Islamologi

Salik dalam Kisah Cinta Majnun Layla

Sastra Arab mencatat kisah cinta “Majnun Layla” atau “Layla dan Majnun” sebagai karya roman yang cukup fenomenal. Betapa tidak, periwayatan tentang kegilaan Qays atau Majnun Bani Amir terhadap kekasihnya; Layla, banyak mendapatkan perhatian dari para sastrawan Arab. Kronologis cinta abadi Qays begitu menarik, lantaran sekilas kisah menawan ini hanya karya fiktif belaka. Namun, hal itu dibantah oleh Abu Bakar al-Walibi sebagai periwayat dan kodifikator syair-syair Majnun Layla. Al-Walibi mempertegas, bahwa Qays bin Mulawwih merupakan tokoh yang benar-benar hidup di masa Dinasti Umayyah dan wafat pada kisaran antara tahun 65 atau 68 H.

Pertemuan antara Qays dan Layla bermula ketika di masa kecil mereka sedang bersama-sama menggembala domba. Ketika keduanya beranjak remaja, benih-benih cinta mereka semakin hari semakin tumbuh. Namun, cinta Qays terhadap Layla tidak terbalaskan. Penyebabnya adalah orang tua Layla tidak merestui hubungan keduanya. Saat itulah asal muasal konflik kisah cinta Qays dan Layla. Qays lantas mendapatkan julukan Majnun, lantaran kegilaannya terhadap Layla. Semenjak itu juga Qays selalu menyebut-nyebut nama Layla. Ia mengarang dan mendendangkan syair untuk Layla, sehingga akal sehatnya seakan menjadi sirna. Oleh sebab itu, ayah Layla tidak sudi bilamana putrinya dinikahi oleh sosok pemuda yang sakit jiwa.

Dr. Zaki Mubarak, ahli sastra Arab berpendapat, bahwa syair-syair yang digubah oleh Qays memiliki keterkaitan erat dengan perbincangan dalam dunia tasawuf. Qays diibaratkan sebagai seorang salik yang sedang kuyup oleh lautan cinta kasih Sang Pencipta. Keindahan alam semesta yang tampak di hadapan mata salik seolah tiada berguna. Segala bentuk keindahan hanyalah manifestasi kenikmatan ‘bercinta’ dengan Sang Maha Kekasih. Demikian juga Qays yang mengharapkan perjumpaan dengan Layla, ia diibaratkan seperti halnya salik yang sangat merindukan perjumpaan dengan Allah SWT. Di samping itu, seorang salik juga akan menjumpai banyak rintangan ketika meniti tangga makrifat kepada-Nya. Kondisi demikian senada dengan kisah cinta Qays yang terhalang oleh ayah Layla.

Sebagaimana Qays yang tergila-gila akan paras rupawan sosok Layla, salik juga bisa hilang akal sebab dimabukkan oleh kenikmatan berkomunikasi dengan Sang Pencipta. Salik yang sedang menempuh jalan kepada Allah, ia tidak lagi peduli dengan segala hal yang terjadi di sekelilingnya. Ia hanya disibukkan dengan keinginan untuk mendekat dan mendapat perhatian dari yang dicintainya. Abdurrahman bin Muhammad al-Anshari atau dikenal dengan Ibnu Dabbagh dalam magnum opus-nya Masyâriqu Anwâri al-Qulûb au Mafâtihu Asrâri al-Ghuyûb menjelaskan, “Seorang yang mencapai derajat kecintaan kepada Allah SWT secara hakiki, ia akan merasakan kenikmatan dengan hanya mengingat keindahan ciptaan Sang Maha Kuasa.”

Ahli tasawuf memandang cinta kepada Allah SWT sebagai puncak dari segala tujuan sekaligus akhir setiap keinginan. Lantaran salik yang terjerembap dalam lautan cinta kasih Tuhan akan hilang segala keinginannya, kecuali mengharapkan ridla-Nya semata. Hal ini juga terjadi pada roman Majnun Layla. Dikisahkan, suatu ketika Naufal bin Masahiq—seorang hakim di kota Madinah, wafat di masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan pada tahun 74 H—datang menemui Qays. Sang Hakim melihat Qays sedang bermain pasir dengan tanpa berpakaian, melainkan hanya sehelai kain yang membaluti tubuhnya. Lalu, Naufal berusaha berbincang dengan Qays dan memakaikannya pakaian yang layak. Qays tidak bergeming dan enggan merespon pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan sang hakim. Qays baru mau menjawab dan mengenakan pakaian, tatkala Naufal mengajaknya berbincang tentang sosok Layla. Salik pun demikian, ketika kecintaan mendalam kepada Pencipta telah menghujam hatinya, dia tidak mau berbicara dan mengingat kecuali perbincangan tentang Allah SWT.

Dr. Muhammad Ramadhan Said al-Buthi menjelaskan salah satu bait gubahan Majnun terhadap Layla, “Aku melewati rumah Layla dan menciumi dinding rumahnya, bukan karena kecintaan terhadap dinding, namun cinta terhadap penghuni rumahnya.” Hal ini menurutnya sebagaimana keadaan salik yang sedang tersingkap darinya batas-batas untuk megenal Allah SWT. Mereka ketika memandang keindahan alam semesta yang dilihat adalah manifestasi keindahan dan keagungan Allah SWT. Sehingga, hati seorang salik selalu disibukkan dengan berzikir dan mengagungkan nama-Nya. Setelah membaca sekilas kronologi kisah Majnun Layla, seolah kita mengikuti alur kecintaan seorang salik kepada Maha Kekasih. Cinta abadi Qays benar-benar menjadi gambaran salik yang sangat merindukan perjumpaan dengan Sang Khaliq. Sampai di akhir hayatnya Qays masih menjaga rasa cintanya kepada Layla, walaupun kekasihnya itu terlebih dulu meninggal dunia.

Cek Juga
Close
Back to top button