Drama Wisuda

Kemarin, saya sedang mengolah data hasil penelitian wisuda saat kawan saya membagikan tautan Youtube PODMI episode empat. Tautan itu berisi siniar PPMI Mesir berjudul Wisuda 2021 Banyak Drama ? (dengan spasi setelah kata ‘Drama’). Sebagai salah satu peserta wisuda, saya berharap siniar itu menjawab sebagian pertanyaan seputar wisuda, semisal kuota dan keuangan. Keduanya termasuk unsur dasar dalam setiap laporan pertanggung jawaban sebuah acara. Peserta wisuda, dan publik Masisir berhak tahu. Sejauh mana keterbukaan panitia, Masisir akan belajar soal hal itu.
Saya menyimak video itu. Di menit terakhir, saya menyadari bahwa ekspektasi saya terlalu tinggi. Siniar itu hanya menceritakan pengalaman panitia. Tidak lebih. Musthofa Fadhil Akbar, wakil ketua panitia yang juga sebagai narasumber, mengaku sudah menyiapkan acara wisuda tahun ini dengan matang. Wisuda “mewah” yang digelar untuk jenjang sarjana dan pascasarjana itu, sudah dikonsep dengan matang.
Sudah matang?
Untuk menjawab pertanyaan sederhana ini, fakta berikut akan membantu kita menemukan jawabannya. Pada awal September 2021, panitia wisuda membagikan kuesioner untuk calon peserta, 714 mahasiswa angkatan Mafaza 2016. Jumlah itu belum termasuk mahasiswa penerima beasiswa Buuts al-Azhar. Kuesioner itu berisi jajak pendapat mengenai kesediaan peserta, waktu, dan tempat acara.
Bila yang dinyatakan lulus tepat waktu 70%, maka ada sekitar 499 orang yang akan ikut wisuda. Jika yang bersedia ikut wisuda dari 499 orang hanya 50%, maka peserta wisuda sekitar 249 orang. Panitia mematok kuota asal peserta sebanyak 150 calon wisudawan Indonesia. Kuota ini belum mencapai separuh yang berjumlah 249 barusan. Slot ini bahkan belum mencakup calon wisudawan pascasarjana. Apakah nantinya hanya 150 peserta yang mengikuti wisuda di gedung seluas al-Azhar Conference Center (ACC)? Tentu tidak. Sebanyak 100 kursi wisuda lainnya diperuntukkan calon wisudawan non-Indonesia.
Dari pengandaian di atas, terlihat bahwa kuota awal peserta wisuda ialah 250 kursi. Jumlah ini, menurut panitia, menyesuaikan aturan separuh kapasitas gedung ACC yang berjumlah sekitar 700 kursi. Biaya sewa bagi wisudawan asal Indonesia sebesar LE 200, sedangkan non Indonesia, LE 400. Setelah dihitung, panitia hanya membutuhkan LE 70.000 (150 x LE 200 = LE 30.000 ditambah 100 x LE 400 = LE 40.000) untuk biaya sewa gedung. Atau kalau memang harus lebih dari itu, maksimal LE 119.400 atau LE 120.000.
Dengan pembatasan kuota yang demikian itu, calon peserta berbondong menuju Wisma Nusantara sejak pagi hari-pertama masa daftar. Pendaftar terus berdatangan hingga massa membeludak. Kerumunan tak terelakkan. Antrian berjejer berubah menjadi sekumpulan massa yang berjubel. Panitia bergeming. Mereka belum juga memberi keputusan atau sepatah-dua kata hingga waktu menuju petang. Serabut ketidakpastian menyelubungi pendaftaran dan rentetan rencana wisuda.
Mewakili massa itu, beberapa calon wisudawan kemudian menagih kejelasan dari panitia. Adu-pendapat berlangsung. Setelah beberapa waktu, di tengah padatnya massa, panitia mengumumkan bahwa pendaftaran tak bisa diwakilkan. Mereka yang ingin mengikuti wisuda harus datang sendiri ke Wisma. Yang sakit, yang sedang di Indonesia, juga yang sedang hamil, harus mendaftar sendiri jika ingin diwisuda.
Tidak hanya soal datang-dan-daftar, panitia juga akhirnya menambah kuota. Seluruh wisudawan asal Indonesia diharuskan membayar sejumlah LE 400, dua kali lipat dari pernyataan di muka. Jumlah peserta wisuda asal Indonesia sebanyak 345. Setelah dihitung, peserta wisuda ini (345) mengumpulkan biaya sewa gedung sebesar LE 138.000. nominal ini melebihi jumlah yang semestinya dibutuhkan. Ini belum termasuk biaya sewa gedung dari wisudawan non-Indonesia.
Sebagai peserta wisuda, saya mengusulkan adanya LPJ virtual. Atau minimal publikasi laporan keuangan, sebagaimana tradisi setiap pergantian pengurus senat, kekeluargaan maupun almamater. Ini adalah nominal yang besar. Tentunya panitia tidak berkenan jika peserta wisuda merasa dana itu membengkak dengan entah bagaimana pengolahannya, bukan?
Selain kuota, iuran dana, pemilihan pembaca janji wisuda juga terasa ganjil. Sekelebat bisa kita simpulkan bahwa pembaca janji wisuda ialah “orang dalam”. Apa pentingnya pembaca janji? Janji ialah ikrar. Ikrar bahwa wisudawan akan membawa risalah al-Azhar sepulangnya mereka ke tanah kelahiran. Bukankah akan lebih bermakna jika pembaca janji ialah mereka yang betul-betul memiliki komitmen keazharan sejak menjadi mahasiswa? Hal ini bisa diukur misalnya dengan seberapa dekat ia dengan literatur keazharan; baik dalam tradisi intelektual Masjid al-Azhar maupun Universitas al-Azhar.
Saya tidak berharap selain perbaikan dan keterbukaan panitia wisuda. Panitia mestinya terbuka, dengan ‘melaporkan’ hasil kerjanya selama mengemban kepercayaan terkait. Atas niat perbaikan, panitia juga perlu mendengar pandangan dan tanggapan pihak terkait hajat tahunan Masisir ini. Untuk mengupayakan hal itu, saya bersama Tim Riset PCINU Mesir meneliti tingkat kepuasan peserta wisuda.
Hasil riset yang akan diluncurkan dalam waktu dekat ini merupa jembatan komunikasi antara peserta wisuda dan panitia pelaksana. Riset ini, meski tidak mudah, mencoba menjadi kontrol pemegang kebijakan di Masisir agar hajat yang dimaksudkan bisa efektif dan tepat. Semoga wisuda berikutnya bisa dilangsungkan oleh kepanitiaan yang profesional, terbuka dan waskita!