Opini

PKI, Kejamkah?

Jika kita mengingat peristiwa bersejarah yang pernah terjadi pada tahun 1965 di Indonesia, maka kejadian tersebut erat kaitannya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dimana mereka dituduh menjadi dalang pembunuhan enam jenderal senior di daerah Lubang Buaya. Hal ini kemudian menyebabkan PKI dinyatakan sebagai partai terlarang sekaligus dalih pembunuhan massal yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Harapannya agar tidak ada ruang lagi bagi PKI dan ideologi komunisnya untuk dapat bangkit kembali di Indonesia. Akibatnya, kapan pun masyarakat Indonesia menyebut nama “PKI” atau peristiwa 30 September, benak mereka akan dipenuhi dengan cerita-cerita pembantaian bengis dan berdarah. Lalu, benarkah segala sesuatu yang dilakukan oleh PKI selalu berbau kekejaman seperti apa yang ada di benak mayoritas masyarakat Indonesia saat ini?

Sebelum mengetahui jawaban dari pertanyaan di atas, kita perlu membatasi ruang pembahasan antara PKI periode Musso dan D. N. Aidit. Dalam tulisan ini, saya akan lebih fokus membahas periode bangkitnya PKI di bawah komando Aidit. Tersebab, pada periode ini PKI muncul sebagai partai nasionalis yang sarat akan gagasan-gagasan baru.

Setelah meninggalnya Musso, Aidit mengkonsolidasikan kekuatan partai bersama M. H. Lukman dan Nyoto untuk mengambil alih kekuasaan dari kelompok tua, Alimin dan Tan Ling Djie. Mereka juga berhasil membawa PKI menjadi partai dengan suara terbanyak keempat pada pemilu 1955. Hal ini tentu tidak terlepas dari upaya Aidit melakukan pendekatan-pendekatan sosial kepada rakyat kecil pedesaan untuk memperluas massa dan simpatisan partai. Selain itu, ia juga mampu meyakinkan mereka bahwa dengan ideologi dan gagasan-gagasannya dapat membawa Indonesia menuju kemajuan. Tetapi keliru apabila memandang arti penting upaya ini hanya dalam pengertian prospek politik gerakannya saja.

Pada periode ini, Prof. John Roosa dalam pengantar bukunya, Mengajarkan Modernitas; PKI Sebagai Sebuah Lembaga Pendidikan, menyebutkan bahwa para pemimpin PKI mempunyai komitmen pada visi hidup modern. Komitmen ini tentu merupakan pandangan yang universal, baik komunis maupun kapitalis dunia ketika itu tentu memiliki keinginan yang sama; mengatur kemajuan dan perkembangan ekonomi dengan cara mereka masing-masing.

Sebagai upaya implementasinya, PKI membentuk Departemen Pendidikan Ilmu dan Kebudayaan yang di pimpin oleh Siswoyo, salah satu petinggi partai, pada tahun 1958. Departemen ini berfungsi menyediakan pendidikan umum untuk menyeimbangkan semangat kebangkitan rakyat dengan intelektual yang harus mereka miliki, agar mereka dapat berpikir lebih matang, objektif dan berkemajuan. Melalui hal ini, PKI mulai mengajarkan modernitas pada masyarakat, terutama pada kaum miskin pedesaan yang minim pengetahuan dan peradaban.

Program ini diawali dengan peningkatan kemelekhurufan dan pengajaran kemampuan-kemampuan politik untuk masyarakat kelas bawah. Kader-kader yang telah dilatih menjadi guru dikirim ke desa-desa terpencil untuk memberikan pelajaran baca-tulis. Organisasi massa PKI seperti Gerwani misalnya, ia membuka sekolah TK Melati untuk anak-anak kecil. Dalam menjalankan programnya, Gerwani lebih serius dan menjadikannya prioritas utama daripada sekadar program untuk menggaet simpatisan. Akhirnya, banyak masyarakat tertarik pada PKI karena pendidikan yang telah ia berikan. Oleh karenanya, banyak dari mereka secara tidak langsung menjadi simpatisan partai sekaligus penganut ideologinya. Maka tidak heran jika pada saat itu PKI memiliki anggota dan kader di mana-mana, baik dari tingkat cabang maupun tingkat pusat.

Sebagai upaya mendidik para kader di tingkat yang lebih tinggi, PKI menyediakan banyak sekali uang dan waktu untuk turut ambil bagian dalam perluasan pendidikan ketika itu. Ia mendirikan sebuah lembaga pendidkan yang disebut dengan Universitas Rakyat (Unra). Awalnya, lembaga ini didirikan untuk meningkatkan pengetahuan doktrinal dan keterampilan politik para kadernya. Namun, hal ini tidak cukup membuat para pemimpin PKI puas untuk bisa mendapatkan kader yang memiliki teori pengetahuan lebih tinggi. Oleh karena itu, sistem pembelajarannya kemudian disejajarkan dengan sistem negara. Ilmu-ilmu pasti dan pengetahuan umum lebih ditekankan untuk mengajarkan kadernya tentang peradaban modern, baik pemikiran maupun kebudayaan. Melalui pendidikan seperti ini, para mahasiswa Unra (kader PKI) diharapkan mampu mentransformasikannya untuk mengatasi masalah-masalah yang ada di dalam negeri.

Selain menawarkan pelayanan pendidikan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat pada saat itu,  PKI – melalui Unra – juga ingin menunjukkan bahwa ia dapat melahirkan manusia Indonesia modern. Kampanye ini dilakukan semata-mata untuk memberikan anggapan kepada masyarakat, bahwa Marxisme-Leninisme adalah satu-satunya jalan yang mampu membawa mereka benar-benar merdeka.

Tidak berhenti di situ, untuk menunjukkan intelektualitas dan kecakapan administratifnya kepada bangsa, PKI mendirikan Akademi Ilmu Sosial Aliarcham (AISA). Akademi ini memiliki fokus utama sebagai lembaga penelitian sosial yang diharapkan mampu memberikan rekomendasi kebijakan praktis kepada partai. Melalui penelitian-penelitiannya, PKI berhasil melahirkan kader-kader intelektual, yang mana mereka mampu menilai lingkungan dalam konteks kelas dan kepentingan. Tak diragukan, bahwa hal ini adalah pengaruh dari pendidikan panjang dan agitasi PKI.

Diakui atau tidak, upaya-upaya ini turut menjadi bagian dari perubahan peradaban Indonesia pasca-revolusi. Dimana gagasan-gagasan modernitas, rasionalitas dan politik dapat ditransmisikan dari masyarakat kelas tinggi kepada kaum buruh dan petani. Meski pada akhirnya banyak dari orang-orang yang membawa gagasan ini dibantai setelah adanya propaganda Orde Baru.

Dari pembahasan di atas, dapat diketahui bahwa PKI pada periode ini menjadi salah satu partai politik yang memberikan perhatian terhadap pendidikan masyarakat, mulai dari masyarakat miskin pedesaan- kaum buruh dan tani- hingga kaum borjuis. Menurut saya, partai ini bukanlah sekedar partai politik yang bertarung dalam pemilu, ia adalah organisasi komunitas serbaguna yang membantu para anggotanya, termasuk dalam hal pendidikan dan intelektualitas.

Pembahasan mengenai upaya PKI dalam mengajarkan modernitas dan pendidikan, sepertinya bisa disebut sebagai sesuatu yang hilang dalam literatur bergenre sejarah politik. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Prof. John Roosa, bahwa studi akademis tentang PKI tidak banyak membantu dalam membawa cerita mereka kembali ke tingkatan cerita manusia biasa. Pasalnya, kebanyakan fokus literatur akademis tentang PKI biasanya membahas tentang kebijakan, ideologi dan gerakan-gerakan politiknya serta hal-hal yang berbau kekejaman saja. Oleh sebab itu, sebagai manusia terdidik, harusnya kita tidak mudah terpengaruh dalam suatu pengakuan massal, apalagi menilai tanpa disertai bukti ilmiah terlebih dahulu.

Walakhir, Stigma kebanyakan masyarakat yang menganggap PKI hanyalah sebuah organisasi kejam yang memiliki sejarah berdarah belum tentu benar adanya. Pasalnya, simbol “PKI kejam”, “PKI sadis” atau sejenisnya baru muncul setelah terjadinya peristiwa G 30 S PKI. Peristiwa ini menjadikan PKI serupa kutukan sehingga ia kerap kali dijadikan bahan tuduhan bagi siapa saja yang saling menjatuhkan. Soekardjo Wilardjito dalam bukunya, Mereka Menodong Bung Karno: Kesaksian Seorang Pengawal Presiden, mengatakan bahwa siapa pun yang dicap PKI, sama dengan orang paling jahat di dunia. Hal ini yang kemudian juga diamini oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia. Sehingga simbol-simbol tersebut melekat di benak-benak mereka.

Back to top button