Dilema Madrasah Diniyah

Secara garis besar, ada dua model pendidikan yang ada di Indonesia, yakni pesantren dan sekolah formal. Perbedaan mendasar keduanya terletak pada kurikulum pendidikan yang dijalankannya. Pendidikan sekolah formal mengacu pada kurikulum pemerintah, sedangkan pesantren selain menggunakan kurikulum pemerintah ia juga memiliki kurikulum sendiri. Meski kualitas pesantren kini semakin meningkat, tak sedikit dari orang tua menjadikan sekolah formal sebagai pilihan utama pendidikan anak mereka. Alasannya beragam, mulai dari kurikulum pendidikan umum yang lebih menjanjikan, persoalan kebutuhan ijazah di dunia kerja, hingga pilihan mereka untuk mendidik anaknya sendiri di rumah agar mudah terpantau.
Tentunya, persoalan dalam memilih jenis pendidikan beserta tempatnya merupakan hak setiap orang yang tidak dapat dihalangi. Akan tetapi, secara tidak langsung kita melihat, bahwasanya masyarakat di Indonesia tetap memerlukan pendidikan agama. Sedangkan asupan pendidikan agama sendiri dalam kurikulum sekolah formal terblang cukup minim. Dimana semua pengetahuan agama Islam terangkum dalam satu mata pelajaran PAI (Pendidikan Agama Islam) yang dijejalkan setiap dua atau seminggu sekali.
Nah, madrasah, baik yang ada di bawah naungan Kemenag atau swasta, dipandang dapat menjadi solusi dari permasalahan tersebut. Namun kenyatannya, meski ada beberapa madrasah yang menonjol di beberapa daerah, secara umum madrasah juga menjadi pilihan kedua. Mutu pendidikannya masih menjadi alasan utamanya. Pun jika dilihat dari sisi pendidikan agama di sekolah umum, lebih mudah mengatakan kurang dari pada cukup. Mata pelajaran agama seakan masih menjadi suplemen, di samping mata pelajaran umum seperti matematika, biologi, bahasa Indonesia maupun Inggris. Mata pelajaran agama mendapat porsi 30% dan disajikan dalam buku paket atau sekadar LKS (Lembar Kerja Siswa) yang tentunya tak mungkin dapat menampung khazanah keilmuan Islam sekaya kitab-kitab klasik.
Dalam konteks kehidupan modern, tentu tidak realistis jika menuntut sekolah umum agar dapat memberi porsi lebih pada pendidikan agama. Generasi yang melek atau bahkan ahli dalam bidang sains dan teknologi semakin dibutuhkan. Pun sekolah umum yang merupakan turunan tak langsung dari sekolah-sekolah Belanda dan Sekolah Rakyat, pada mulanya memang tidak memeliki orientasi lebih untuk pendidikan agama. Di samping itu, tak adil menuntut madrasah untuk menghadirkan khazanah keilmuan Islam seperti di pesantren. Tentu kita akui, bahwa sekolah formal bukan lah pesantren. Karakteristik, sumber daya dan orientasi keduanya memang berbeda.
Jika melihat sejarah masyarakat Nusantara dan realita saat ini, sebenarnya banyak rupa alternatif pendidikan agama non-formal tersebut. Salah satunya adalah Madrasah Diniyah atau disingkat MD. Dalam pedoman penyelenggaraan Madrasah Diniyah yang dibuat oleh Kemenag, ia merupakan pendidikan keagamaan non-formal yang keberadaannya tumbuh dan berkembang di masyarakat. Dijelaskan juga, bahwa MD adalah pendidikan agama yang bersifat klasikal berprogram. Dalam banyak MD, pelajaran agama masih disajikan dalam literatur Islam klasik.
MD dirasa dapat menjadi salah satu alternatif yang solutif, khususnya bagi siswa di sekolah umum maupun madrasah. Sifatnya yang non-formal membuat MD dapat bergerak fleksibel, baik dalam orientasi, kurikulum, maupun pelaksanaan. Fleksibilitas tersebut tentu dapat menyesuaikan kebutuhan masyarakat sekitar ataupun sumber daya madrasah itu sendiri. Kemudian dalam praktiknya di masyarakat, kegiatan MD berada di luar jam sekolah, yakni sore atau malam hari. Kegiatan madrasah ini tak akan mengganggu kegiatan ataupun mempermasalahkan kurikulum sekolah. Dengan begitu, siswa tetap dapat menikmati khazanah keilmuan Islam klasik sembari menjalani studinya di sekolah formal.
Dilihat dalam sudut pandang bentuk MD, saya rasa cukup bervariasi. Mulai dari pengajian rutin di rumah seorang ahli agama, kelas-kelas keagamaan di masjid atau surau, hingga yayasan pendidikan keagamaan yang terstruktur. Berdasarkan penyelenggaranya, MD dibagi menjadi tiga; (1) MD yang diselenggarakan di dalam pesantren. (2) MD yang diselenggarakan dalam lingkungan pendidikan formal, seperti SD, SMP, atau SMA sederajat. (3) MD yang diselenggarakan oleh sekumpulan orang di masyarakat oleh badan hukum atau yayasan tertentu.
Melihat tipologi di atas, MD berbentuk yayasan terstruktur yang diselenggarakan di luar pesantren dan sekolahlah kiranya perlu dijaga atau bahkan digaungkan lagi eksistensinya di tengah masyarakat. Penyelenggaraannya di dalam lingkungan pendidikan formal akan tetap menjadi kepentingan sekunder dan selain itu hanya akan menambah beban sekolah. Sumber daya, terutama tenaga pengajar dan bahan ajarnya, pun juga belum tentu ada.
Kemudian penyelenggaraan MD di dalam pesantren juga memiliki dilemanya sendiri, meski model ini banyak adanya. Banyak pesantren, khususnya pesantren modern, yang tak membuka MD untuk masyarakat sekitar karena dapat mengganggu kegiatan pesantren. Banyak juga pesantren, khususnya pesantren salaf, yang mempersilakan masyarakat luar untuk ikut dalam berbagai kegiatan pesantren. Santri atau peserta yang mengikuti model kedua ini sering kali diistilahkan sebagai santri kalong.
Namun yang demikian juga tak lepas dari dilema. Sebab tradisi pesantren cenderung unik, jika tak mau memakai istilah eksklusif. Kesenjangan identitas dalam masyarakat yang kini semakin kentara, membuat sebagian orang tak akrab atau bahkan tak cocok dengan tradisi pesantren. Oleh karena itu, perlu adanya wadah pendidikan agama yang memakai tradisi keilmuan pesantren tanpa harus terpaku pada tradisi pesantren secara keseluruhan. Madrasah diniyah di luar pesantren dan sekolah itu lah salah satu bentuknya.
Meski demikian, pesantren masih dirasa perlu berperan dalam penyelenggaraan MD tersebut. Pesantren dapat ikut menggagas penyelenggaraan dengan masyarakat sekitar, menyuplai tenaga pengajar maupun bahan ajar, atau juga membantu pendanaan. Peran pesantren, khususnya saat ini, begitu penting. Sebab, berbeda dengan pesantren dan sekolah, MD sama sekali tak “seksi” jika dipandang dengan kacamata bisnis. Pendiri, pemangku, ataupun kepala yayasan MD tak akan dipanggil sebagai kiai. Selain itu, keberadaan MD di masyarakat perkotaan semakin terkikis oleh merebaknya lembaga atau kultur bimbingan belajar (bimbel). Tentunya, MD bukan lagi tak “seksi” di mata penyelenggara, tapi juga di mata para orang tua.
Menurut Nurzaman (International Journal of Religious Studies), akar eksistensi tradisi MD tak dapat dilepaskan dari pesantren, sebab para pengajarnya memang dari pesantren yang mengaplikasikan model pendidikan pesantren. Maka tak berlebihan jika menyebut MD sebagai sub-kultur dari tradisi pesantren karena perannya dalam meneruskan nilai-nilai pendidikan dan tradisi pesantren kepada masyarakat. Selain itu, MD yang digagas di luar pesantren dapat menjadi salah satu bentuk konkret kontribusi pesantren terhadap masyarakat sekitar. Sebab saat ini sering kali dijumpai pesantren yang memisahkan diri atau bahkan berkonflik dengan masyarakat sekitar.
Walakhir, pendidikan agama tak harus dijejalkan secara paksa dalam kurikulum pendidikan umum. Pun juga tak harus dituntut untuk disajikan secara penuh dalam kurikulum pendidikan madrasah. Jargon seimbang IPTEK dan IMTAQ memang tak dapat dipaksakan dalam semua institusi pendidikan. Di luar komunitas pesantren, terciptanya masyarakat maju nan religius sudah merupakan prestasi. MD adalah salah satu alternatif untuk menjaga atau mewujudkan hal tersebut.