Opini

Menjadi Wasatiyah itu Sulit (?)

Sebelum membicarakan Islam wasatiyah, kita perlu menyepakati satu hal: Islam wasatiyah bukanlah hal baru di kalangan masyarakat Indonesia. Bahkan menurut saya, Islam wasatiyah sudah cukup dikenal, dan menjadi pedoman bagi masyarakat kita dalam menjalani kehidupan beragama. Kita dapat mengenali perwajahan Islam wasatiyah di Indonesia melalui ormas Islam yang berhaluan paham Ahlusunah wal Jamaah. Atau lebih dekat lagi, kita bisa mengenali dari laku sosial para penganutnya.

Namun, ada kalanya suatu ormas menganggap dirinya sebagai bagian dari Ahlusunah wal Jamaah, tetapi sikap dan perilaku yang ditampilkan sama sekali tidak menyuratkan arti kata wasatiyah. Perbedaan antara klaim dan perilaku tersebut disebabkan oleh dua hal: pertama, kesalahanpahaman mengenai makna Ahlusunah wal Jamaah yang semestinya; dan kedua, hilangnya ruh wasatiyah yang seharusnya dibawa.

Pada umumnya, kita mengartikan kata wasatiyah sebagai posisi tengah di antara dua sisi. Tengah yang dimaksud adalah benar-benar posisi yang menengahi dua poros yang saling berlawanan. Pengertian ini juga disampaikan oleh Ibn Mandhur dalam kitab Lisân al-‘Arab. Di sana ia menjelaskan bahwa wasath adalah sesuatu yang berada di antara dua sisi.

Sering juga kita menjadikan QS al-Baqarah ayat 143 sebagai dalil dalam mengartikan kata wasatiyah. Allah SWT berfirman: “Dan yang demikian ini kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat wasath (pertengahan) agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad SAW) menjadi saksi atas perbuatan kalian.”

Namun, menurut saya, ayat ini kurang tepat jika digunakan sebagai dalil untuk menunjukkan makna kata wasatiyah. Sebab, dalam ayat tersebut dituliskan “ummatan wasathan”, yang mana ayat tersebut lebih menjelaskan seberapa adilnya umat Nabi Muhammad SAW dalam memberikan saksi atas suatu perbuatan. Hal ini dikarenakan posisi saksi sudah semestinya harus berada di tengah-tengah agar dapat melihat dari dua sisi secara berimbang. Lain halnya jika ia hanya berada pada satu sisi, maka ia tidak bisa memberikan penilaian secara objektif. Sehingga, akan lebih tepat jika ayat tersebut dikatakan sebagai dalil atas bentuk bagaimana sikap wasatiyah seseorang dalam laku kehidupannya. Ayat ini lebih tepat dianggap sebagai penggambaran bagaimana bersikap wasatiyah.

Secara istilah, Islam wasatiyah bisa diartikan dengan pertengahan sebagai keseimbangan (al-tawâzun), yakni keseimbangan antara dua jalan atau dua arah yang saling berhadapan. Ada pula yang memaknai wasatiyah sebagai al-shirâth al-mustaqîm; jalan yang dapat melahirkan umat yang adil, berilmu, terpilih, memiliki kesempurnan agama, beraklak mulia, berbudi pekerti yang lembut dan beramal saleh.

Yang perlu kita cermati bersama ialah ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa al-wasath tidak dapat terus-menerus diartikan sebagai posisi tengah. Sebab, posisi tengah terlalu sulit untuk digambarkan dalam pola pikir dan laku sosial seseorang. Muhammad Imarah, pemikir Mesir kontemporer juga menjelaskan bahwa posisi tengah dalam wasatiyah kurang tepat jika diartikan sebagaimana pemahaman pada umumnya.

Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa Islam wasatiyah adalah konsep berislam secara pas. Dalam artian, tidak memberatkan satu sisi saja. Lebih lengkap lagi, Islam wasatiyah dapat menjaga sikap melampaui batas (ifrâth) dan dari sikap mengurangi ajaran agama (tafrîth). Islam wasatiyah ibarat sebuah poros tersendiri. Ia adalah penyaringan setiap unsur yang baik dalam dua sisi secara proporsional.

Wasatiyah atau moderatisme pada dasarnya merupakan sebuah sikap dan bukan merupakan suatu pandangan mazhab tertentu dalam Islam. Memang terkadang ia menjelma sebagai sebuah mazhab, seperti disampaikan di atas, misal Asyariyah dalam bidang akidah. Klaim bahwasanya Asyariyah merupakan representasi paham moderat bukan semata-mata karena produk ajaran mazhab tersebut, melainkan sebuah sikap moderat, adil, dan berimbang dalam menggunakan dalil naqli maupun akli secara proporsional untuk menghasilkan produk ajarannya.

Sebagaimana pembahasan mengenai istilah wasatiyah yang cukup rumit, praktiknya juga bukanlah hal yang mudah. Menjadi wasatiyah berarti menjadi bijak. Bagaimana tidak, kita dituntut untuk arif dalam menghadapi segala hal. Tidak condong pada dua poros yang saling berlawanan, namun juga tidak sama sekali lepas dari keduanya. Prinsip adil yang terkandung di dalamnya tidak bermakna pertengahan antara dua poros. Ia lebih cocok dimaknai sebagai ‘proporsional’ yang berarti tepat guna dan selaras dalam menyikapi kedua poros yang saling berseberangan untuk menciptakan poros ketiga sebagai yang terbaik. Atau saya menyebutnya sebagai berislam yang pas.

Untuk menjadi moderat, kita mesti menjauhi titik ekstrem dalam beragama. Hal itu dapat dicapai dengan mengubah cara pandang (paradigma) beragama kita. Agama harus dipahami secara menyeluruh (holistik) dalam dua dimensi, yakni eksoteris dan esoteris. Eksoteris berarti segala hal yang berada di luar esensi agama yang berkaitan dengan dogma, ritual, dan unsur lahiriah agama. Sedangkan esoteris merupakan esensi atau inti sebuah agama, yakni menuju Tuhan.

Kita sering kali terjebak dalam memahami agama. Agama diimani sebatas pada dimensi eksoteris yang pada dasarnya selalu berbeda pada tiap agama. Jangankan pada agama yang berlainan, setiap sekte hingga individu saja bisa berbeda dalam memahaminya. Perbedaan inilah yang menyebabkan lahirnya sebuah kekacauan dan sikap ekstrem dalam beragama. Tersebab ajaran yang bersifat dogmatis pada dimensi eksoteris tiap agama mengandaikan adanya kebenaran sepihak masing-masing agama.

Refleksi agama pada dimensi esoterisnya menjadi penting sebab mengantarkan kita pada sikap moderat dalam beragama. Pada dimensi ini, setiap agama memiliki satu esensi yang sama, yakni menuju Tuhan. Namun, mengakui kesamaan ini tidak berarti membawa kita pada paham pluralisme yang mengarah pada universalitas atau relativitas agama, sebab wasatiyah tetap menjunjung tinggi nilai eksoteris dalam agama yang bersikap dogmatis.

Pengakuan atas kesamaan di atas akan menjadi sebuah kesatuan landasan filosofis. Kesatuan landasan filosofis ini mampu mengantarkan manusia pada ‘mutual-understanding’ yang mana menurut Toshihiko Izutsu adalah jawaban atas kekacuan di dunia modern ini. ‘Mutual-understanding’ mengisyaratkan bahwa klaim kebenaran dogma setiap agama adalah niscaya dan merupakan sebuah hak selama tetap menjunjung tinggi klaim kebenaran oleh yang-lain. Sebab pada kenyataannya, kita semua menuju pada hal yang satu dan sama.

Cara pandang sebagaimana disebut di atas menjadikan agama tidak sebatas pada perintah dan larangan. Agama bukanlah gaya hidup, melainkan jalan hidup. Menjadi Islam wasatiyah berarti menjadi seorang muslim yang menjalankan agamanya secara sempurna. Dimensi ajaran Islam berupa eksoteris dan esoteris dipahami secara proporsional. Kemudian nilai-nilai Islam tidak terlepas dari kehidupan dunianya sehari-hari dan kehidupan dunianya tak lain adalah dalam rangka menegakkan nilai-nilai Islam.

Islam sebagai jalan hidup, bukan gaya hidup juga berarti memfungsikan trilogi dimensi syariat secara seimbang. Iman berarti meyakini Allah SWT dan seluruh titah-Nya. Islam berarti menjalanan seluruh perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Kemudian ihsan berarti berbuat baik kepada siapapun yang tercermin dalam sikap toleran dan peduli kepada sesama. Dengan demikian, menjadikan Islam sebagai jalan hidup adalah menjadi muslim wasatiyah itu sendiri. Membumikan wasatiyah adalah menjadi wasatiyah itu sendiri. Tersebab dunia tidak mengenal Islam bermula dari kitabnya, melainkan bagaimana indah perangai umatnya.

Menjadi wasatiyah memang sulit, namun sederhana. Saya pernah mendengar sebuah video berisi ceramah Gus Baha di YouTube. Beliau menyampaikan prinsip hidup menunggu waktu salat yang saya pikir adalah sebuah jalan sederhana menjadi wasatiyah. Dengannya, pagi hingga malam kita beraktivitas akan bernilai ibadah. Kemudian bersedekah tubuh juga merupakan sarana yang begitu sederhana, yakni dengan menebar kehangatan, senyum, dan salam kepada sesiapa. Sederhana bukan?

Back to top button