Islamologi

Meneladan Sikap Moderat Nabi

Oleh: Syifaul Fauziyah

Nabi Muhammad terkenal akan keindahan akhlaknya. Ada begitu banyak dalil yang menceritakan betapa agungnya kepribadian yang ia miliki. Bukti tentang keluhuran budi pekerti Nabi Muhammad diterangkan dalam al-Quran: “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang luhur” (QS al-Qalam: 4).

Keindahan akhlak yang dimiliki Nabi menjadikannya disukai oleh berbagai jenis kalangan masyarakat. Salah satu akhlak terpuji yang dimiliki beliau adalah sikap yang tak pernah merasa mahabenar dan menyalahkan orang lain. Sikap ini diceritakan pada kisah perang Khandaq. Nabi Muhammad mengumpulkan para Sahabat untuk memberi pengarahan lebih lanjut. Beliau bersabda: “Jangan sekali-kali salat asar kecuali sampai di perkampungan Bani Quraizhah.” Instruksi Nabi Muhammad ini cukup jelas sehingga tidak ada pertanyaan dari para Sahabat. Tapi, dalam perjalanan, para Sahabat mulai bingung karena waktu salat asar hampir habis, sedangkan perkampungan Bani Quraizhah masih jauh. Dalam permasalahan ini, para Sahabat berselisih pendapat tentang apakah mereka harus melaksanakan salat asar terlebih dahulu atau melaksanakan salat asar setelah tiba di Bani Quraizhah. Pendapat para Sahabat terbagi menjadi dua kelompok dalam permasalahan ini.

Kelompok pertama memilih melanjutkan perjalanan dan menangguhkan salat asar hingga tiba di Bani Quraizhah meski sesampainya di sana, waktu asar sudah habis. Kelompok ini memahami arahan Nabi secara tekstual. Kelompok kedua memilih melaksanakan salat asar di tengah perjalanan. Kelompok ini berpendapat bahwa Nabi bermaksud agar para Sahabat mempercepat perjalanan dan melaksanakan salat asar tepat waktu di Bani Quraizhah. Ketika Nabi mengetahui perbedaan pendapat antara para Sahabat, beliau tidak menghakimi keduanya. Beliau mengapresiasi mereka.

Teladan Rasulullah tersebut juga diikuti oleh para Sahabat saat terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Sebagaimana Rasulullah, para Sahabat juga memegang teguh budi pekerti yang luhur serta keteguhan hati. Mereka selalu berusaha dan mengedepankan persatuan umat dari pada hal lain.

Salah satu contoh Sahabat yang mengikuti etika berpendapat yang diajarkan Nabi adalah Abdullah bin Masud. Menurut Abdullah bin Masud, ketika seseorang dalam perjalanan (musafir) akan lebih utama baginya mengqasar salat, walaupun musafir tersebut sudah sampai tujuan. Dengan kata lain, seorang musafir tidak harus melaksanakan salat fardlu layaknya orang yang bermukim. Pendapat ini didukung oleh kesaksiannya bahwa ia pernah salat bersama Rasulullah, Abu Bakar dan Umar hanya dua rakaat.

Suatu ketika, Abdullah bin Masud melakukan perjalanan ke Mina. Setibanya di Mina, ia melihat Usman bin Affan melaksakan salat fardlu tanpa mengqasarnya. Padahal, pada saat itu Usman bin Affan juga dalam keadaan musafir. Meskipun begitu, Ibnu Masud tetap salat bersama Usman bin Affan sebanyak empat rakaat. Ketika ditanya kenapa dia melakukan hal itu, dia menjawab: “Berselisih itu tidak baik”. Dia tidak ingin memecah kesatuan jemaah atau menjadi penyebab tercerai-berainya umat Muhammad.

Nabi Muhammad langsung dididik oleh Allah, tanpa melalui apapun. Dengan kata lain, Allah menjaga Nabi Muhammad dari perbuatan yang tercela. Mengenai hal ini, Imam Fakhruddin al-Razi dalam kitab Mafâtih al-Ghayb menjelaskan bahwa tidak mungkin Nabi Muhammad melakukan perbuatan tercela (maksum) sedangkan apa yang diucapkannya berdasarkan wahyu. Allah SWT berfirman: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS al-Najm: 3-4).

Ada begitu banyak literatur yang menceritakan kemuliaan akhlak baginda Nabi. Namun, begitu banyak pula orang-orang yang justru membencinya dengan melontarkan hal-hal negatif dan memfitnahnya. Mahmud Abu Daqiqah, guru besar teologi Universitas al-Azhar dalam kitabnya, al-Qawl al-Sadîd memberikan beberapa contoh ayat yang digunakan untuk menafikan kemaksuman Nabi Muhammad. Salah satunya ialah: ‘’Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil.” (QS al-Anfal: 75-76)

Sekilas, ayat ini menggambarkan bahwa Nabi Muhammad melakukan dosa besar dan beliau layak mendapatkan azab dari Allah SWT. Namun, jika kita ingin mendapatkan makna yang jelas, kita harus mengetahui sebab turunnya ayat tersebut.

Selepas perang Badar, Nabi kembali ke Madinah dengan sejumlah tawanan perang. Para Sahabat bermusyawarah tentang apa yang akan mereka lakukan pada tawanan perang. Abu Bakar berpendapat bahwa tawanan perang tersebut merupakan keluarga Nabi. Sebaiknya, Nabi membebaskan mereka dan mengambil tebusan dari mereka untuk memperkuat finansial kaum Muslim.

Sahabat Umar bin Khattab berpendapat bahwa tawanan perang itu telah mendustakan Nabi, memeranginya, dan mengusirnya dari tanah kelahiran. Sidna Umar meminta izin untuk memenggal kepala para tawanan perang. Menurutnya, cara ini berguna untuk menunjukkan bahwa umat Muslim tidak memiliki belas kasih terhadap kaum musyrik.

Nabi memilih pendapat Abu Bakar. Setelah itu, turunlah ayat 75-76 surah al-Anfal sebagai teguran bagi Nabi Muhammad yang bermakna bahwa tidak seyogianya bagi Nabi membebaskan tawanan perang dan meminta tebusan tanpa membunuh mereka.

Ayat ini merupakan teguran atas kesalahan Nabi dalam berijtihad sekaligus bukti bahwa ketika Nabi berbuat salah, beliau ditegur langsung oleh Allah SWT. Kesalahan Nabi dalam berijtihad bukanlah sesuatu yang dapat mencoreng kenabiannya.

Dengan demikian, keindahan akhlak Nabi Muhammad memang tidak diragukan lagi. Menjadikanya sosok suri tauladan dalam kehidupan merupakan keputusan yang tepat. Sebagaimana firman Allah SWT: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS al-Ahzab: 21)

Nabi Muhammad telah mengajarkan etika yang baik dalam menyikapi perbedaan pendapat. Sudah selayaknya kita sebagai umat muslim mengikuti apa yang sudah beliau ajarkan. Dengan mengikuti etika berpendapat a la Nabi, kita akan terhindar dari prasangka buruk dan egois.

Cek Juga
Close
Back to top button