Menilik Fakta Seputar Turats Islam

Oleh: Muhammad Alfin Ghozali
Islam sebagai peradaban superior pada abad ke-8 hingga 13 Masehi telah meninggalkan warisan berharga bagi generasi setelahnya. Peninggalan itu sangat bernilai, baik warisan berupa materi, kebudayan, pemikiran atau yang lainnya. Berbagai warisan peradaban tersebut, biasa dikenal dengan istilah turats Islam.. Terkait al-Quran dan Hadis, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, apakah keduanya termasuk bagian dari turats atau bukan? Namun, saya lebih condong pada pendapat Dr. Taha Abdurrahman, sosok intelektual dan cendikiawan muslim Maroko. Ia mengatakan, kedua teks pedoman utama umat Islam itu termasuk turats. Akan tetapi menurutnya al-Quran dan Hadis merupakan turats yang bersifat sakral (al-Turats al-Muqaddas). Menariknya lagi, pada awal abad ke-18, kajian mengenai turats Islam mulai semakin digandrungi oleh berbagai kalangan di luar Islam, khususnya Barat.
Hal ini dapat diketahui dengan munculnya beberapa pusat studi Islam di berbagai universitas ternama seperti Leiden, McGill, Chicago dan lain-lain. Bahkan, tidak dapat dimungkiri, kajian Barat terhadap turats Islam saat ini, sangat aktif menghasilkan wacana-wacana segar dibandingkan para sarjanawan muslim sendiri. Semisal, analisis seputar QS. Al-Ankabut ayat 41. Mengapa fi’il yang dipakai untuk menunjukan pembuatan rumah laba-laba (ankabut), menggunakan kata ganti perempuan (ittakhazat). Para pemikir muslim secara umum lebih terfokus pada pembahasan secara struktural-gramatikal Arab.
Sedangkan para pengkaji dari kalangan Barat berhasil memahami hal tersebut melalui sisi yang lain (bukan lagi kajian dalam aspek kebahasaan), yaitu perspektif saintifik. Mereka justru menemukan fakta menarik di balik penggunaan fiil muannats terhadap kata ankabut. Hasilnya, hanya spesies laba-laba betina lah yang dapat membuat jaring laba-laba. Kondisi tersebut tentu memberikan sebuah bacaan segar dalam khazanah intelektual Islam. Pertanyaannya sekarang, mengapa tawaran-tawaran segar tersebut, saat ini, lebih sering datang dari sarjanawan Barat?
Metodologi Pembacaan Turats Islam
Menurut Prof. Ayang Utriza Yakin, dosen Universitas Ghent, Belgia, hal tersebut didasari oleh metodologi pembacaan Barat terhadap turats Islam yang berbeda dengan metodologi sarjanawan muslim sendiri. Dimana menurutnya, metodologi pengkajian turats oleh sarjanawan muslim masih berkutat pada pengumpulan data atau biasa disebut sebagai studi kepustakaan. Berbeda dengan kajian Barat yang lebih fokus pada studi analisis.
Secara ringkas, berbagai metodologi penelitian turats milik pengkaji muslim disebutkan oleh Dr. Farid al-Anshari dalam bukunya, Abjadiyyât al-Bahts. Antara lain berupa metode deskripsi (al-Manhaj al-Washfî), metode autentikasi (al-Manhaj at-Tautsîqî), metode dialektik (al-Manhaj al-Hiwârî) dan metode analitik (al-Manhaj at-Tahlîlî). Meskipun menerapkan berbagai metode tersebut, khususnya yang keempat, pada kenyataannya, para sarjana muslim terkesan masih kurang aktif dalam mempraktikkan kajian analisis yang memukau terhadap turats mereka.
Kondisi ini, dapat kita lihat dari berbagai tesis maupun disertasi yang ditulis oleh sebagian besar sarjanawan muslim sekarang ini. Dimana kebanyakan isinya masih berupa kutipan-kutipan dari ulama Islam terdahulu. Maka, tidak heran jika Prof. Ayang Utriza mengatakan bahwa metodologi pembacaan turats pengkaji muslim cenderung berkutat pada pengumpulan data atau telaah kepustakaan.
Lantas, bagaimana dengan metodologi Barat dalam kajian turats Islam? Di dalam buku Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman, Prof. Qodri Azizy mengatakan ada dua metodologi utama yang dilakukan oleh Barat, dimana hal tersebut dinilai cukup efektif dalam menghasilkan wacana segar. Yaitu, melalui pendekatan humanities dan social science, kemudian juga keobjektifan dalam memandang turats Islam sebagai objek ilmiah, bukan sekadar doktrin keagamaan.
Pertama, pendekatan humanities dan social science, dalam hal ini berarti, para peneliti Barat turut menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan, seperti antropologi, sosiologi, sejarah, epigrafi dan lain-lain, dalam menganalisis turats Islam. Selain itu, mereka juga melakukan analisis melalui pendekatan sains. Hal ini seperti dalam contoh seputar surah al-Ankabut di atas.
Kedua, para sarjanawan Barat memandang turats Islam sebagai objek kajian ilmiah, sebagaimana objek kajian ilmiah lainnya. Mereka tidak peduli terhadap hal-hal yang bersifat dogmatis di dalamnya. Hal ini membuat sarjanawan Barat berani melayangkan berbagai pertanyaan yang masih amat tabu bagi sebagian orang Islam sendiri. Seperti, “Apakah benar al-Quran telah ada sejak zaman Nabi Muhammad? Mengingat, kita tidak mengetahui manuskrip asli al-Quran yang sezaman dengan Nabi.”
Namun, yang pelu digarisbawahi, berbagai pertanyaan ‘nakal’ yang dimaksud di sini, tentunya bukanlah pertanyaan-pertanyaan ‘bodoh’. Tetapi, benar-benar berangkat dari rasa keingintahuan dalam konteks ilmiah. Bahkan, terkait pertanyaan di atas, tanpa disangka, ternyata para sarjanawan Barat berhasil mengidentifikasi manuskrip Sana’a. Sebuah manuskrip yang diduga sebagai naskah al-Quran tertua. Hal ini, tentu tidak terlepas dari keberanian mereka mempertanyakan hal-hal yang dianggap tabu di atas.
Melihat beberapa kenyataan ini, mau tidak mau kita harus mengakui bahwa Barat juga turut memainkan peran serta berkontribusi positif dalam khazanah keilmuan Islam, khususnya di era modern ini. Bahkan, seharusnya sarjanawan Islam mampu melakukan pendekatan terhadap turats seperti yang dilakukan sarjanawan Barat. Hal tersebut tentunya dengan memberikan koridor etik berikut batasan-batasan tertentu. Semisal pada metodologi yang kedua, dimana Barat memosisikan turats Islam murni sebagai objek kajian ilmiah. Tentu para sarjana muslim tidak dapat melakukannya. Tersebab, sebagai seorang muslim, tentu mereka menyadari akan ranah-ranah yang mungkin sulit bahkan tidak dapat mereka jangkau oleh sekadar daya nalar saja.
Sedangkan untuk metodologi yang pertama, yakni analisis turats Islam melalui ilmu sains dan berbagai disiplin ilmu sosial kemanusian, seperti antropologi, politik, sosiologi dan sebagainya. Menurut saya hal tersebut cukup realistis untuk dilakukan oleh para sarjanawan muslim saat ini. Di Indonesia sendiri, ada nama seperti Prof. Dr. Nurcholis Madjid, M.A. atau Cak Nur dan Prof. Dr. H. Ahmad Syafi’i Ma’arif yang tercatat pernah menggunakan pendekatan tersebut dalam standar metodologi kajian mereka. Bahkan, metode pendekatan tersebut dirasa perlu dipraktikkan secara masif, khususnya oleh sarjana muslim, untuk menghasilkan wacana keilmuan Islam yang lebih kaya dan segar serta relevan dengan tuntutan zaman.