Opini

Penggabungan Agama, Mungkinkah?

Pada 10 November 2021 lalu, di beranda Google saya, muncul sebuah judul berita yang cukup menarik perhatian. Di sana tertulis, Imam Besar al-Azhar Tolak Gagasan Penggabungan Agama. Setelah saya baca isi berita yang diunggah oleh CNN Indonesia tersebut, saya dapati bahwa isu penggabungan agama yang dimaksud adalah agama-agama dalam rumpun Semit; Islam, Kristen dan Yahudi. Berangkat dari berita tersebut, saya melemparkan dua pertanyaan mendasar. Pertama, dari mana gagasan itu bermula? Lalu yang kedua, apa motif dari gagasan itu?

Abrahamisme
Gagasan seputar penggabungan agama ke dalam satu nama, berdasarkan dari kedekatan karakter historisnya. Tentu gagasan ini tidak berlaku kepada semua agama di dunia. Akan tetapi, gagasan ini hanya mengacu pada agama-agama Semit atau Abrahamisme saja. Pemilihan nama Abrahamisme, dikarenakan ketiga agama tersebut memiliki klaim sebagai penerus agama Nabi Ibrahim AS beserta keturunanya.

Paham ini mulai populer di kalangan masyarakat sekita pada tahun 1979, ketika lembaga American Academy of Religion (ARR) mengadakan sebuah konferensi di New York. Konferensi tersebut dihadiri para ilmuwan dari kalangan Islam, Kristen dan Yahudi. Dimana mereka berdialog mengenai beragam persoalan agama. Berangkat dari konferensi tersebut, merebaklah berbagai pemikiran supaya agama-agama Semitik dapat didudukkan bersama. Mengingat ketiganya memiliki keterkaitan dalam berbagai aspek, mulai dari historis hingga ideologis. Sampai saat ini, penganut teori Abrahamisme masih menyebar di berbagai belahan dunia. Bahkan akhir-akhir ini, teori tersebut cukup ramai diperbincangkan di kalangan publik.

Pada dasarnya, pemikiran seputar penggabungan agama Semitik telah muncul jauh sebelum adanya konferensi 1979 tersebut. Di antara yang pernah menggagasnya ialah Fritjof Schuon, seorang filsuf sekaligus metafisikawan berkebangsaan Swedia. Dalam buku fenomenalnya, The Transcendent Unity of Religion, ia menyatakan bahwa setiap agama memiliki dua dimensi, eksoterik dan esoterik. Dimensi eksoterik menurut pandangan Schuon adalah hal eksternal dalam suatu agama, seperti dogma, hukum, ritual, etika dan norma. Dimensi tersebut merupkan ranah eksklusif suatu agama yang pasti berbeda antara satu agama dengan yang lainnya.

Selanjutnya, dimensi esoterik. Dimana dalam gagasannya, Schuon mengatakan bahwa dimensi ini merupakan inti dari agama itu sendiri. Yakni ranah spiritual untuk menuju kepada Dia Yang Abadi, atau bisa disebut Tuhan. Ia juga mengatakan bahwa dimensi tersebut merupakan sebuah nilai yang universal, tersebab setiap agama tentu memiliki sentral dan tujuan yang sama, yaitu Tuhan. Pada ranah esoteris inilah menurut Schuon, mungkinnya beberapa agama untuk bersatu, terlebih pada agama-agama Abrahamik, seperti Islam, Kristen dan Yahudi, yang sama-sama dikenal sebagai agama monoteis (meyakini Tuhan Yang Esa).

Di lain sisi, aspek eksoteris agama seperti dogma, hukum, ritual dan sebagainya, yang sifatnya eksklusif, dinilai sering menjadi penyebab konflik antaragama. Sebut saja Perang Salib, invasi Israel terhadap Palestina dan masih banyak lagi. Sehingga, di antara tujuan para pengusung paham Abrahamisme adalah untuk menghilangkan beragam konflik antara ketiga agama dengan penganut terbanyak di dunia saat ini.

Kritik
Meskipun demikian, beberapa gagasan tersebut menurut saya masih memiliki berbagai problematika. Penggunaan nama Abrahamisme atau Nabi Ibrahim AS pun sejatinya merupakan sebuah masalah. Meskipun secara historis kita mengamini bahwa ketiga agama tersebut berasal dari ajaran Nabi Ibrahim AS beserta keturunannya, namun figur Nabi Ibrahim versi Islam berbeda dengan Abraham-nya orang Kristen, begitu pun dengan yang ada pada ajaran Yahudi. Mun’im Sirry, profesor teologi Universitas Notre Dame, mengatakan bahwa figur Abraham seolah telah mengalami Islamisasi, Kristenisasi dan Yahudisasi. Menurutnya, hal ini lantas membuat upaya mendialogkan ketiganya melalui sosok Abraham adalah hal yang mustahil.

Kemudian, pemikiran Fritjhof Schuon mengenai kemungkinan penyatuan Islam, Kristen dan Yahudi melalui dimensi esoteris atau sisi monoteistik ketiganya, saya rasa juga masih cukup rancu. Karena jika kita tengok lagi praktik agama Yahudi, banyak pengaruh paganisme di dalamnya yang mengakibatkan mereka masih percaya pada Dewa-Dewi. Kondisi ini tentu menyalahi paham monoteisme. Bahkan Yahweh yang dikenal sebagai Tuhan Esa mereka, ternyata masih berupa praduga tanpa dikuatkan sumber yang jelas. Kira-kira begitulah yang diungkapkan Will Durant, seorang ahli sejarah agama.

Ajaran Kristen pun demikian. Konsep Trinitas secara tidak langsung juga bertentangan dengan konsep monoteisme itu sendiri. Bisa dibilang, agama Islamlah yang masih menjaga kemonoteisannya dibanding dua pendahulunya. Meski begitu, konsep ketuhanan Islam sejatinya adalah tauhid, yang berbeda dengan monoteisme. Sehingga, untuk mencari titik temu berupa Tuhan yang sama, sebagai pondasi Abrahamisme di antara ketiga agama tersebut, saya rasa juga merupakan upaya yang sia-sia. Karena untuk satu konsep ketuhanan dari ketiga agama tersebut terdapat jurang perbedaan.

Paham Abrahamisme yang juga dikatakan sebagai jalan untuk menghilangkan konflik antaragama, pun saya kira merupakan sebuah anggapan yang tidak dapat diamini. Karena hal ini pada akhirnya menyalahi keyakinan masing-masing dari ketiga agama tersebut. Saya ambil misal dari perspektif Islam. Di dalam Islam, kita mengenal konsep maqâshid syarîah. Menurut al-Syathibi dalam bukunya al-Muwâfaqât, ketika ada pertentangan antara beberapa maslahat, semisal antara menjaga jiwa (hifdz al-nafs) –dalam hal ini, seperti menghindari konflik- atau menjaga agama (hifdz al-dîn), maka yang diprioritaskan adalah menjaga agama. Karena posisi hifdz al-dîn dalam hierarki maqâshid, adalah yang tertinggi.

Sehingga, paham Abrahamisme yang berpotensi merusak kemurnian agama Islam, bagi umat muslim bukanlah sebuah solusi untuk menghilangkan konflik antaragama. Bahkan saya yakin, baik dari perspektif ajaran Kristen maupun Yahudi, gagasan tersebut juga bertentangan dengan keyakinan mereka.

Tentu, ada cara lain yang dapat diupayakan guna meminimalisir konflik antaragama tersebut, yaitu dialog-antar agama. Dialog semacam ini telah digalakkan oleh Grand Imam al-Azhar, Syekh Ahmad Thayyib, bersama para pemuka agama lainnya. Laku-laku positif ini tentu tidaklah asing dalam agama Islam, yang justru saat ini sering tidak mendapatkan ruang. Malah yang terjadi hari ini mengambil jalan pintas, yaitu adanya penggabungan agama Semit, yang justru hemat saya hanya menambah porsi kerancuan.

Saya sependapat dengan Syekh Ahmad Thayyib terkait hal ini. Beliau menjelaskan, “Berdasarkan keyakinan agama surgawi kami, kami percaya bahwa manusia tidak akan setuju pada satu agama. Mengingat perbedaan dalam masyarakat, baik warna kulit, keyakinan, pikiran, bahasa dan bahkan sidik jari, semuanya adalah fakta historis dan ilmiah. Dan sebelumnya, fakta ini sudah dikonfirmasi melalui al-Quran.”

Meskipun dialog bukan solusi praktis atas konflik antarumat beragama, namun saya rasa hal ini dapat menjadi langkah positif untuk saling memahami dan menghormati antar-keyakinan agama lain. Karena dengan saling memahami, kita akan menyadari bahwa semua agama pada hakikatnya membawa pesan-pesan perdamaian di muka bumi. Tentunya, hal ini yang perlu disadari oleh para pemeluk agama dalam membaca ayat-ayat Tuhannya.

Back to top button