Menanti Realisasi Janji Taliban

Beberapa minggu lalu (15/8), masyarakat internasional digemparkan berita kemenangan Taliban di Afghanistan. Sejak memproklamirkan diri sebagai pemegang otoritas penuh pemerintahan, beberapa janji yang ditawarkan oleh Taliban justru cenderung lebih inklusif.
Dalam konferensi pers (kemenangan) yang disampaikan jubir Taliban, Zahibullah Mujahid, terdapat poin dan janji manis yang berulang kali ditegaskan. Di antaranya adalah akses pendidikan dan pemenuhan hak-hak atas perempuan yang pernah diabaikan oleh Taliban di masa silam. Pastinya, Taliban masih berada dalam bayang-bayang masa lalu yang sulit dilupakan oleh masyarakat Afghanistan sendiri dan bahkan dunia internasional. Maka tak heran, reaksi masyarakat Afghanistan yang berbondong-bondong keluar dari negaranya adalah bukti kuat kesangsian mereka akan terealisasinya jani-janji tersebut.
Saya mengamini apa yang disampaikan Retno Marsudi, Menlu Indonesia, yang mengatakan bahwa apa pun masa depan Afghanistan, sejatinya harus dirundingkan oleh bangsa mereka sendiri. Satu hal yang alpa kita ketahui, bahwasanya Taliban merupakan bagian dari bangsa Afghanistan yang berhak untuk diberikan akses berunding dengan pemuka negeri lainnya terkait masa depan negaranya. Persoalan hubungan Taliban dengan jaringan ideologi transnasional, adalah perkara lain yang perlu dipisahkan. Beberapa pengamat menegaskan, bahwasanya Taliban bukan proyek universal dalam membentuk kekhilafahan yang diusung ISIS dan al-Qaeda, justru mereka hanya ingin mencanangkan bentuk negara keemiratan di wilayah Afghanistan.
Primordial dan Sektarian Beragama
Afghanistan sebagai negara yang dijuluki land lock alias terkepung dengan daratan tanpa memiliki batas laut, mempengaruhi kultur-sosial bangsanya. Beberapa pengamat menegaskan bahwasanya masyarakat Afghanistan adalah fighter dan kombatan dalam berperang. Jauh sebelum Islam masuk ke Afghanistan, agama yang pernah dianut oleh masyarakatnya adalah Zoroaster, Hindu dan Budha. Namun, perlahan-lahan Islam menjadi agama mayoritas setelah dibuka pada masa Umar bin Khattab. Jumlah etnis yang ada di Afghanistan jauh lebih sedikit dari etnis yang ada di Indonesia, sekitar 20 etnis. Nah, dari 20 etnis tersebut, ada empat etnis besar yang memiliki pengaruh kuat di Afghanistan, yaitu Pashtun, hampir 42% dari populasi penduduk Afghanistan, Tajik, Hazara dan Uzbek. Sejak hengkangnya Uni Soviet dari Afghanistan, perang saudara antar-etnis tidak pernah absen terjadi di Tanah Para Mulla ini.
Berangkat dari jumlah etnis Pashtun yang memiliki pengaruh kuat di Afghanistan, membuat etnis lain marah dan tidak menemukan kesepahaman di antara mereka. Pashtun telah berhasil mendominasi politik Afghanistan sejak abad ke-18 dan meyakini bahwa etnis mereka yang berhak untuk mengendalikan Afghanistan di pelbagai aspek kehidupan. Sehingga dari doktrin tersebut muncul bibit-bibit perpecahan yang mengakar kuat di masyarakat Afghanistan. Tentu persoalan ini melahirkan kesenjangan antar-etnik dan menciderai pluralisme, terutama terhadap etnik minoritas, dalam berbangsa dan bernegara.
Laku-laku primordial dalam kehidupan bermasyarakat yang dicerminkan oleh etnis Pashtun merupakan hal umum yang terjadi. Bahkan presiden Hamid Kazarai dan Ashraf Ghani merupakan keturunan dari etnis Pashtun. Adanya pengaruh single etnik yang terjadi pada masyarakat Afghanistan merujuk kepada konsep pemikiran yang mengutamakan kepentingan kelompok. Pemikiran semacam ini mengandung laku-laku menonjolkan diri atau sikap arogansi yang terlalu berlebihan. Perlu digarisbawahi, bahwasanya sikap primordial jika hanya terjadi pada ruang lingkup internal kelompoknya, maka itu tidak masalah. Berbeda ketika pemikiran tersebut menjadi identitas yang ditonjolkan kepada etnik lain, justru muncul segregasi sosial yang tidak terkendali. Keadaan ini lalu akan menimbulkan atmosfer primordial sentiment yang terjadi di masyakarat.
Sentimen primordial ini bermula adanya ikatan dan kesepahaman yang lahir dari keragaman. Satu etnis tersebut melihat bahwa etnis lainnya tidak memiliki kecakapan dalam memimpin suatu bangsa dan tidak memiliki kekuatan dalam hal apa pun. Maka tidak ayal, bahwa sentimen primordial kerap terjadi di saat-saat pemilihan pemimpin dalam lingkup masyarakat majemuk. Artinya, satu hal serupa yang terjadi di Afghanistan adalah tidak adanya kesepamahaman yang mengakar kuat dalam meneguhkan identitas kebangsaan dan bernegara.
Di sisi lain, kelompok milisi Taliban yang saat ini menguasai Afghanistan mayoritas berasal dari etnis Pashtun. Taliban sendiri menganut Islam ultrakonservatif. Tentu Taliban pernah menjadi kelompok mujahidin yang memimpin Afghanistan melalui perang saudara pasca-hengkangnya Uni Soviet, sejak 1996-2001. Dalam kurun waktu lima tahun tersebut, Taliban memiliki penafsiran tersendiri terkait syariat Islam yang selama ini mereka terapkan. Beberapa wewenang yang diterapkan justru menjadi polemik baru yang membatasi hak-hak perempuan hingga terjadi pelanggaran HAM.
Dalam pembacaan Gus Nadirsyah, Taliban menganut sistem ideologi interpretasi keislaman yang kaku. Dimana kontekstualisasi hukum Islam hanya berkutat pada hasil-hasil pembenaran pada dirinya sendiri. Maka tak ayal, beberapa pengamat mencap Taliban sebagai kelompok sektarian. Secara konvensional, sektarian merupakan sikap fanatik dan taklid atas apa yang menjadi kepercayaanya, baik madzhab maupun agama. Sikap ini tidak terbatas pada ruang agama saja, justru aspek lain juga tidak jarang kita temui.
Nah, sektarianisme beragama yang menjadi ciri khas Taliban dalam menginterpretasi hukum-hukum Tuhan, menegaskan bahwasanya mereka cenderung eksklusif dan fanatik terhadap kebenaran mutlak pada versinya. Jika sektarian beragama sudah mengakar, maka bisa dipastikan akan meruyak ke sektarian lainnya, seperti sosial, budaya dan politik. Dan itu sudah terjadi di Afghanistan.
Beberapa catatan kelam yang pernah terjadi ketika Taliban menguasai Afghanistan, 1996-2001, merupakan hasil interpretasi kaku mereka terhadap nas-nas agama. Seperti halnya, wanita dibatasi geraknya di dalam kehidupan bermasyarakat, baik itu pendidikan, jenjang karir dan aspirasi publik. Lucunya, mereka juga melarang menonton televisi, mendengarkan radio ataupun sekadar bermain layang-layang. Dalam kurun waktu tersebut, Afghanistan berada dalam ambang kemiskinan dan keterpurukan.
Identitas Bangsa
Dengan jatuhnya Kabul di tangan Taliban, masa depan Afghanistan masih terbilang abu-abu. Rekam jejak yang sulit dilupakan pada masa lima tahun silam, justru memunculkan sikap skeptis di mata internasional. Hemat saya, bangsa Indonesia lebih melek terhadap nilai-nilai kemajemukan. Memang, secara kemajemukan horizontal (budaya, etnis dan agama) Indonesia memiliki permasalahan yang lebih kompleks daripada Afghanistan. Namun, satu hal yang abai dalam kehidupan bernegara masyarakat Afghanistan adalah identitas bangsa yang menjadi pemersatu perbedaan.
Kita cukup melihat, bahwa tragedi kesukuan dan segregasi sosial telah terjadi di Indonesia beberapa kali. Artinya, dalam menghadapi konflik tersebut Indonesia lebih mengedepankan asas persatuan dalam lingkup kemajemukan. Menurut Nasikun, sosiolog Barat menyatakan bahwa semboyan Bhineka Tunggal Ika merupakan cita-cita bangsa yang harus diperjuangkan dan diwujudkan oleh segenap bangsa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal itu, gagasan-gagasan persatuan nasional selalu muncul untuk menengahi perbedaaan pendapat dalam skala nasional, baik berangkat dari latar belakang etnik maupun politik.
Di sisi lain, kendati Islam menjadi agama mayoritas di Indonesia, akan tetapi interpretasi keberagamaannya yang dikeluarkan oleh pemukanya tidak kaku. Katakanlah perwajahan Islam Indonesia terdapat pada NU dan Muhammadiyah. Apalagi sila pertama pada Pancasila yang dirumuskan oleh Panitia Sembilan direvisi akibat adanya indikator monoreligi. Landasan merevisi sila tersebut berangkat dari asas persatuan sebagai bangsa, sedangkan menjalankan syariat agama merupakan kelanjutan setelah adanya kesepahaman masyarakat Indonesia. Poin utamanya terdapat pada kebebasan menjalankan syariat agama dengan tenang, hanya dapat diakukan setelah menciptakan suatu bangsa yang stabil.
Tentu hal ini berbeda dengan Afghanistan. Identitas nasional bangsa mereka justru belum mencapai mufakat hingga saat ini. Alih-alih menyatukan identitas bangsa, justru yang dikedepankan adalah menjalankan syariat Islam secara kafah dalam kehidupan sehari-hari. Sayangnya, justru mereka terjebak pada sentimen primordial dan sekterian beragama. Namun, tentu kita tidak menutup harapan untuk stabilitas Afghanistan di tangan Taliban. Dalam beberapa kurun waktu sebelumnya, Taliban pernah belajar tentang Islam Indonesia yang damai dan penuh nilai-nilai keluhuran pada NU. Hal-hal semacam ini, perlu menjadi parameter akan adanya perubahan di masa depan. Akan tetapi, sekali lagi, jika Neo-Taliban masih kembali dalam mengambil kebijkannya di era sebelumnya, maka itu merupakan tindakan bodoh yang dilakukan oleh anak bangsanya sendiri. Ah, semoga saja Neo Taliban ini tidak lupa janji-janji manis mereka saat deklarasi kemenangan.