Cakap Memaknai Kata Bidah

Oleh: Syifaul Fauziyah
Jamak diketahui, ada begitu banyak riwayat Hadits yang melarang perbuatan bidah. Di antara banyak Hadits tersebut, tidak ada satu pun yang menjelaskan definisi dan kategori bidah secara gamblang. Sebagian Hadits tersebut, misalnya:
فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة
“Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bidah adalah kesesatan” (HR Muslim nomor 867)
Kurang jelasnya Hadits di atas menyebabkan para ulama berbeda pendapat dalam memaknai kata bidah. Sebagian ulama berpendapat bahwa semua bidah itu haram. Penggalan Hadits ‘’… kullu bid’atin dlalalah; semua bidah adalah sesat’’, dijadikan landasan untuk mengharamkan bidah tanpa terkecuali.
Pemahaman ini menyebabkan beberapa tradisi yang dilakukan umat Islam di Indonesia seperti pembacaan Yasin, tahlil dan maulid dianggap menyalahi aturan syariat. Pandangan ini disebabkan oleh kesalahan dalam memaknai kata ‘’kullu’’ (terj: semua). Menurut kelompok yang menganggap semua bidah itu sesat, kata ‘’kullu’’ yang terdapat dalam Hadits tersebut bersifat umum. Mengenai hal ini, Imam al- Suyuthi dalam kitab Hâsyiyyah al-Suyûthiy ‘ala Sunan an- Nasâi menjelaskan, ‘’Hadits yang bersifat amman makhsushan, yakni dalam sabda Nabi ‘semua bidah yang menggunakan kata ‘’kullu’’, tidak hanya mencegah pengkhususan, bahkan kata tersbut juga mencakup suatu pengkhususan.’’
Berdasarkan apa yang dijelaskan oleh Imam al- Suyuthi, saya akan memberikan salah satu contoh ayat al-Quran yang menggunakan kata ‘’kullu’’ yang bersifat khusus.
فَإِن تَوَلَّوْا۟ فَقَدْ أَبْلَغْتُكُم مَّآ أُرْسِلْتُ بِهِۦٓ إِلَيْكُمْ ۚ وَيَسْتَخْلِفُ رَبِّى قَوْمًا غَيْرَكُمْ وَلَا تَضُرُّونَهُۥ شَيْـًٔا ۚ إِنَّ رَبِّى عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ حَفِيظٌ
‘’Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu apa (amanat) yang aku diutus (untuk menyampaikan)nya kepadamu. Dan Tuhanku akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain (dari) kamu; dan kamu tidak dapat membuat mudarat kepada-Nya sedikitpun. Sesungguhnya Tuhanku adalah Maha Pemelihara segala sesuatu.’’ (QS Hud/11:57)
Ayat tersebut menyebutkan bahwa Allah merupakan penjaga atas segala (kullu) sesuatu. Namun, ayat tersebut tidak berlaku bagi orang-orang kafir.
Seperti yang telah disinggung di atas, perbedaan ulama dalam memahami dalil menyebabkan munculnya berbagai macam definisi. Di dalam kitab Mawsû’ah al-Fiqh al-Islâmiy karya Wahbah Zuhaili, bidah secara bahasa artinya memulai atau membuat. Sedangkan secara istilah, pengertian bidah terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama merupakan pendapat Imam Syafii, Imam Nawawi, Imam al-Qarrafi, Imam Ibnul Jauzi dan Imam Ibnu Hazm. Mereka berpendapat bahwa bidah adalah segala jenis perbuatan, baik maupun tercela dalam peribadatan, adat-istiadat, tradisi dan kebiasaan yang tidak bersumber dari al-Quran dan Sunah. Mereka mengharamkan semua bidah dalam akidah. Menurut mereka, adanya bidah di dalam akidah dapat menyebabkan kekafiran.
Kelompok kedua merupakan pendapat dari Imam Malik, Imam Syatibi dan Imam Ibnu Taimiyah. Mereka berpendapat bahwa segala jenis bidah itu sesat, baik dalam segi peribadahan maupun tradisi.
Macam-Macam Bidah
Syekh Izzuddin Abdul Aziz bin Abdussalam, ulama mazhab Syafii abad 7 H membuat rincian lebih detail perihal bidah beserta contohnya seperti keterangan berikut.
الْبِدْعَةُ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِي عَصْرِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -. وَهِيَ مُنْقَسِمَةٌ إلَى: بِدْعَةٍ وَاجِبَةٍ، وَبِدْعَةٍ مُحَرَّمَةٍ، وَبِدْعَةٍ مَنْدُوبَةٍ، وَبِدْعَةٍ مَكْرُوهَةٍ، وَبِدْعَةٍ مُبَاحَةٍ، وَالطَّرِيقُ فِي مَعْرِفَةِ ذَلِكَ أَنْ تُعْرَضَ الْبِدْعَةُ عَلَى قَوَاعِدِ الشَّرِيعَةِ: فَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْإِيجَابِ فَهِيَ وَاجِبَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ التَّحْرِيمِ فَهِيَ مُحَرَّمَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْمَنْدُوبِ فَهِيَ مَنْدُوبَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْمَكْرُوهِ فَهِيَ مَكْرُوهَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْمُبَاحِ فَهِيَ مُبَاحَةٌ، وَلِلْبِدَعِ الْوَاجِبَةِ أَمْثِلَةٌ.
“Bidah adalah suatu perbuatan yang tidak dijumpai di masa Rasulullah SAW. Bidah itu sendiri terbagi atas bidah wajib, bidah haram, bidah sunah, bidah makruh, dan bidah mubah. Metode untuk mengategorisasinya adalah dengan cara menghadapkan perbuatan bidah yang hendak diidentifikasi pada kaidah hukum syariah. Kalau masuk dalam kaidah yang menuntut kewajiban, maka bidah itu masuk kategori bidah wajib. Kalau masuk dalam kaidah yang menuntut keharaman, maka bidah itu masuk kategori bidah haram. Kalau masuk dalam kaidah yang menuntut kesunahan, maka bidah itu masuk kategori bidah sunah. Kalau masuk dalam kaidah yang menuntut kemakruhan, maka bidah itu masuk kategori bidah makruh. Kalau masuk dalam kaidah yang menuntut kebolehan, maka bidah itu masuk kategori bidah mubah. Bidah wajib memiliki sejumlah contoh,” (Lihat: Izzuddin Abdul Aziz bin Abdussalam al-Salami, Qawâ’id al-Ahkâm fi Mashâlih al-Anâm, Darul Kutub Ilmiyah, Beirut, cetakan kedua, 2010, jilid II, halaman 133-134)
Berdasarkan penjelasan Syekh Izzuddin Abdul Aziz bin Abdussalam di atas, bidah terbagi menjadi lima bagian sebagai berikut.
Pertama, bidah yang wajib, seperti kewajiban seseorang untuk mempelajari ilmu nahwu dan saraf bagi yang ingin memahami al-Quran dan Hadits dan kewajiban seseorang untuk mempelajari ilmu jarh wa ta’dil untuk mengetahui derajat suatu Hadits. Kedua ilmu tersebut tidak ada di zaman Rasul, tapi jika kita tidak mempelajari ilmu tersebut, maka kita akan salah dalam memamahami syariat. Kedua, bidah yang sunah. Contohnya, pembangunan fasilitas belajar; pesantren, pembangunan jembatan dan salat tarawih berjamaah. Ketiga, bidah yang makruh. Contohnya, berlebihan dalam menghias masjid dan al-Quran. Keempat, bidah yang mubah. Contohnya, bersalaman setelah salat berjamah. Kelima, bidah yang haram. Contohnya, bidah dalam permasalahan akidah merupakan bidah yang haram. Misal, munculnya pemahaman kelompok Khawarij, Qadariyah dan Mujassimah (antropomorfisme).
Bidah di Kalangan Sahabat
Perlu kita ketahui, sebelum adanya tren “mem-bidah-kan’’ antarsesama Muslim, para Sahabat telah melakukan bidah selepas wafatnya Nabi. Lalu, apakah Sahabat yang melakukan bidah itu sesat?
Sebelum itu, penulis akan mengulas beberapa praktik dan pelaku bidah di kalangan Sahabat. Pertama, Sahabat Umar bin Khattab memerintahkan umat untuk melakukan salat tarawih secara berjamaah. Kedua, Penyusunan kitab suci al-Quran pada masa pemerintahan Abu Bakar atas usulan Umar bin Khattab. Ketiga, Utsman bin Affan menambahkan azan untuk hari Jumat menjadi dua kali.
Jika seluruh perbuatan bidah itu sesat, maka para Sahabat yang mempraktikkan bidah juga sesat. Jika semua pelaku bidah itu masuk neraka, maka para Sahabat yang melakukannya juga masuk neraka. Namun, pantaskah kita merasa lebih mulia dibandingkan para Sahabat yang sudah dijamin masuk surga oleh baginda Nabi sendiri?
Walhasil, pemahaman dalil secara mendalam sangat penting dalam istinbat hukum dari suatu permasalahan. Upaya istinbat tidak akan membuahkan hasil yang memadai jika dalil hanya dipahami secara tekstual. Oleh sebab itu, diperlukan pengetahuan yang sangat luas untuk mengkaji suatu dalil. Selain itu, dengan memiliki wawasan yang luas, kemungkinan terjadinya kesalahan dalam memaknai dalil dari suatu permasalahan akan berkurang.