Mengurai Benang Kusut Wisuda

Pada 4 Januari lalu, saya menulis Drama Wisuda di bedug.net. Ada tiga hal yang diangkat di dalam tulisan itu: klaim matangnya persiapan panitia, ketidakjelasan olah dana, dan soal siapa yang berhak menjadi pembaca janji wisuda. Tiga poin ini tentu tidak berangkat dari mulut ke mulut, atau obrolan ngalor-ngidul di ruang-ruang terbuka. Tiga hal ini merupakan poin yang saya temukan saat mengolah data hasil penelitian wisuda.
Tak hampir seminggu setelahnya, tulisan lain berjudul Drama Wisuda* PPMI Mesir 2021; Miskalkulasi Panitia atau Presiden Gagal Paham? muncul dalam rubrik Feature di laman Informatika. Sedianya, tulisan ini akan mengklarifikasi empat poin terkait wisuda 2021, yaitu “… miskalkulasi jumlah calon wisudawan, kenaikan iuran pembayaran wisudawan, uang hadiah untuk sepuluh wisudawan terbaik yang belum dicairkan, serta penunjukan mahasiswa yang bertugas untuk membacakan ikrar wisudawan.” Dari judul dan isi, terlihat bahwa reportase ini akan menanggapi tiga perkara tersebut di tulisan saya, ditambah soal uang hadiah.
Yang terbayang dalam benak saya saat membaca diksi ‘klarifikasi’ adalah kumpulan data dan fakta yang betul-betul dilakukan untuk menjawab klaim yang saya ajukan di muka. Saya sempat berharap bahwa laporan itu tidak mengulang fakta yang sudah saya sebutkan sebelumnya, namun kita semua tahu bahwa harapan tak selalu berakhir nyata.
Saya menyoal pengelolaan keuangan panitia wisuda. Diksi mengelola mengandung makna memelihara dan menjaga (lihat KBBI). Pengelolaan dana, artinya, ialah menjaga dan memelihara dana pasca-pendapatan. Alih-alih membeberkan untuk apa saja digunakan, klarifikasi tersebut malah menyebutkan kondisi finansial PPMI Mesir yang belum stabil dan anggaran dana dari KBRI Kairo yang tidak cair. Bukankah yang dipertanyakan peserta wisuda, termasuk saya, adalah sirkulasi dan alokasi keuangan? Saya sedang tidak menanyakan sumber dana. Toh sejak awal, peserta wisuda sudah menyepakati pembayaran gedung ACC sejumlah LE 400. Untuk diingat, pertanyaan saya ini berangkat dari hasil riset, bukan wawancara acak.
Soal berikutnya menyinggung pembaca janji wisuda. Dengan mengatakan bahwa pembaca janji wisuda ialah “orang-dalam”, saya sebenarnya sedang mempertanyakan standar pelaksanaan wisuda, termasuk di dalamnya seleksi pembaca janji. Saya bermimpi hajat tahunan itu bisa bersifat inklusif, siapa saja bisa berpartisipasi tanpa harus “dekat” dengan PPMI. Apa maksud “dekat” di sini? Teruslah membaca.
Menanggapi soal pembaca janji, Dandi Nasution, penulis reportase itu bukan menjelaskan standar, melainkan mendatangkan pernyataan baru soal tiga permintaan presiden PPMI. Saya tidak mengerti mengapa ketiga permintaan ini mesti bertanggung jawab atas tidak-jelasnya pemilihan pembaca janji. Tanpa memenuhi tuntutan pertanyaan saya, ia menambahi bahwa tiga permintaan inilah yang “… menjadi penyebab teralihkannya tanggung jawab ketua panitia dan wakilnya dari yang tidak semestinya, karena pihak-pihak tertentu yang mungkin kurang memahami mekanisme penyelenggaraan wisuda.” Sesuai penuturannya, permintaan presiden, yang disebut sebagai ketidakpahaman atas mekanisme wisuda itulah yang menyebabkan kaos dalam penyelenggaraan acara.
Agar lebih jelas, mari kita lihat secara arif ketiga permintaan itu.
Pertama, Presiden PPMI Mesir meminta untuk menjadi pembaca janji wisuda. Saya tidak tahu, memimpin pembacaan janji wisuda itu hak istimewa dari seorang Presiden PPMI atau bukan. Kalau iya, tidak ada persoalan. Kalau bukan, artinya hak memimpin baca-janji berarti milik semua calon wisudawan. Karena ini hak semua, maka permintaan presiden menjadi tidak wajar. Jika tidak wajar dan menyalahi aturan—jika ada, tentu—, mengapa dikabulkan?
Pada Wisuda PPMI Mesir 2017, pembaca janji wisuda adalah Pangeran Arsyad Ihsan Nulhaq, yang saat itu menjabat sebagai Presiden PPMI. Baca-janji pada Wisuda 2018 dipimpin oleh Saeful Jihad, juga sedang menjabat sebagai Presiden waktu itu. Pada 2019, janji wisuda dibaca oleh Muhammad Kamal Ihsan. Ia memang bukan presiden saat itu, namun aktif di PPMI. Kariernya di sana masyhur. Ia pernah memimpin redaksi Suara PPMI hingga maju sebagai calon presiden pada 2019. Pada wisuda 2020, Akhmad Zaini Arifin memimpin pembacaan janji. Rekam jejak kariernya di PPMI mengantarnya untuk didapuk sebagai ketua panitia Simposium PPIDK Timur Tengah 2021. Pada wisuda 2021, tradisi ini diteruskan oleh Ahsanul Ulil Albab, presiden PPMI saat ini.
Inilah yang saya maksud bahwa para pembaca janji wisuda kebanyakan berasal dari “orang-dalam”, orang yang “dekat” dengan PPMI; presiden dan/atau orang-orang di sekitarnya. Seyogianya, petugas-petugas inti wisuda—tidak hanya pembawa acara—dipilih secara jujur dan terbuka. Terlihat sepele? Jangan begitu. Praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang diwartakan di banyak media juga berangkat dari praktik-praktik kecil, bukan?
Reportase itu juga hanya menyinggung pembaca janji wisuda laki-laki. Bagaimana dengan yang perempuan? Tulisan saya, jika Anda baca secara cermat menyinggung keduanya yang, lagi-lagi, sama-sama berada di lingkaran PPMI.
Kedua, permintaan presiden berupa ketersediaan kursi di barisan depan bersama tamu VIP. Saya sudah mengonfirmasi ulang kepada Fathan Winarto, Koordinator Divisi Acara Wisuda terkait hal ini. Melalui pesan suara WhatsApp ia menyatakan begini:
“… ada telepon dari Pak Pres untuk diskusi permintaan keduanya. Di situ saya menjelaskan tidak dapat dipenuhi karena kursinya sudah penuh. Akhirnya Pak Pres ketika itu mengerti, dan ini sebelum acara ya, sebelum hari H. Ya sudah, akhirnya beliau bilang, ‘Ya sudah lah tidak usah di kursi VIP.’ Jadi, ditelepon itu beliau mengerti.”
Apa yang aneh dari permintaan ini? Apakah sebaiknya seorang presiden duduk di kursi dapur? Secara etis, bukankah sahibulhajat mesti menerima tamunya? Pun kita melihat, bahwa presiden PPMI sebelum Ahsanul Ulil Albab, Farhan Azis Wildani, duduk di barisan VIP saat Wisuda PPMI Mesir 2020.
Ketiga, permintaan untuk dipanggil pertama saat yudisium. Fathan mengakui memang ada permintaan semacam ini, namun ia sendiri tidak mengetahui pasti dari mana datangnya. Demi kejelasan, lagi-lagi saya cantumkan sebagai berikut.
“Sedangkan untuk permintaan ketiga ini, saat diwawancari Informatika, saya itu bilangnya begini:
‘Memang permintaan itu ada. Bahwa dipanggil pertama itu ada. Nah, setelah dijelaskan ke presiden, akhirnya beliau mengerti, permintaan itu tidak jadi.’
Saya bilang begitu kepada Informatika karena dua alasan. Pertama, karena ingatan saya tercampur sama telepon Pak Pres ketika itu, terkait permintaan kedua. Yaitu ketika diwawancara Informatika ingatan saya di telepon untuk membicarakan permintaan ketiga. Makanya saya bilang, bahwa Pak Pres mengerti permintaan ketiga tidak bisa dipenuhi. Nah, setelah berita (Informatika) itu keluar dan terpikirkan, saya baru ingat bahwa ditelepon itu untuk permintaan kedua bukan ketiga. Jadi begitu. ”
Kemudian, Fathan menambahkan alasan kedua terkait kerancuan ini.
“Alasan keduanya, lambat laun permintaan ketiga ini hilang. Jadi pas hari H, kami tidak mengabulkan permintaan ketiga. Saya pikir, ya udah berarti sudah ada yang jelasin ke Pak Pres. Akhirnya permintaan ketiga itu tidak pernah terjadi.”
“Sejujurnya saya baru tahu, kalau permintaan itu bukan dari beliau langsung setelah berita Infor keluar. Selama ini sebelum ada berita Infor, saya kira dari beliau langsung. Ya karena memang efek dari keribetan waktu itu.”
Terakhir, Fathan menegaskan bahwa yang mengganggu kelancaran panitia ialah protokoler tamu VIP.
“… maksud saya dari tiga paragraf terakhir di tulisan Informatika: yang banyak mengatur ulang teknis wisuda adalah protokol tamu VIP. Karena ketika itu Informatika bertanya tentang “Keresahan panitia wisuda yang berkaitan langsung dengan DP PPMI”, makanya saya langsung mengarahkan kepada permintaan khusus itu.”
Dari sini, kiranya jelas bahwa ketiga permintaan ini bukanlah sebab terjadinya kaos di kepanitiaan wisuda, sebagaimana klaim penulis reportase. Terakhir, Fathan menegaskan bahwa yang mengganggu kelancaran panitia ialah protokoler tamu VIP.
Telah jelas kiranya bahwa kegelisahan saya di awal belum terjawab. Di titik ini, saya ingin bertanya kepada penulis laporan itu: apakah kita memiliki kegelisahan yang sama? Saya rasa, tidak. Kita tidak memiliki kesinambungan dalam kegelisahan persoalan wisuda. Saya menyoroti tata laksana wisuda dan kepanitiaan secara umum, sedangkan laporan itu malah bercerita panjang secara tidak perlu. Karenanya, saya, bersama wisudawan lain dengan sabar masih akan menunggu hingga panitia memberikan laporan pertanggungjawabannya.