Budaya Arab yang Kerap Disalahpahami

Beberapa minggu yang lalu, lembaga fatwa Mesir, Darul Ifta’ al-Mashriyah mengunggah infografis terkait cadar di akun Instagram resminya. Isinya menyebutkan bahwa cadar adalah budaya, bukan merupakan syariat Islam. Hukum menggunakan cadar adalah mubah, tidak disunnahkan apalagi diwajibkan.
Berangkat dari topik seputar hukum cadar ini, saya ingin bercerita soal budaya Arab yang kerap disalahpahami sebagai ajaran syariat Islam. Mengapa kesalahpahaman ini rawan terjadi dan bagaimana kita menyikapi berbagai fenomena tersebut?
Islam, sejatinya memang memiliki hubungan erat dengan kebudayan bangsa Arab. Menurut Nasaruddin Umar, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, hal ini dikarenakan Jazirah Arab sendiri merupakan tempat turunnya Islam melalui perantara Nabi Muhammad SAW. Mau tidak mau Arab menjadi lokus pertama yang menyambut datangnya Islam. Banyak ajaran Islam yang mencoba masuk melalui berbagai kebudayaan Arab. Di antara bukti yang paling nyata ialah bahasa yang digunakan Allah dalam menyampaikan risalah Islam melalui kitab sucinya, yaitu bahasa Arab.
Tidak jarang kita jumpai tradisi maupun kebudayaan Arab yang dinilai cocok dengan Islam, lalu dilestarikan dalam bentuk syariat. Syariat tadi bisa berupa ritual ibadah seperti haji dan kurban, maupun tradisi sosial kemasyarakatan seperti penerapan masa ‘iddah bagi wanita yang ditinggalkan suaminya. Beberapa hal tersebut pada mulanya merupakan tradisi turun-temurun bangsa Arab sebelum kedatangan Islam. Meskipun demikian, bukan berarti budaya Arab yang baik identik dengan Islam. Tentu ada tradisi Arab yang tidak ditentang oleh Islam, namun ia juga bukan merupakan syariat Islam.
Islam Simbolis
Dalam laku beragama umat Muslim di Indonesia saat ini, ada kelompok yang menyerukan untuk berislam secara menyeluruh. Berislam secara kafah artinya (menurut mereka) mengamalkan ajaran Islam pada setiap laku kehidupan. Secara spirit, hal tersebut cukuplah baik, namun menurut Muhamad Ali, analis studi Islam dan Timur Tengah lulusan Universitas Edinburgh, perilaku berislam yang mereka terapkan tersebut, cenderung berorientasi pada aspek simbolis daripada substansial agama.
Jika meminjam istilah dari Muhammad Said Ali, seorang ulama al-Azhar, hal ini bisa disebut dengan beragama secara lahiriah (al-tadayyun al-dhahiri). Maksudnya, menonjolkan aspek-aspek yang sifatnya simbolis dalam Islam, seperti penampilan dan cara berpakaian. Yang lebih perlu ditekankan sebenarnya adalah nilai-nilai universal Islam, seperti sikap toleransi dan kejujuran.
Saya rasa, semangat berislam tanpa didasari ilmu pada akhirnya mengarah kepada laku beragama yang kurang baik. Berislam dengan model seperti ini tidak jarang menimbulkan campur-pemahaman antara budaya Arab dan bawaan syariat. Tidak sedikit dari mereka yang meyakini bahwa budaya Arab sama dengan syariat Islam. Mereka tidak mampu membedakan antara keduanya.
Dalam konteks Muslim Indonesia, kita jumpai orang-orang yang menggunakan obat penumbuh jenggot demi mempunyai jenggot dengan alasan nyunnah. Padahal menurut mayoritas fukaha, salah satunya Ibnu Nujaim al-Misri dalam kitabnya al-Bahr al-Râiq, jika memang secara genetik seseorang tidak memiliki jenggot, maka tidak dianjurkan untuk menggunakan obat. Ada pula anggapan sikat gigi harus pakai siwak, memakai jubah dalam keseharian dan sebagainya.
Bahkan yang lebih mengherankan, ada sekelompok orang yang sampai menggunakan dinar dan dirham sebagai alat tukar, mungkin karena ingin mengikuti zaman nabi. Ini terjadi misalnya di Depok pada awal 2021 lalu. Sejatinya, memakai jubah dan menggunakan mata uang dinar dirham hanyalah murni aspek budaya Arab. Tidak ada sangkut pautnya dengan syariat Islam.
Sekularisasi Islam
Melihat beberapa kenyataan ini, mengedukasi umat terkait laku beragama yang benar serta memperdalam ilmu seputar agama Islam adalah langkah yang tepat. Namun selain itu, dalam menyikapi ini saya tertarik dengan pemikiran ‘sekularisasi Islam’ yang digagas oleh Nurcholis Madjid. Di dalam buku Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, ia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sekularisasi Islam adalah sikap kaum muslim untuk men-duniawi-kan hal-hal yang bersifat duniawi, serta berhenti meng-ukhrawi-kan berbagai hal yang tidak bersifat ukhrawi.
Berbagai hal duniawi di sini, tentu termasuk di antaranya berbagai budaya Arab yang bukan merupakan syariat Islam. Hal ukhrawi, salah satunya ialah syariat Islam. Jika berkaca pada konsep tersebut, maka sudah seharusnya umat Islam berhenti untuk menganggap seluruh budaya Arab identik dengan syariat Islam.