Terjemah

Menyeimbangkan Ibadah dan Pekerjaan di Bulan Ramadan*

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan Semesta Alam. Shalawat dan salam kepada Baginda Rasulullah SAW, keluarga, Sahabat-sahabat dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga hari kiamat.

Islam adalah agama yang mengajarkan keseimbangan, baik itu keseimbangan antara materi dan ruh, maupun keseimbangan antara dunia dan akhirat. Bahkan umat muslim sendiri oleh Allah SWT disebut sebagai umat pertengahan (wasathan). Dalam surah al-Baqarah ayat 143, Allah berfirman, “Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu (umat Islam) “umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia…” Selain firman Allah SWT tersebut, tidak sedikit Hadits Nabi SAW yang mengajarkan kita bahwa perkara yang paling baik adalah yang berada di tengah-tengah.

Dari sana juga, kita dapat mengambil sebuah pelajaran penting bahwa Islam -dengan keseimbangan antara dunia dan akhiratnya- tidak pernah sekali pun mensyariatkan perkara maupun ibadah yang menentang manusia untuk menggapai kemaslahatan duniawinya. Justru di antara tujuan ibadah adalah sebagai upaya umat muslim untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Yang juga merupakan perantara memperoleh kebahagiaan, tidak hanya di akhirat, namun juga di dunia.

Hal ini dapat kita lihat dari kisah masyhur salah satu Sahabat Nabi SAW, Abu Umamah al-Bahili RA. Suatu ketika, Rasulullah menjumpai sahabat tersebut cukup lama berdiam diri di masjid. Lantas, beliau menanyainya, “Hai, Abu Umamah, aku melihatmu duduk di masjid di luar waktu shalat. Apa yang sedang terjadi?” Abu Umamah menjawab, “Yang membuatku seperti ini adalah kebingungan dan utang-utangku wahai Rasulallah.” Lalu Rasulullah mengajarkan sebuah doa yang dengan membacanya, Allah akan menghapus kebingungan dan memberinya kemampuan untuk melunasi utang.

Setelah rutin mengamalkan doa tersebut, Abu Umamah mengatakan bahwa Allah SWT benar-benar menghapuskan kebingungannya dan memeberinya kemampuan untuk melunasi utang. Dari kisah tersebut, kita dapat mengambil makna tersirat bahwa sering kali, ibadah-ibadah rohani mendukung suatu pekerjaan yang sifatnya duniawi, dalam hal ini pekerjaaan yang berorientasi kemaslahatan untuk manusia.

Terkait aktivitas bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, al-Quran cukup sering menyebutkan posisinya berdampingan dengan ibadah rohani. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Tuhamu mengetahui bahwasannya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam atau seperdua malam atau sepertiganya…” hingga lafal, “Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan yang lain berjalan di bumi mencari sebagian karunia Allah…” (QS al-Muzzammil: 20). Di ayat lain, Allah SWT juga berfirman, “Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.” (QS al-Jumu’ah: 10).

Terlihat jelas, bagaimana Islam sangat memperhatikan perihal pekerjaan bagi umatnya. Islam juga selalu memotivasi umatnya untuk giat bekerja. Karena pekerjaan adalah sesuatu yang tidak mungkin dilepaskan dari kehidupan seseorang. Dengan bekerja, manusia mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Dengan bekerja pula, manusia dapat memperoleh karunia Allah SWT di dunia. Bahkan, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pekerjaan seseorang yang ia lakukan untuk kepentingan masyarakat atau demi menafkahi keluarga, memiliki kedudukan yang setara dalam pandangan Islam seperti ibadah-ibadah rohani lainnya.

Lalu bagaimana dengan seseorang yang berpuasa namun ia bermalas-malasan? Lantas ia berpendapat bahwa karena berpuasa, ia menjadi lemah untuk bekerja. Orang-orang seperti itu adalah golongan orang yang mencederai perwajahan Islam. Mereka tidak mengetahui hakikat ibadah. Karena sebenarnya, ibadah rohani seperti puasa, tidaklah melemahkan badan. Hal ini dapat kita lihat dari fakta sejarah dimana tidak sedikit peristiwa-peristiwa besar yang dilalui umat Islam pada bulan Ramadan. Banyak perang dan penaklukan (futûhât) yang dilakukan umat Islam justru terjadi pada bulan ini. Maka, tidak ada alasan jika ibadah puasa merupakan penghalang seseorang untuk bekerja.

Terakhir, Rasulullah pernah menjelaskan bahwa puasa adalah perisai. Lantas apa yang dimaksud dengan pernyataan bahwa puasa ialah perisai? Artinya, bahwa ibadah puasa merupakan pelindung seseorang agar ia menjadi pribadi sang lebih berakhlak mulia. Dan di antara bentuk perilaku yang mulia tersebut ialah meninggalkan sifat malas.

Dikisahkan suatu hari, sahabat Umar bin Khattab menjumpai seorang laki-laki yang beribadah seharian di masjid. Lantas sahabat Umar bin Khattab bertanya, “Siapa yang menafkahimu?” Ia menjawab, “Saudaraku.” Umar bin Khattab menimpali, “Saudaramu lebih baik daripada kamu.” Dari beberapa pelajaran tadi, semoga ibadah puasa kita dapat menjadi ibadah yang berkualitas. Dalam artian, ibadah puasa tidak menjadi penghalang bagi kita untuk tetap menjalankan pekerjaan sehari-hari dengan maksimal. Wallâhu a’lam.

*Khutbah Syekh Abdul Fattah al-‘Awari di laman Facebook Jaridah Shaut al-Azhar.

Back to top button