Cerpen

Menik dan Dosa Pertama Manusia

Sore itu Menik menggunakan rias wajah terbaiknya. Bedak tipis menyelimuti wajah hingga memancarkan rona di kedua pipinya. Dengan pensil hitam, ia membentuk alis matanya seperti sayap burung elang yang sedang mengepak, menyebrangi lautan. Ia mencoba dua-tiga setelan jilbab beserta gamis tercantik yang ia punya, terpilihlah setelan berwarna merah dengan motif yang tak seberapa penuh, menghiasi gamisnya yang dua hari lalu diberi seorang pria. Begitu juga pakaiannya yang tak seberapa menutupi lekuk tubuhnya.

Baginya, ini adalah kali pertama ia berdandan sebegitu cantik sejak menginjak tanah Arab tiga bulan lalu. Bukan tanpa alasan. Sejak kemarin, pesan dari pria itu selalu muncul di beranda telepon genggamnya. Pria sama yang memberinya gincu dan pakaian merah marun yang ia kenakan. “Dengan begini, apakah aku akan merasa aman, dan mengapa harus merah? Apakah ini yang kau mau? Ah, sudahlah, aku tidak boleh berpikir macam-macam,” gumam Menik. Sambil menatap ke arah cermin yang memantulkan wajahnya, dia memoles bibirnya dengan gincu. Bibirnya merah, menyala seperti cabai di musim dingin.

Belum lama Menik dan pria itu saling mengenal. Tepatnya sebulan lalu dalam suatu pertemuan di ruangan utama lantai satu sebuah apartemen berlantai lima. Saat itu, si pria duduk lesehan di atas karpet bersama beberapa pelajar laki-laki dan perempuan yang satu di antaranya adalah Menik. “Siapa namamu?” tanya Pria itu kepada Menik.

“Menik,” jawab Menik singkat.

Pria itu tersenyum dan menatapnya dengan raut wajah percaya diri, kedua alis matanya direkatkan. Ia sedikit mengangkat kepalanya lalu berkata, “Hanya itu?”

Menik tak menjawab sepatah kata pun. Ia hanya menganggukkan kepala dan sedikit merendahkan tubuhnya. Pria itu masih menatap Menik seakan-akan kedua matanya tertarik oleh magnet berupa tubuh Menik. Menik menatap matanya. Sedikit takut dan malu, lalu Menik menunduk. Menatap ke arah bawah. Sebuah karpet merah polos membentang memenuhi lantai ruangan tempat ia dan pelajar lain berkumpul. Juga pria yang baru saja menatap dan menanyakan namanya.

Sejak hari itu, keduanya rutin bertemu dua kali seminggu dalam sebuah pertemuan. Pertemuan itu membahas diktat kuliah yang dipelajari Menik dan pelajar lainnya di kampus. Bagi Menik dan pelajar lain yang merupakan mahasiswa baru, pertemuan itu sangat penting untuk membantu memahami diktat-diktat kuliah yang hampir keseluruhannya tidak bisa ia pahami. Dalam pertemuan itu, si Pria menjelma menjadi dosen Menik di kampus, hanya saja ia menjelaskan diktat kuliah dengan bahasa yang ia pahami (tidak seperti dosennya di dalam kampus) dan sesekali melemparkan sebuah candaan yang terkadang disambut tawa oleh Menik.

Dua hari lalu, ada sebuah pembahasan yang benar-benar Menik tak bisa mengerti. Menik lalu mengangkat tangannya pada sebuah jeda selepas pria itu berceramah tentang materi diktat kuliah, sambil memberikan waktu bagi para pelajar menyalin apa yang dituliskan di papan putih. “Ustadz.” Begitulah Menik dan pelajar lain akrab menyapa si pria dengan sebutan itu. Pria itu kemudian menatap Menik, juga pelajar lain (terutama laki-laki) yang baru kali pertama mendengar suara Menik di pertemuan itu. Mereka menatap agak tajam dan terus memandang Menik. Bagi Menik, itu adalah tatapan mengerikan. Menik ketakutan dan bertanya pada dirinya sendiri, “Mengapa semua orang menatapku?” Menik pun urung bertanya dan menundukkan kepalanya. Begitu pula yang lain, menundukkan kepala dan kembali sibuk dengan pena, menyalin apa yang telah ditulis pria itu di atas papan putih.

“Jika malu, kau bisa bertanya nanti,” ujar pria itu kepada Menik.

Selepas pembahasan diktat, pria itu menagih pertanyaan yang belum sempat diutarakan Menik dalam kajian tadi, sesaat sebelum Menik melewati pintu bersama pelajar lain. Menik melepas genggamannya pada gagang pintu dan kembali ke ruangan itu. Pelajar yang lain pergi, menyisakan hanya mereka berdua.

Pria itu lalu meninta Menik duduk. Menik menurut. Kemudian Menik menyampaikan pertanyaan yang tadi sempat tertunda dan dijawab lugas oleh si pria. Menik menunduk. Tak berani menatap wajah pria tersebut, takut dan malu. Pria itu meminta Menik menatap wajahnya dan memerhatikan setiap kata yang keluar dari kedua bibirnya. Katanya, agar Menik dapat memahaminya dengan baik. “Kau tidak akan mendapatkan ilmu jika kau malu dan sombong. Mengapa kau begitu pemalu? Lihatlah wajahku dan perhatikan dengan saksama setiap kata yang keluar dari mulutku,” ujar pria tersebut dengan senyuman yang tak pernah luntur sejak dari awal berbicara dengan Menik.

“Aku menunduk agar orang-orang tidak menatapku.”

“Apa kau tidak suka ketika orang-orang menatapmu?”

“Aku takut ketika orang-orang menatapku, terutama para pria. Mereka seperti anjing-anjing lapar yang melihat seorang kakek tua membawa sekarung sampah. Tatapannya tajam. Telihat memelas, namun jahat.”

“Lalu jika mereka menatapmu dan kau menunduk, apa mereka akan berhenti menatapmu?”

“Sesekali iya. Dan jika mereka masih menatapku, aku mempercepat langkahku, namun celaka, mereka semakin tajam menatapku. Seakan rumah adalah satu-satunya tempat yang aman bagiku.”

“Apakah kau selalu mengenakan pakaian yang sangat sederhana seperti ini agar orang-orang tak menatapmu.”

“Ya, aku bahkan tak pernah mengenakan wewangian di tubuhku. Aku tidak ingin menjadi daging segar bagi para anjing-anjing liar di luaran sana.”

“Kau tahu, mereka akan terus menatapmu dan memang begitu laki-laki melihat perempuan. Kau adalah barang berharga yang diperebutkan. Kau harus menghargai dirimu dengan nilai tinggi. Bukankah tidak sembarang orang dapat menghiasi tangannya dengan cincin yang dilapisi berlian?”

“Lebih baik aku diciptakan sebagai lelaki!”

Kemudian pria itu menanggapi ucapan Menik hingga perbincangan terhenti. Menik tak menjawab lagi setiap ucapan dari pria itu. Ia juga tidak lagi melontarkan sebuah pertanyaan. Ia tahu bahwa apapun yang ia katakan, pria itu akan membalasnya dengan kata-kata yang selalu lebih panjang dari sebelumnya. Juga senyum yang tak pernah ia lepaskan. Namun kini, tatapannya mengarah ke netra Menik dan semakin tajam.

Menik tak menyangka keesokan harinya seorang kurir datang mengantar sebuah paket ke rumahnya. Ketika ditanya, kurir itu tak menyebut nama pengirimnya, ia hanya memberi tahu bahwa yang mengirimi paket adalah seorang pria. Kemudian sebuah pesan muncul di beranda telepon genggam milik Menik. Pesan itu berasal dari pria yang telah menjawab semua pertanyaannya kemarin. Pesan itu berbunyi, “Kau seharusnya sudah menerima paket yang kukirim, semoga kau merasa nyaman.”

Menik membuka paket yang ia taksir berbobot kurang dari satu kilogram. Lalu ia mencoba menebak-nebak isi paket. Benar, paket itu berisi satu setelan gamis dan jilbab, hanya saja berwarna merah. Menik sedikit mengeluh, mengapa warna merah. Ia tidak suka warna merah, karena pikirnya terlalu mencolok. Menarik perhatian dan mengundang netra-netra ganas berkeliaran. Namun setidaknya, ia masih merasa bersyukur, sebab warna merah pada pakaian tersebut tidak begitu menyala. Tetapi merah marun.Tidak seperti lipstik yang ia temukan terletak di antara lipatan gamis dalam paket itu. Awalnya Menik terheran dengan sebuah plastik keras berbentuk lonjong seukuran jari tangan orang dewasa. Setelah ia buka tutupnya, ia dapati isinya begitu merah dan menyala.

Menik terheran mengapa pria itu memberinya lipstik. Tidak, bahkan Menik masih terheran mengapa pria itu memberinya paket tersebut. Menik kemudian membaca kembali pesan dari pria itu. Menik agak bingung ketika membaca isi pesan tersebut. Ia bingung dengan semuanya, paket dan pesan yang datang padanya hari ini. Mungkin pria itu ingin melihat Menik mengenakannya. Atau setidaknya, Menik menghubung-hubungkan pesan dan paket hari ini dengan perbincangan mereka semalam. Gamis merah ini begitu mewah dan mahal. Menik mengenal merek yang terjahit di bagian dalam gamis tersebut. Pun lipstik merah yang menampilkan nama merek dagang mahalnya. Dengan memakai barang mahal itu, orang-orang akan menghargainya dengan nilai tinggi. Mereka tak akan berani macam-macam dengannya. Menembakkan netra ganas apalagi mengerjainya dengan sesuatu yang tidak menyenangkan.

Seperti sepuluh hari yang lalu. Saat itu Menik melewati sebuah jalan yang ia anggap paling mengerikan yang pernah ia temui semasa hidupnya. Namun sialnya, ia harus melewati jalan itu setiap hari. Jalan itu begitu sempit, namun gelaran Moto GP antar kampung sering kali dihelat. Begitu sebuah mobil lewat, jalanan mati, setiap orang harus menepi dan berkelahi dahulu hingga akhirnya jalan bisa kembali dilewati. Sesekali air bercampur sampah dan kotoran anjing menggenang sepanjang jalan. Bagaimana tidak, anjing-anjing berkeliaran memenuhi tiap sudut jalan, baik yang berkaki empat atau berkaki dua. Tiap kali Menik lewat, mereka sama-sama menembakkan netra memelas, namun terasa jahat.

Yang paling mengerikan ialah becak bermotor yang lalu-lalang dengan kecepatan tinggi, ugal-ugalan. Tak jarang sopir-sopir nakal membentangkan tangannya, menggapai segala hal yang ia terabas dengan kecepatan tinggi. Pernah tangan itu hampir meraih Menik sebelum akhirnya dengan sigap ia sedikit meliukkan tubuhnya menghindar ke pinggir jalan. Menik masih beruntung, setidaknya, tidak seperti kejadian yang dialami temannya seminggu lalu. Sebuah tangan membentang, muncul dari becak bermotor dan membawa lari tas kawannya dengan kecepatan tinggi. Naas, kawannya masih mengenggam erat tas miliknya dan terseret sepanjang jalan, sebelum akhirnya tersungkur dan tetap kehilangan tas miliknya. Tangan itu memang begitu ganas. Bahkan tak hanya meraih barang mewah yang terlihat oleh mata, namun juga yang tersembunyi.

Sore ini, Menik melewati jalan tersebut, ia mendapati tidak mengerikan seperti biasanya. Meskipun sampah dan bau busuk masih menghiasi sudut jalan, tidak ada Moto GP liar antar-kampung atau pun becak bermotor yang lalu-lalang. Akan tetapi, anjing-anjing tetap berkeliaran dan terus menatapnya sepanjang jalan, bahkan semakin tajam dan lekat. Menik mempercepat langkahnya. Ia sudah sampai di tempat tujuan. Ia mengatur nafas yang sedikit tersengal. Ia buka pintu yang ada di hadapannya, tiba-tiba semua orang yang ada di dalam ruangan itu menatapnya lama dan terus menatapnya. Ia takut dan melihat ke arah pria-pria itu, netranya mengerikan dan senyum di wajahnya makin melebar. Ia menunduk, berjalan ke ruangan dan mengambil posisi kemudian duduk.

Kemudian saat orang-orang meninggalkan ruangan selesai pertemuan, pria itu meminta Menik untuk tetap di tempat. Ruangan hanya menyisakan mereka berdua tepat seperti dua hari yang lalu. Pria itu lalu mendekat ke Menik.

“Kau nyaman?” tanya pria itu pada Menik.

“Entahlah, aku tidak mengerti maksudmu. Aku takut. Orang-orang menatapku semakin mengerikan.”

“Mereka tidak akan berani berbuat macam-macam padamu karena kau begitu anggun hari ini. Mereka akan merasa rendah di depanmu yang begitu bernilai tinggi.” Pria itu meraih pundak Menik dan kembali melanjutkan, “Lelaki dan perempuan memiliki kelebihan tersendiri. Jika kau mengerti, kau tidak akan pernah menyesal dilahirkan sebagai perempuan seperti ucapanmu malam itu. Terlebih dengan semua yang kau miliki ini. Kau seharusnya berterima kasih kepada nenek moyangmu, Hawa yang telah mewariskan segala kesempurnaan yang ia punya kepadamu.” Pria itu memindahkan tangannya. Ke atas. Ia mencoba meraih pipi Menik. Menik hanya terdiam.

“Seperti ini kah dulu. Hawa merayu Adam dan membuatnya turun ke Bumi. Itu adalah dosa pertama yang dilakukan umat manusia. Karena Hawa. Dan setelah turun ke Bumi, Adam masih mencari-cari Hawa hingga menyeberangi gurun dan hutan. Padahal ia tahu bahwa Hawa adalah dosa pertamanya. Itu mengapa begitu sempurnanya Hawa diciptakan dari Adam dan bukan dari tanah. Dia akan selalu membangkang seperti Lilith si Dewi Malam.”

Menik mengerang lirih dan bergumam, “Ah, tidak adakah tempat yang aman bagi seorang perempuan?”

Cerpen ini dinilai sebagai juara 1 lomba Masisir Menulis Batch 2 Desember 2021

Back to top button