Islamologi

Hukum Musik dalam Islam

Lontaran pernyataan dari Uki, eks personel Band Noah seputar hukum musik yang menurutnya haram terus bergulir menjadi polemik. Banyak pihak menanggapi penyataan Uki tersebut. Sebagai bentuk sumbangsih untuk meredakan polemik, kali ini saya ingin mencoba menghadirkan tulisan tentang hukum musik dalam Islam.

Sebagaimana sudah sedikit saya singgung dalam tulisan sebelumnya, bahwa hukum asal musik dalam Islam, baik itu mendengarkan atau memainkan alat musik hukumnya adalah khilaf. Yakni dengan rincian bahwa menurut kaul yang masyhur dari empat madzhab, hukum memainkan dan mendengarkan alat musik adalah haram. Namun menurut pendapat al-qaul al-ashoh itu termasuk dosa kecil, sementara menurut pendapat sebagian kelompok ulama dari para Mujtahid, Sahabat, dan Tabiin, bahwa hukumnya adalah boleh. Ketentuan ini termaktub dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz IX, halaman 117. Konklusi hukum tersebut lantas diamini pula oleh Syekh Izzuddin ibn Abdissalaam dalam sebuah kitabnya.

Secara terperinci, Imam Syafii menyatakan: “Menyanyi hukumnya makruh dan menyerupai kebatilan. Siapa yang sering bernyanyi, maka ia tergolong safeh (orang bodoh). Karena itu, syahadah (kesaksiannya) ditolak.” Ditambahkan menurut Imam Syafii, menimbulkan bebunyian dengan memukul-mukul dengan tongkat (al-taqtaqah) hukumnya adalah makruh. Permainan seperti itu biasanya dilakukan orang-orang zindiq, sehingga nantinya melalaikannya dari baca al-Quran.

Sementara menurut Imam Malik sebagaimana dalam kitab Mughni Muhtaj juz 3 halaman 3: “Jika seseorang membeli budak perempuan, kemudian diketahui kalau budak tersebut ternyata seorang penyanyi, maka pembeli budak berhak untuk mengembalikan sang budak tersebut (karena status penyanyi termasuk cacat).” Demikian gambaran singkat dari Imam Malik perihal musik dan orang yang menyanyikan lagu (baca- penyanyinya).

Sebelum merinci lebih jauh lagi, ada baiknya kita mengulas definisi musik itu sendiri. Menurut KBBI, musik adalah nada atau suara yang disusun sedemikian rupa sehingga mengandung irama, lagu dan keharmonisan nada (terutama yang menggunakan alat-alat yang dapat menghasilkan bunyi-bunyi). Sedangkan musik menurut definisi dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, sebagaimana termaktub di halaman 168 juz 38, dalam bahasan huruf mim; ma’azif (alat-alat musik), disebutkan bahwa musik adalah ‘ilmun yu’rafu minhu ahwalunaghmi wal iyqa’aat wa kaifiyatu ta’lifil haun wa iyjadul aalaati; ilmu untuk mengetahui keadaan melodi, ritme dan tata cara menyusun nada serta menciptakan instrumen-instrumen musik.

Pembahasan musik ialah pembahasan yang masuknya ranah khilafiyyah fikhiyyah (bukan akidah), bukan pula masalah ma’lum minaddin biddarurah (pokok agama). Hal itu lantas diulas cukup detail oleh Hujjatul Islam al-Imam al-Ghazali (W 1111). Bahkan Imam Ghazali dalam kitab Ihya ulumuddin, menyediakan satu bab khusus yang mengulas ihwal seni suara dan musik. Dalam bab itu, Imam Ghazali mengumpulkan, mendata dan menganalisa pendapat para ulama, baik yang menghalalkan, terlebih terhadap pendapat yang mengharamkan musik.

Di sana, Imam Ghazali berkata: “Ketahuilah, pendapat yang mengatakan, ‘Aktivitas mendengarkan nyanyian atau musik itu haram’ mesti dipahami bahwa Allah akan menyiksa seseorang atas aktivitas tersebut’ (Annallah SWT yu’aqibu ‘alaih). Hukum seperti ini tidak bisa diketahui hanya berdasarkan aqli semata, tetapi harus berdasarkan naqli. Jalan mengetahui hukum-hukum syara’ (agama), terbatas pada nash dan qiyas terhadap nash. Yang saya kehendaki dengan ‘nash’ adalah apa yang dijelaskan Rasulullah SAW melalui ucapan dan perbuatannya. Sementara yang saya kehendaki dengan ‘qiyas’ adalah pengertian secara analogis yang dipahami dari ucapan dan perbuatan Rasulullah itu sendiri. Jika tidak ada satu nash dan argumentasi qiyas terhadap nash pada masalah mendengarkan nyanyian atau musik, maka batal pendapat yang mengaharamkannya (bathala al-qaul bitahrimihi). Artinya, mendengarkan nyanyian atau musik itu tetap sebagai aktivitas yang tidak berdosa, sama dengan aktivitas mubah lainnya.

Lebih lanjut, Imam Ghazali mengatakan bahwa beliau tidak menemukan satu nash pun yang secara jelas (sharih) mengharamkan musik. Kalau pun ada nash (Hadits) yang mengharamkan musik dan nyanyian, keharamannya itu bukan karena status hukum dasar alat musik dan nyanyian itu haram, tetapi karena di acara musik itu ada praktik-praktik kemaksiatan (amrun kharij) seperti minum-minuman keras, perjudian, perzinaan atau mengarahkan orang untuk lalai atas kewajibannya.

Fal haw dawaul qalbi min da-il i’ya-i, fa yanbaghi an yakuna mubahan, wa lakin la yanbaghi an yastaktsira minhu, kama la yastaktsira minaddawa-i; hiburan (musik) adalah obat hati dari penyakit loyo (kurang semangat), maka sewajarnya hukum musik itu mubah (boleh) karena itu vitamin bagi hati, tapi tidak seharusnya kadarnya berlebihan, sebagaimana tidak boleh berlebihan dalam mengonsumsi obat. (Kitab al-furu’ li ibnu muflih, juz 5, halaman 236-237, cetakan Darul Kutub Ilmiyah).

Nah, karena sejak awal tidak ada nash yang secara tegas melarang musik, maka pada akhirnya hukumnya kita kembalikan ke kaidah asalnya, yaitu halal (al-ashlu huwa al-hillu). Atau dalam kaidah lain diungkapkan: “Al-ashlu fil mu’amalah al-ibahah illa ma dalla dalilun ala tahrimiha; hukum asal di dalam muamalah adalah halal kecuali terdapat dalil yang melarangnya. Di sini, status musik jelas masuk dalam kategori muamalah, bebeda dengan status ibadah yang kedudukannya tidak bisa ditawar lagi.

Menurut Syekh Ali Jum’ah dalam kitabnya, al-Bayan lima Yusyghil al-Adzhan, beliau mengatakan, bahwa alat-alat musik jika telah identik menjadi simbol para pemabuk atau penyanyi, semisal seruling, gitar dan gendang, maka ketiganya termasuk alat musik yang dilarang agama. Sedangkan alat lain seperti rebana, meski memiliki terdapat gemerincing, gendang, alat musik pukul dan alat lainnya itu dihukumi boleh.

Di dalam kitab al-Bayan lima Yusghil al-Adzhan dijelaskan pula bahwasanya ulama sepakat boleh menyanyikan lagu tanpa diringi alat musik dalam momen-momen bahagia yang diperbolehkan dalam syariat, seperti pernikahan, kedatangannya orang yang berpergian, dan lain-lain, tapi dengan syarat tidak ada seorang biduan yang berdendang, serta di tempat acara tersebut tidak terdapat orang-orang yang bukan mahramnya atau ajnabi. Dalam hal ini, berlaku kaidah hukum yang sudah masyhur di antara kita: “Lil wasail hukmul maqashid”. Artinya, bagi perantara hukum itu tergantung pada tujuannya. Jika tujuannya kebaikan, maka dihukumi boleh, jika tujuannya haram, maka dihukumi haram.

Demikianlah pembahasan singkat ihwal hukum musik dalam Islam. Tersebab masih terdapat perselisihan pendapat, maka ulama lantas memutuskan bahwa boleh hukumnya menyanyikan sebuah lagu, baik itu diringi alat musik atau tidak. Hal itu dengan catatan selama menyanyinya tidak menimbulkan fitnah, memancing kemaksiatan atau menghilangkan esensi-esensi syariat. Wallahu a’lamu.

Cek Juga
Close
Back to top button