Opini

Masyarakat Pasundan Tertinggal?

Oleh: Muhamad Alwi

Sebuah video lagu dari Doel Sumbang tiba-tiba muncul di beranda YouTube milik saya, judulnya tidak asing, Urang Sunda. Seketika, saya teringat dengan momen berkendara bersama keluarga menyusuri keindahan alam di daerah Sukabumi. Dulu, saya menganggap lagu itu sekadar menjadi teman perjalanan. Tetapi, jika diperhatikan, ada lirik di lagu “Urang Sunda” yang sarat akan makna. Bunyi lirik tersebut adalah:

Lamun urang kabeh reueeus jadi urang Sunda
Pikiran deui naon nu dipikareueus
Lamun urang Sunda kabeh jadi Si Kabayan
Kuring melang hiji waktu urang kababayan

***

Si Kabayan menjadi bagian yang sulit dipisahkan dari kearifan lokal budaya Sunda. Ia hidup di tengah masyarakat dari mulut ke mulut sebagai tokoh mistis legendaris. Tak jarang saya mendengar cerita mengenai Si Kabayan yang mengandung nilai-nilai kerohanian dengan kedalaman spiritualitas. Tetapi, dalam kesempatan lain, Si Kabayan digambarkan sebagai manusia cerdik dan pemalas, gambaran seperti ini yang dikhawatirkan Doel Sumbang menjangkiti orang Sunda sekarang.

Masyarakat Sunda secara demografis merupakan suku terbesar kedua di Indonesia setelah Jawa. Ironinya, dari segi kuantitas yang ada, dikatakan jarang orang Sunda tampil di kancah nasional. Katakan saja, tidak ada orang Sunda yang menjadi presiden. Adapun yang menjadi wakil presiden hanya satu orang, hal tersebut tentu bukan sebuah prestasi yang cukup diperhitungkan. Keadaan demikian mengingatkan saya dengan keprihatinan Dajat Hidajat, penggagas organisasi Pagoeyoeban Pasoendan. Saat itu, jumlah orang Sunda yang menjadi siswa kedokteran di School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) tidak terlalu banyak dibanding orang Jawa dan Melayu. Belum lagi, tidak sulit menemukan orang Jawa dan Melayu yang memiliki pekerjaan di tanah Sunda, sementara orang Sunda masih sedikit yang bekerja di luar daerahnya. Dari sana, muncul pertanyaan di benak saya, mengapa orang Sunda sebagai suku terbesar kedua cukup tertinggal “semangatnya” dari suku lainnya?

Sejak sekolah dasar, saya mengenal moto “Gemah Ripah Loh Jinawi” yang terpampang di setiap logo pemerintah daerah. Konon, moto tersebut hadir karena wilayah Sunda dianugerahi kekayaan alam; tanah subur makmur, hasil padi melimpah dan masyarakat yang ramah serta cinta kedamaian. Tak heran apabila M.A.W Brouwer, budayawan asal Belanda, terpesona dan mengungkapkannya lewat kata, “Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum.”
Dalam angan, saya ingin berdialog dengan M.A.W Brouwer dan bertanya alasan Tuhan tersenyum ketika itu. Apakah benar Tuhan hendak menunjukkan keindahan ciptaan-Nya melalui Bumi Pasundan? Lalu, apakah Tuhan pernah khawatir, jika suatu saat masyarakat Sunda akan terlena dengan surga yang terhampar di Bumi Pasundan?

Pukau pesona alam menjadi penyebab orang Sunda mencintai tumpah darahnya. Kondisi seperti ini mengamini etnik Sunda kehilangan militansi untuk menjadi pengelana, apalagi sampai bermukim di luar tanah Pasundan. Padahal, migrasi adalah syarat mutlak untuk melakukan mobilisasi vertikal ke wilayah sektor lebih luas dalam bidang-bidang politik, ekonomi, budaya dan lain-lain. Dengan begitu, orang Sunda akan mendapat kesempatan memiliki kedudukan lebih tinggi di luar daerahnya.

Diakui atau tidak diakui, kehilangan spirit untuk keluar dari kampung halaman menjadi salah satu faktor tertatih-tatihnya orang Sunda dalam mengisi ruang-ruang penting di peta pergerakan nasional. Perlu ditekankan kesadaran bahwa Bumi Pasundan yang memukau bukan alasan hilangnya jiwa pengelana. Becermin dari leluhur Ki Sunda, mereka adalah masyarakat huma yang berpindah dari suatu tempat ke tempat lain, sesuai dengan karakteristik sosio-demografinya. Hal lain yang perlu diingat adalah kisah Bujangga Manik. Seandainya masyarakat Sunda menghayati kisah Bujangga Manik, mereka akan sadar bahwa jelita tanah Sunda bukan alasan dirinya berdiam diri di tanah kelahirannya.

Faktor lain yang menghambat pergerakan orang Sunda adalah lenyapnya identitas Sunda sebagai sebuah ideologi. Artinya, ideologi di sini adalah nilai luhur kerohanian dan tipe budaya yang dianut oleh masyarakat Sunda. Ideologi Sunda yang terbentuk selama sekitar sembilan abad pada zaman kerajaan Sunda; berwujud aksara, bahasa, etika, adat-istiadat, lembaga kemasyarakatan, kepercayaan dan lain-lain, lambat laun tergerus dan terpinggirkan dengan masuknya ideologi luar.

Mula-mula ideologi Islam datang dari arah pesisir utara. Kerajaan Sunda pada akhir abad ke-15 menerima Islam dengan tangan terbuka, sampai akhirnya ajaran Islam mewarnai kebudayaan di Tatar Sunda. Kemudian di awal abad ke-17, masuk kebudayaan Jawa pedalaman yang bersifat feodal yang dibawa oleh prajurit dan priyai Mataram melalui ekspedisi militer serta hegemoni kekuasaan dan kebudayaan. Budaya yang datang dari lapisan atas masyarakat Jawa ini masuk ke dalam lingkungan atas (menak) pula di Tatar Sunda. Karena budaya Jawa ini menguntungkan kaum menak Sunda, dalam rangka mempertahankan kedudukan, maka budaya ini terus dipelihara hingga datang Belanda menjajah seluruh wilayah Sunda.

Pada masa kolonial Belanda, masyarakat Sunda tidak berkesempatan mengembangkan diri secara leluasa dalam semua bidang kehidupan. Karena perhatian, waktu dan tenaga mereka dituangkan untuk mengabdi kepada penguasa asing itu. Dari sana, masyarakat Sunda terbiasa diperintah, sehingga apa yang mereka lakukan adalah apa yang diperintahkan oleh atasannya.

Melihat hal di atas, saya teringat dengan kritik Ajip Rosidi, budayawan Sunda, ia tak mau mendengar orang Sunda terlalu membangga-banggakan silsilah nenek moyang mereka yang pernah menjadi pejabat tinggi, terutama bupati. Sebenarnya, nenek moyang mereka hanya alat penjajah dalam memeras orang Sunda sendiri. Oleh sebab itu, orang Sunda kurang menghargai prestasi karena tidak punya ukuran menilai kerja orang lain. Mereka terbiasa menganggap baik atau buruk suatu hal, tergantung pada apa yang dianggap baik atau buruk oleh majikannya.

Hasan Mustapa, tokoh sufi dan penyair Sunda, menyediakan solusi penawar untuk kekhawatiran hilangnya identitas. Ia memberi tafsir dari filsafat eksistensialisme khas Sunda yang disebut kaaingan, sebuah konsep mengenal diri dan lingkungan, bahkan Tuhan. Sadar akan kaaingan membentuk individu yang utuh, tidak lagi seperti bebek yang mengikuti arahan penggembalanya. Orang Sunda akan mampu beradaptasi dengan dunia luar dan berani bersaing dengan orang lain.

Penting untuk dicatat, apabila orang Sunda tidak segera bergerak, besar kemungkinan akan terus kesulitan bersaing di pentas nasional. Sayang, pada kenyataannya tidak sedikit orang Sunda yang asing dengan falsafah hidup dan budaya sendiri. Seolah mereka tak peduli dan enggan untuk belajar. Kiranya, orang Sunda perlu menyimak kembali cuplikan lirik dari Doel Sumbang dalam lagu “Urang Sunda” di atas. Artinya, “Apabila kita bangga menjadi orang Sunda, pikirkan lagi apa yang kita banggakan?” Sebab, kekayaan Sunda sendiri hampir habis tergerus. Hanya tersisa bahasa Sunda yang dipakai untuk percakapan sehari-hari, itu pun tanpa adanya aksara Sunda yang terpental jauh setelah masuknya aksara Cacarakan dari Jawa, Pegon dari Arab, dan Latin yang dipinjam dari Eropa.

Lebih-lebih, saya risau kala melihat alam yang dibanggakan tengah dibabat demi kelangsungan industri. Wilayah Sunda yang menjadi penopang pusat ibukota, membuat arus budaya luar semakin kencang masuk ke Bumi Pasundan. Kali ini, akankah orang Sunda mampu menyaring budaya yang berpotensi merusak identitas kesundaan? Di samping itu, sebagai putra Pasundan setidaknya mengajak masyarakat Pasundan untuk tidak terlena dengan segala kenyamanan di tanah Sunda dan berani mengelana ke luar daerah. Dengan demikian, besar harapan orang Sunda bangkit dan lebih ajeg berdiri di pentas pergerakan nasional.

Back to top button