wa al-Gharb, dinukil dari Taurat, Yusya’: 1. 25) memandang akibat ini bukan tanpa sebab. Kejadian ini merupakan tanggung jawab Hawa atas dosa yang dilakukannya yaitu menghasut Adam untuk memakan buah larangan tersebut. Dari kejadian inilah nalar pikir umat Yahudi terbentuk. Mereka menganggap bahwa kesalahan perempuan adalah otak kejadian dilemparkannya manusia ke dunia. Fatalnya, mitos ini menggiring kedudukan perempuan dan dinobatkan sebagai pewaris dosa atas manusia.
Otoritas dan ketersituasian ini menjadikan pola pikir umat Yahudi menjadi acuh terhadap hak-hak perempuan. Seperti dalam rumah tangga, posisinya disamakan dengan bayi dan orang gila yang tidak memiliki akal untuk berpikir kritis dan mempunyai kuasa terntentu. Hal ini dibuktikan bagaimana umat Yahudi dapat menikahi perempuan semaunya. Tidak ada batasan dalam ajaran Yahudi untuk menikahi perempuan. Mereka juga dapat menceraikannya kapan saja. Dari sini, perempuan tidak hanya dijadikian sebagai bahan pemuas hasrat, namun juga sebagai barang transaksional; jika rusak dapat dibuang kapan saja.
Tidak selesai pada cerita ini, mitos lain yang menyebar adalah perempuan sebagai pintu penghubung antara manusia dan setan. Dalam bukunya, Muhammad ‘Ilwan menerangkan, ada salah satu pendeta gereja yang sedang berkhotbah menyatakan bahwa setiap perempuan di dunia ini merupakan titisan Hawa. Hawa adalah dalang masalah yang menyebabkan Adam diturunkan ke dunia. Jadi, perempuanlah yang harusnya bertanggung jawab atas dosa-dosa manusia, karena perempuan yang menjadi penghubung atas hasutan setan kepada Adam. Pendakwahan yang sekali lagi telah menyudutkan perempuan membentuk bagaimana tradisi Kristiani dan Yahudi memandang perempuan. Perempuan tidak punya kendali atas hal apapun, baik dalam keluarga atau ruang publik. Ada batasan perempuan untuk hanya bekerja di rumah saja karena beberapa hal, misalkan harus mengambil cuti saat melahirkan dan sebagainya.
Selain itu, diceritakan pada kurun kelima Masehi, umat Kristiani menggelar pertemuan untuk sekadar membahas jenis manusia bernama perempuan. Apakah perempuan memiliki tubuh jasmani saja, atau perempuan juga memiliki jiwa (ruh)? Kemudian jika ia telah dinyatakan memiliki jiwa, apakah jiwa itu sempurna? Masyarakat Kristiani menyepakati bahwa perempuan tidak memiliki jiwa yang sempurna, terkecuali hanya satu perempuan yaitu Bunda Maria (dinilai sebagai perempuan yang suci). Kecaman-kecaman semacam ini membentuk sejarah pengaruh atas pandangan masyarakat terhadap perempuan hingga beberapa kurun. Tidak heran jika pada abad ke-18, upaya feminisme atas tindakan mengkerdilkan perempuan mulai dilahirkan.
Dari dua mitos di atas, kesadaran ketersituasian, tradisi serta zaman, memihak pada pengkerdilan atas manusia berjenis perempuan. Tradisi umat Yahudi dan Kristiani yang dibalut oleh ajaran-ajaran dogmatis adalah dalang masalah. Mitos yang sampai saat ini terus melegenda tidak dapat dihapus begitu saja, terlebih mitos ini semakin hari semakin digaungkan oleh pemuka agama. Artinya perempuan hingga saat ini, sudah kadung terjebak atas legitimasi sejarah yang memandang perempuan memang berada pada kelas kedua.
Al-Quran dan Hadits serta Penafsirannya
Masyarakat Arab era jahiliah sebelum diturunkannya al-Quran telah menegaskan perempuan manusia yang menduduki kelas kedua. Dahulu, suku Quraisy memandang bahwa melahirkan anak perempuan berarti melahirkan aib. Karenanya, perempuan lagi-lagi diadili sebagai manusia yang tidak cakap, tidak berkompeten, lemah dan tidak pandai atas segala permasalahan hidup. Sampai pada akhirnya, Nabi bersama al-Quran memberikan penjelasan mengenai kedudukan perempuan sebagai manusia mulia.
Jika kitab-kitab suci sebelumnya menegasikan perempuan, al-Quran (sebagai kitab suci yang terakhir dan autentik) menegaskan bahwa yang menjadi dalang atas terlemparnya manusia ke dunia adalah keduanya, yaitu Adam dan Hawa. Dalam pembacaan umat Yahudi, perempuan adalah sosok yang dilaknat karena telah terhasut oleh setan dan kemudian menghasut Adam. Al-Quran menegaskan bahwa yang terhasut oleh setan adalah keduanya. Keduanya dinilai telah melakukan maksiat. Hal ini ditegaskan pada surat al-Baqarah: 36.
Maka jelas, al-Quran mengafirmasi bahwa mitos ini tidak hanya dihubungkan pada satu jenis manusia saja, sebagaimana tersebut di atas. Yang perlu diperhatikan, bagaimana posisi Adam saat merespon larangan Tuhan, ketika ia dibebankan sebagai penanggung jawab atas larangan memakan buah tersebut. Kesalahannya bukan diporoskan pada ihwal perempuan yang pertama kali menghasut Adam, namun bagaimana keduanya sebagai manusia jangan sampai terhasut oleh setan.
Persoalannya sampai saat ini, mengapa stigma atas perempuan tidak mudah hilang sekalipun beberapa teks al-Quran dan Hadits telah mengafirmasi kemuliaan perempuan?
Sejarah pengaruh pertumbuhan stigma perempuan kelas kedua (sejarah-sejarah dogmatis, tradisi dan otoritas masa lalu pra-Islam) tidak lepas dan hilang begitu saja di benak masyarakat Muslim saat ini. Sebagaimana kita tahu, al-Quran dan Hadits adalah sebuah respon Tuhan atas segala permasalahan yang ada saat itu—erat dengan sejarah pra-Islam era jahiliah, salah satunya penafsiran atas fenomena Isra Mikraj. Pada cerita mistis itu, Nabi melihat bahwasanya kebanyakan penghuni neraka adalah perempuan. Kejadian ini dibenarkan pada beberapa Hadits seperti yang ada di dalam Sahih Bukhari.
Sebagaimana kita tahu, dua teks ini telah ikut bergerak bersama sejarah dari pra-Islam hingga sekarang. Jadi tidak menutup kemungkinan, pemaknaan-pemakanaan mengenai perempuan yang awalnya ingin menghapus rekam jejak atas stigma perempuan kelas kedua lambat laun juga ikut terkaburkan oleh penafsiran yang terbelenggu sejarah masa lalu serta kepentingan tertentu. Tanpa sadar, lagi-lagi pola pikir masyarakat Muslim khususnya, kembali bercokol pada stigma perempuan sebagai kelas kedua. Hal ini diperparah oleh posisi para penafsir yang kerap dipercaya oleh masyarakat. Ada reka kejadian dan dokumentasi tertulis yang jelas menggambarkan bagaimana perempuan era jahiliah hidup hingga justifikasi tertulis dalam dua teks tersebut.
Dari sini, bisa kita lihat bahwa pemikiran masyarakat Muslim sendiri masih terjebak pada narasi teks yang dianggap misoginis tanpa adanya pembacaan lebih lanjut. Sebagaimana pola dari umat Yahudi dan Kristiani, rupanya umat Muslim sendiri juga kuwalahan menyikapi teks al-Quran dan Hadits yang ingin menengahi persoalan ini. Namun yang perlu diperhatikan, sekalipun al-Quran dan Hadits telah diperkuat maknanya oleh penafsiran yang pas dan sesuai zaman, sejarah pengaruh: tradisi masyarakat Arab pra-Islam, teks-teks patriarkal pasca-Islam, penafsiran atas kepentingan tertentu, dokumentasi cerita mistis Adam dan Hawa pada akhirnya justru meneruskan misi hegemonik atas hierarki gender. Penyebutan bahwa tubuh perempuan adalah sumber godaan laki-laki menunjukkan bagaimana perempuan telah diberlakukan secara tidak adil. Alih-alih menjadi afirmasi terhadap konteks, sayangnya bahasa-bahasa teks di Islam sendiri justru menyudutkan perempuan.
Mengapa penting meneliti kajian gender dalam mewujudkan praktik kesetaraan? Pada dasarnya, perempuan sudah kadung terjebak pada sejarah mistis sejak diciptakannya Adam dan Hawa. Tidak hanya itu, kepentingan-kepentingan penafsir masa klasik turut menghegemoni pemaknaan teks zaman sekarang. Para penafsir saat ini terkadang masih lupa, bahwa hasil tafsir yang melingkupi kondisi saat itu sama sekali berbeda dengan kondisi saat ini, akibatnya banyak sekali masyarakat yang menggunakan teks agama untuk kepentingan tertentu, sebagai tameng penguat dibenarkannya praktik patiarki.