Diskursus Akhlak; Perbincangan antara Agama dan Filsafat

Tulisan: Prof. Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq
Penerjemah: Muhammad Reza Pahlevi Mufarid
Ketika kita ingin membicarakan diskursus akhlak melalui kacamata filsafat, maka kita harus membatasi hubungannya dengan etika agamawi. Jika kita telah mengetahui bahwa tujuan akhlak adalah berperilaku baik di hadapan manusia dengan berpegang pada nilai-nilai dan prinsip moral, maka kita dapat mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara dua sisi tersebut dalam segi tujuan. Akan tetapi, metode yang digunakan untuk sampai pada sebuah tujuan itu tentu berbeda-beda.
Etika agama berpegang pada wahyu, maka titik awal munculnya adalah agama; baik Kristen, Yahudi maupun Islam. Agama telah meletakkan prinsip-prinsip moral yang harus dimiliki oleh seorang mukmin agar menjadi insan kamil. Oleh karena itu, etika agamawi tidak membutuhkan pembahasan ilmiah mengenai kebaikan dan keburukan. Sedangkan etika filosofis berpegang pada akal, maka ia berusaha untuk menganalisis perkembangan moral dan landasan-landasan teori filsafatnya.
Berbagai permasalahan utama yang dibahas filsafat mengenai moral meliputi substansi dari kebaikan, kejahatan, landasan teori, serta hubungan keduanya dengan etika dan sebuah kebahagiaan. Dalam metodenya, filsafat menunjukkan adanya implikasi perbuatan manusia dengan tujuan dan kondisi tertentu. Di sisi lain, pada dasarnya manusia mengetahui perbedaan antara baik dan buruk. Maka, ia juga tahu bagian mana yang harus ia kerjakan dan tinggalkan. Berdasarkan hal ini, dapat diketahui bahwa manusia memiliki kesadaran yang kuat terhadap perilakunya dari segi etika.
Jika dipahami dengan benar, etika filosofis tidak memiliki kontradiksi dengan etika-etika yang dibangun atas dasar agama. Filsafat juga memandang agama sebagai landasan pembentuk moral. Akan tetapi, filsafat tidak menjadikan hal ini sebagai pokok pembahasannya. Maka, salah jika menganggap etika agamawi tidak memilik andil dalam pembentukan etika filosofis.
Setelah mengetahui bahwa etika filosofis tidak bertentangan dengan etika agamawi, berdasarkan hal itu kita dapat melangkah kepada pokok pembahasan, yaitu hubungan antara agama dan filsafat, atau antara akal dan wahyu. Dalam pembahasan ini, kami tidak bermaksud membahas agama atau filsafat satu per satu, melainkan akan fokus pada asal mula keduanya.
Akal—alat bagi filsafat dengan seluruh cabang-cabangnya—adalah anugerah istimewa dari Allah SWT untuk manusia yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya. Begitu juga wahyu, ia bersumber dari Allah SWT sebagai petunjuk bagi manusia di dunia dan akhirat. Jika keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah SWT, maka tidak ada pertentangan antara wahyu dan akal. Keduanya saling melengkapi dan membutuhkan satu sama lain. Karena akal dan naqal berjalan beriringan di dalam al-Quran. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT, “Wa qâlû lau kunnâ nasma’u au na’qilu mâ kunnâ fî ashhâb as-Sa’îr”.
Pada akhirnya, keduanya dikembalikan kepada Allah SWT. Dengan begitu, kita tidak bisa menganggap bahwa sumber akal dan wahyu itu berbeda. Imam al-Ghazali di dalam Ma’ârij al-Quds mengatakan, bahwa antara akal dan wahyu memiliki hubungan yang saling bersinergi dan bekerja sama. Artinya, akal dapat menunjukkan kepada sebuah hukum. Sedangkan hukum hanya dapat dijelaskan oleh akal. Dalam hal ini, akal sebagai pondasi dan hukum sebagai bangunannya. Pondasi tidak akan dibutuhkan jika tidak ada bangunan. Begitupun bangunan, tidak akan berdiri jika tidak memiliki pondasi. Dengan demikian, hukum adalah sebuah akal yang dibangun dari luar, sedangkan akal adalah hukum yang dibangun dari dalam. Keduanya saling bersinergi, bahkan terikat satu sama lain. Allah SWT berfirman, “nûr ‘alâ nûr”, yang berarti cahaya akal dan cahaya hukum.
Berdasarkan hal tersebut, tidak ada kontradiksi antara ilmu-ilmu agama dan mentalitas menurut Imam al-Ghazali. Menunjukkan sebuah kebodohan jika ada seseorang yang masih meyakini ilmu agama dan mentalitas tidak memiliki implikasi. Maka, Imam al-Ghazali mengatakan, seseorang yang masih mengerdilkan pikirannya terhadap taklid secara mutlak adalah orang bodoh, sedangkan seseorang yang hanya menggunakan akalnya tanpa berpegang pada al-Quran dan sunah adalah orang yang tertipu. Dengan begitu, telah jelas bahwa akal dan agama selalu berjalan beriringan dalam membentuk kebaikan dan kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun akhirat.
Adapun permasalahan antara akal dan agama adalah konflik yang muncul di Eropa disebabkan oleh sebuah situasi tertentu yang tidak ada hubunganya dengan Islam. Kontroversi yang berkembang di Eropa mengenai hal tersebut juga tidak ada hubungannya dengan umat Islam. Karena hal ini merupakan perdebatan yang tidak pernah ada dalam perkara agama Islam.
Kemudian, setelah mengetahui hubungan antara etika filosofis dan agamawi, muncul sebuah pertanyaan tentang sejauh mana kebutuhan umat Islam dalam membahas moral-filosofis dengan adanya undang-undang agama?
Definisi dan Objek Diskursus Akhlak
Sebelum mengetahui pengertian dan definisi diskursus akhlak, kita harus memperhatikan bahwa manusia dalam kehidupannya tidak hanya sekadar penonton, tetapi juga pelaku. Hal ini lantaran mereka juga berpikir dan memberikan penilaian terhadap setiap perbuatan, mencakup yang baik, buruk, bermanfaat dan merugikan. Dari situ kita tahu bahwa manusia tidak dapat dilepaskan dari perkara moral, karena moral merupakan perkara yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan.
Dalam kehidupan sehari-hari, kebutuhan terhadap hal ini membuat manusia terus menerus berpikir dan memutuskan tentang mana sesuatu yang harus ia lakukan dan tinggalkan. Oleh karena itu, keputusan tersebut harus sesuai dengan dasar perilaku dan kriteria penilaian orang lain. Hal ini juga merupakan perkara yang sering kita lakukan. Lebih dari itu, semua manusia akan terus berusaha menggapai tujuan-tujuan tertentu dalam hidupnya. Ini semua mendorong manusia untuk terus bertanya-tanya tentang makna kebaikan dan keburukan. Apakah penilaian moral seseorang itu memiliki batasan tertentu? Lalu, bagaimana seyogianya manusia membentuk hidupnya? Bagaimana perilaku yang harus ia lakukan terhadap orang lain? Lantas, apa sebenarnya tujuannya melakukan tindakan bermoral? Alasan apa yang mendorongnya harus melakukan tindakan tersebut?
Berangkat dari berbagai pertanyaan di atas, dapat diketahui bahwa diskursus akhlak adalah pengetahuan yang menjelaskan tentang kehidupan moral serta membantu kita untuk mengetahui tujuan kehidupan Dengan kata lain, ia adalah pengetahuan yang menginterpretasikan makna kebaikan dan keburukan serta hal-hal yang perlu dilakukan oleh seseorang ketika berhubungan dengan orang lain.
Adapun objek dari diskursus akhlak adalah segala pembahasan yang berhubungan dengan hal-hal di atas. Di sisi lain, pembahasan diskursus akhlak melingkupi dua sisi yang berbeda; etika praktis dan etika teoritis.
Pertama, etika praktis membahas berbagai macam kemampuan yang harus dimiliki dan dilakukan manusia dalam kehidupan sehari-harinya. Kemampuan tersebut meliputi jujur, ikhlas, amanah, setia, pemaaf, pemberani, adil, dan penyayang. Dari dulu hingga sekarang, hal-hal tersebut telah banyak diketahui oleh masyarakat sebagai etika praktis.
Kedua, etika teoritis membahas berbagai landasan umum, dari sini dapat digali sub pembahasan; seperti pembahasan tentang hakikat kebaikan dan gagasannya, sumber hal-hal yang positif, dan tujuan setiap perbuatan. Bagian ini juga bisa disebut sebagai filsafat moral. Ia juga memiliki hubungan dengan etika praktis sebagaimana hubungan ilmu usul fikih dengan fikih. Akan tetapi, objek kajiannya bukan perilaku manusia dalam kesehariannya, melainkan suatu pembahasan yang dianggap sebagai sarana untuk mencapai segala tujuan kebaikan dan kebajikan universal secara mutlak.