Islamologi

Menjadi Salik dengan Selamat

Oleh: Mohammad Rizkyllah Syaputra

“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) yang mereka dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang tersesat.” (QS al-Fatihah: 6 – 7)

Dua ayat di atas mengajarkan kita untuk mengikuti jalan yang lurus (mustaqim), bukan bengkok  (mu’wajj). Jalan para salik yang menuju-Nya. Tapi bagaimanakah konsep kesesatan dan kebenaran yang seharusnya kita pahami? Apa makna sesat? Bagaimana kita terhindar dari kesesatan?

Orang yang sesat dalam bahasa Arab disebut dlallun, ism fa’il dari kata dlalla-yadlillu yang bermakna tersesat, kesasar, nyasar dan hilang. Di dalam Lisân al-‘Arab karangan Ibn al-Manzhur, ad-dlalalah atau ad-dlalal diartikan sebagai lawan kata petunjuk (dlid al-hady wa al-rasyad). Dalam al-Mu’jam al-Mu’âshir, dlalla fulan diartikan lam yuhtad ilaih (tidak ditunjukkan jalan) juga zalla wa inharafa ‘an al-tharîq al-shahîh (keliru dan menyimpang dari jalan yang benar). Jadi, siapapun yang keluar dari jalan yang sedang ia tempuh bisa diartikan tersesat. Itu secara bahasa.

Adapun sesat yang dimaksud dalam ayat al-Fatihah tadi, banyak para mufasir memahaminya sebagai orang-orang Nasrani dan al-magdlub ‘alayhim adalah Yahudi. Pendapat ini dianggap lemah oleh Imam al-Razi. Menurut beliau al-maghdlub ‘alayhim adalah orang-orang fasik yang sering kali keliru dalam perbuatan zahirnya dan al-dlallin adalah orang-orang yang keliru dalam akidahnya (keyakinannya). Imam Mutawalli al-Sya’rawi, Singa Podium al-Azhar juga memiliki sikap yang sama. Beliau tidak menafsirkan makna al-dlallin dalam ayat tersebut kepada kelompok, agama atau ajaran tertentu—dalam hal ini, kaum Nasrani dan Yahudi.

Begitulah kata sesat dipahami dalam dunia literatur Islam. Adapun dalam pandangan filsafat, Aristoteles pernah berucap, “Aku tahu bahwa aku tidak tahu”. Dia memahami bahwa semua ilmu yang ia pelajari hanya butiran atom dari seluruh alam semesta ini.

Orang-orang yang tidak tahu (menyadari) bahwa dirinya tidak tahu itu adalah orang-orang yang tersesat. Kaitan dengan kesesatan ini, guru Aristoteles, Plato memberikan konsep dunia ide. Dunia ide merupakan satu konsep dunia dari dua dunia, yaitu: dunia fisik (dunia manusia-manusia biasa tinggal) dan dunia ide. Dunia  ide di sini bukanlah ide gagasan. Konteks dunia di sini adalah dunia di mana ‘manusia sejati’ hidup. Manusia-manusia yang memahami kenyataan di balik kenyataan. Manusia yang mampu melihat cahaya di balik tabir. Manusia yang memahami bahwa bayangan yang terpancar dari cahaya lubang gua itu (gua dalam imajinasi dunia ide Plato) adalah palsu dan tidak nyata. Manusia-manusia yang berani untuk keluar dari guanya, menemukan lingkungan baru dan beradaptasi di sana. Dengan konsep dunia tersebut, akal dapat membedakan mana yang benar mana yang salah. Jika keluar dari konsep dunia ide tadi, maka ia telah sesat.

Syahdan, setelah penjelasan tadi tentang sebuah kata sesat, akal dinilai penting untuk menjadi petunjuk arah seorang salik. Dari akal, hadirlah ilmu-ilmu yang bersifat empiris dan komprehensif. Dalam kasus ini, filsafat merupakan ilmu yang paling efektif untuk menyapih dan ‘memberi makan’ akal. Seperti itu firman Allah, “… dan bertakwalah kepadaku wahai orang-orang yang memiliki akal” (QS al-Baqarah: 197). “Orang-orang yang memiliki akal”  lebih logis untuk bertakwa daripada selain mereka yang tak berakal, secara hakiki maupun majazi.

Tapi apakah hanya akal yang bisa menuntun kita kepada kebenaran—dalam hal ini pencarian kepada Tuhan? Tentu tidak. Penulis ingin menawarkan dua konsep yang sangat erat kaitannya dengan pembahasan ini, yakni al-thariq al-manhaji dan al-thariq al-isyraqi.

Al-thariq al-manhaji merupakan sebuah konsep hasil pembacaan penulis terhadap kitab al-Thuruq al-Manhajiyyah, sebuah kitab karangan Syekh Mustafa Ridha, seorang ulama muda al-Azhar. Dari semua konsep ilmu dan perangkat-perangkat yang beliau utarakan, ada beberapa pembahasan yang menarik perhatian penulis, di antaranya pembahasan tentang akal azhari.

Beliau menegaskan bahwa akal Azhari adalah gabungan dari akal filsuf dan akal penyair. Kenapa demikian? Akal seorang filsuf adalah akal yang ‘kerajaannya terbangun di atas bersamaan dengan angin’. Sementara akal penyair adalah akal yang ‘kerajaannya terbangun di bawah bersamaan dengan air mengalir’. Dari sini kita paham, akal Azhari adalah akal yang memiliki karakteristik seperti angin; kencang, ribut, dan rusuh—dalam konteks kebaikan pastinya—dan seperti air; mengalir, pelan dan tenang.

Syekh Mustafa juga memberikan konsep bertingkat dalam ilmu. Telah akrab di telinga kita bahwa tingkatan-tingkatan ilmu terbagi menjadi tiga: pemula (mubtadi), intermediet (mutawassith), dan ekspert, tinggi (muntahi). Seorang salik, layaknya penuntut ilmu juga mesti menaiki tangga-tangga kesufian. Tidak mungkin si salik akan sampai ke tingkatan tasawuf tertinggi (fana) jika belum menunaikan tingkatan-tingkatan sebelumnya.

Adapun al-thariq al-isyraqi adalah salah satu bab di buku Logika Agama karangan Prof. Dr. Quraisy Shihab. Buku ini banyak membahas pentingnya filsafat dan ketasawufan bagi seorang salik. Dalam sebuah percakapan antara Prof. Quraisy dengan salah satu gurunya, ia berpendapat bahwa filsafat adalah induknya ilmu. Filsafat dapat membantu salik memahami tabir dari setiap ilmu.

Seorang filsuf dipahami sebagai pencari hikmah, walaupun dalam praktiknya banyak yang keliru. Keliru dalam hal apa? Mereka (sering) keliru karena terlalu mengandalkan akalnya. Tidak segala sesuatu itu bisa dinilai dengan akal. Akal dinilai sebagai perahu yang membawa kita ke tengah samudra. Tapi untuk menemukan mutiara kebenaran, salik mesti masuk ke dasar samudra, dengan hati. Akal hanya mampu tuk melihat apa yang terlihat dari garis horizon ke langit, dan sedikit dari keindahan laut yang dapat dilihat. Ketika seorang salik telah berenang ke dalam (memakai hatinya), maka keindahan tak terbatas akan ia temukan di dalamnya. Kalaupun salik itu tak sadar bahwa ia adalah makhluk darat, mungkin ia akan menetap di dalam laut selamanya.

Lalu bagaimana menjadi salik yang benar? Syekh Abdul Halim Mahmud menyatakan bahwa seorang filsuf sempurna adalah ia yang memperhatikan sisi nalar dan kalbu. Ibnu Arabi pernah berkata, “Tutuplah pintu dunia. Putuskan diri dari semua jalan yang menuju ke sana, dan bersandinglah hanya kepada Yang Mahapemurah, maka Dia akan berbicara kepadamu tanpa tabir apapun!” Semoga Tuhan menjadikan kita salik di jalan yang lurus.

Cek Juga
Close
Back to top button