Islamologi

Saham Konvensional dalam Fikih Muamalah

Oleh: Syifaul Fauziyah

Belakangan ini, saham menjadi instrumen investasi yang populer di tengah masyarakat. Hal ini terjadi karena ajakan membeli saham perusahaan tertentu yang dilakukan oleh beberapa pemengaruh (influencer) mulai dari artis, musisi, tokoh agama, hingga anak presiden. Selain itu, investasi saham banyak dilirik karena berpotensi menambah penghasilan dalam jumlah yang cukup besar. Lalu bagaimana pandangan Islam mengenai investasi saham tersebut?

Faktor Penyebab Dilarangnya Jual Beli
Sebelum kita membahas lebih dalam mengenai saham itu sendiri, kita akan membahs terlebih dulu apa faktor yang menyebabkan jual beli tersebut menjadi haram. Ibnu Rusyd dalam kitab Bidâyat al-Mujtahid, mengklasifikasikan bahwa ada dua faktor penyebab rusaknya akad jual beli. Pertama, faktor dzatiyah (internal) jual beli. Faktor ini disebut juga sebagai sumber pokok rusaknya akad. Setidaknya ada empat hal yang masuk unsur ini, yaitu: karena status haramnya barang yang dijual, unsur gharar (penipuan), unsur riba, atau barang yang dihasilkan melalui turunan riba.

Kedua, unsur luar (amrun kharijy; faktor eksternal) yang ikut terlibat di dalam akad antara lain: karena adanya unsur kecurangan (ghabn), seperti tidak bisanya melihat barang yang dijual (al-ghasy) karena ada penghalang antara barang dengan pembeli. Kemudian adanya unsur yang membahayakan (dlarar), karena keharaman melakukan jual beli itu sendiri.

Pengertian Saham
Menurut Rusdi dalam buku Pasar Modal Teori dan Kebijakan dalam Praktik, saham adalah sertifikat yang menunjukkan bukti kepemilikkan suatu perusahaan, dan pemegangan saham memiliki hak klaim atas keuntungan dan aktiva perusahaan.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa saham merupakan surat berharga yang menyatakan komposisi kepemilikan bersama atas suatu aset sebuah perusahaan, yang mana kepemilikan tersebut tidak bisa ditetapkan mana bagian pihak satu dan mana bagian pihak lainnya. Proses akuisisi ini dikenal dengan istilah akad syuf’ah.

Menurut Taqiyyuddin Abu Bakar al-Hisni dalam kitab Kifâyat al-Akhyâr, syuf’ah secara syara dimaknai sebagai hak menguasai secara paksa dan berlaku tetap atas pemilik lama ke pemilik baru yang disebabkan kepemilikan bersama untuk tujuan menghindari kerugian.

Berdasarkan  ijmak, akad Syuf’ah hukumnya boleh. Dengan demikian, pada dasarnya menjual bagian hak milik atas aset perusahaan kepada pihak lain, hukumnya adalah boleh secara syarak. Namun, apakah semua jenis saham diperbolehkan untuk diakuisisi?

Berdasarkan penerapannya, saham terbagi menjadi dua bagian, yaitu: saham syariah dan saham konvensional. Perbedaan kedua jenis saham tersebut terdapat pada pengakuan lembaga yang menerbitkannnya. Lembaga yang mengaku bekerja sesuai dengan prinsip syariah, akan menerbitkan saham syariah. Sebaliknya, lembaga yang tidak mengaku bekerja sesuai dengan prinsip syariah, akan mengeluarkan saham konvensional.

Bank Konvensional dan Hukum Membeli Sahamnya
Jamak diketahui, sumber pendapatan bank konvensional menggunakan sistem bunga tetap yang disebut-sebut sebagai sistem riba, yang merupakan salah satu penyebab rusaknya akad dalam transaksi jual beli. Hal ini disebabkan oleh prinsip bank konvensional yang bebas dari nilai-nilai agama. Sehingga, bank jenis ini bisa menjalankan peran dan kegiatan apa saja selama menghasilkan keuntungan dan tidak melanggar aturan yang berlaku dari lembaga keuangan negara, seperti OJK maupun Bank Indonesia. Lalu, apakah semua usaha bank konvensional berpenghasilan haram?

Berdasarkan jenisnya, bank konvensional terbagi menjadi dua: pertama, Bank Umum Konvensional adalah bank konvensional yang aktivitasnya memadu sebuah jasa dalam traffic pembayaran. Pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, bank umum disebutkan sebagai badan usaha yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Adapun kegiatan usaha dari bank umum antara lain: a) menghimpun dana dalam bentuk simpanan dari masyarakat, baik berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, maupun bentuk lainnya; b) memberikan kredit kepada nasabah yang membutuhkan, setelah nasabah tersebut dinilai mampu untuk diberikan kredit. Ketiga, menerbitkan surat pengakuan utang.

Kedua, BPR adalah bank konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Unsur utama dalam keuntungan bank ini adalah bunga kredit yang didapatkannya. Kegiatan BPR jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan kegiatan bank umum karena BPR dilarang menerima simpanan giro, kegiatan valas, dan perasuransian. Berikut usaha yang dapat dilaksanakan oleh BPR: Pertama, menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, dan bentuk lainnya. Kedua, memberikan kredit. Ketiga, menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito, dan atau tabungan pada bank lain.

Berdasarkan hasil usaha kedua jenis perbankan konvensional; bank umum konvensional dan BPR, pendapatan yang diperoleh saham bank konvensional terbagi menjadi tiga kategori, yaitu: halal, haram, dan syubhat. Lalu, apakah membeli saham bank konvensional diperbolehkan? Menegenai hal ini, pendapat ulama terbagi menjadi tiga, yaitu:

Pertama, al-Allamah al-Dasuqi, dalam kitab Hâsyiyah ‘alâ Syarh al-Kabîr menjelaskan bahwa hukumnya haram bila pembeli saham tersebut berkeyakinan bahwa penghasilan perusahaan penerbit saham adalah haram.

Kedua, Ibnu Qudamah al-Maqdisi dalam kitab al-Mughni menjelaskan hukum jual beli saham dengan penghasilan halal dan haram adalah boleh, jika pembeli saham meyakini bahwa pendapatan perusahaan penerbit efek itu adalah halal, haram bila meyakini bahwa sumber pendapatan itu diperoleh dari harta haram.

Jika pengetahuan itu berada di antara keduanya (syubhat), maka solusinya, komposisi pendapatan yang diduga dari perkara haram dikeluarkan dari harta milik pembeli saham, sepeti dengan jalan sedekah.

Ketiga, menurut Syekh Jalaluddin al-Suyuthi, dalam kitab Al-Asybâh wa al-Nadhâir menjelaskan:

“Apabila harta haram itu yang menduduki mayoritas, maka hukum asal bermuamalah adalah boleh yang mendekati makruh. Namun, ketika meninggalkan muamalah, justru bisa menyebabkan salah satu pihak jatuh dalam kesulitan atau kondisi memprihatinkan, maka bermuamalah dengan pemilik mayoritas haram adalah boleh tanpa adanya kemakruhan.’’

Walhasil, selama tidak terdapat faktor penyebab dilarangnya suatu transaksi dalam jual beli, maka jual beli tersebut diperbolehkan. Berdasarkan pendapat para ulama, hukum membeli saham bank konvensional terletak pada keyakinan dan pengetahuan pembeli. Oleh sebab itu, mengetahui jenis bisnis, sektor usaha, proses transaksi dan aset yang dimiliki saham bank konvensional sebelum membelinya sangatlah penting.

Cek Juga
Close
Back to top button