Sastra Indonesia ala Maman S. Mahayana

Dalam Akar Tradisi Sastra Indonesia; Sebuah Tawaran Pembabakan Sastra Indonesia, saya rasa Maman S. Mahayana gagal dalam mendefinisikan sastra Indonesia. Maman merumuskan sastra Indonesia sebagai sebuah karya sastra yang ditulis dengan bahasa Indonesia oleh warga negara Indonesia yang sah secara hukum. Dengan definisi tersebut, secara tegas Maman menolak sastra daerah sebagai bagian dari sastra Indonesia dan memosisikannya sebagai sastra daerah saja. Sudah barang tentu, tak ada masalah bila ia beropini demikian. Namun, menjadi persoalan ketika ia menganggap klaimnya sebagai pernyataan final.
Simpulan yang terlalu universal tersebut bisa menjadi penyebab retaknya wajah sastra kita. Kemutlakan yang disebutkan oleh Maman, secara tak langsung meluluskan karya yang dianggap sastra menjadi bagian dari khazanah sastra Indonesia begitu saja. Definisi mutlak yang diumbarnya ke publik menjadi semacam lampu hijau, bahwa sesiapa yang menulis puisi, misalnya, dapat mendeklarasikan dirinya sebagai penyair. Kita bisa melihat itu, misalnya, pada karya-karya yang dibukukan sebagai pemenang kompetisi yang terkadang tak memenuhi unsur intrinsik dalam puisi. Ia dianggap sebagai karya sastra secara terpaksa.
Dengan definisi di atas, Maman menolak sastra daerah sebagai bagian dari khazanah sastra Indonesia. Pengerdilan semacam ini menurut saya kurang etis. Kita ingat, beberapa karya-karya besar yang dikenal hari ini pada mulanya juga berbahasa daerah. Sebut saja Buiten Het Gareel. Suwarsih Djojopuspito, di dalam novel ini sedang mewicarai para pemuda; pengobar semangat juang dalam memperoleh kemerdekaan. Dari bahasa Sunda, novel ini diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda. Edisi kedua dalam bahasa Indonesia diterbitkan oleh Djambatan pada 2000 dengan judul Manusia Bebas.
Selain sebagai alat tutur, bahasa daerah juga berperan penting dalam menggambarkan pola pikir masyarakat penutur; apa yang mereka rasa dan kehendaki, serta bagaimana mereka merespons hidup yang tak selalu mudah. Sastra berbahasa daerah, dengan demikian, merupakan cermin terbaik dalam menggambarkan kehidupan penuturnya. Ini merupakan tugas sastra yang, menurut Georg Lukacs, seorang kritikus beraliran Marxis mesti mencerminkan realitas. Sastra mesti mengondisikan sebuah refleksi dari realitas yang lebih besar, lebih lengkap dan lebih hidup. Dengan demikian, novel Suwarsih yang bercerita tentang keadaan Indonesia pada masa penjajahan saat itu, bisa disebut sebagai bagian dari sastra Indonesia. Novel tersebut tak mencerminkan fenomena partikular secara tertutup namun menebarkan spirit kemerdekaaan secara umum. Sehingga, refleksi dari realitas dalam sebuah karya sastra mampu menyala dengan kentara.
Kembali ke pendapat Maman. Dalam membangun argumen penolakan sastra daerah, ia mengutip Undang-Undang negara tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia. Ia melakukan pemetaan sastra Indonesia hanya bermodalkan Undang-Undang saja. Sebagai pembaca, saya merasa aneh saat Maman berusaha menyokong opininya dengan Undang-Undang tersebut. Sejauh pembacaan saya, seorang akademisi sastra, sangat jarang—hampir tidak pernah—mengutip undang-undang negara untuk menunjukkan kredibilitas tulisan miliknya.
Kutipan yang saya maksud dalam Undang-Undang tersebut, ialah kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara. Undang-Undang tersebut hanya memetakan posisi bahasa yang ada di Indonesia sebagai bahasa daerah atau bahasa asing, tidak sampai mengotak-ngotakkan sebagai sastra daerah atau yang lainnya. Maman, meskipun kekeh akan opininya, tidak sadar bahwa pandangannya ganjil. Mengingat, bahasa Melayu yang ia anggap sebagai akar tradisi sastra Indonesia, pada dasarnya juga bahasa daerah. Perlu diingat bahwa, sastra merupakan aktivitas kreatif dalam seni, sebagaimana menurut Rene Wellek dan Austin Warren dalam Theory of Literature (1948). Bahasa hanya dipakai sebagai peranti saja. Oleh karena itu, pemetaan sastra yang dilakukan oleh Maman atas dasar bahasa yang ada pada Undang-Undang tersebut, menurut saya, tidak bisa dijadikan standar pemetaan dalam sastra Indonesia.
Selain Undang-Undang, Maman hanya melempar beberapa pertanyaan retoris yang ia tampilkan sebagai usaha memaksa pembaca untuk mengamini tulisannya. Tidak ada data yang mendukung pertanyaan retoris yang ia buat. Pengambilan sampel dari beberapa karya sastra yang ada di Indonesia termasuk milik Suwarsi di atas, juga bukan ia gunakan digunakan sebagai pendukung opininya, melainkan ia analisis dengan opini miliknya yang ia anggap sudah final.
Maman tidak menyinggung karya sastra Indonesia yang diterjemahkan ke bahasa asing. Sebut saja novel-novel milik Pramoedya Ananta Toer. Bukankah karya milik Pram yang diterjemahkan ke bahasa Inggris, misalnya, akan dikenal sebagai perwajahan dari sastra Indonesia? Manakala Maman membahas sastra terjemahan dari bahasa asing ke bahasa Indonesia, saya kira kurang genap rasanya jika ia tak menyinggung beberapa karya sastra Indonesia yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Saya penasaran, akan ia kategorikan sebagai sastra apa nantinya.