Keluputan Orientalis Perihal Akidah Islam

Oleh: Dr. Abdul Mun’im Fuad dalam Majalah al-Azhar Edisi Rabiul Awwal 1437 H
Penerjemah: Hafez Al Asad Hasibuan
Salah satu dari sekian banyaknya tuduhan yang dilontarkan sarjana Barat mengenai Islam, bahwasanya “Islam bukanlah agama Sawami, ia hanya sekedar produk pikiran Muhammad saja.” Klaim ini yang kerap kali disebarluaskan oleh para orientalis kepada khalayak umum di Barat. Mendistorsi pokok-pokok ajaran Islam lalu menjadikannya konsumsi publik dengan tujuan tertentu. Padahal, sudah jelas bahwa rukun keimanan dalam Islam ada enam; iman kepada Allah SWT, malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari akhir dan beriman pada takdir baik atau buruk. Keenam pokok ini yang akan bercabang pada semua hal yang mesti diyakini seorang muslim, baik itu perkara gaib ataupun lainnya.
Keenam pokok keimanan di atas banyak termaktub di al-Quran maupun Hadits Nabi SAW. Misalnya pada QS. al-Baqarah 285 dan QS. al-Baqarah 177. Adapun yang tertera dalam Hadits Nabi SAW di antaranya diriwayatkan dari Abu Hurairah. Dalam Hadits tersebut dijelaskan, bahwa Jibril AS menanyakan perihal iman kepada Nabi SAW. Lalu Nabi SAW menjawabnya dengan keenam pokok keimanan yang sudah termaktub di muka. Pokok keimanan tersebut yang membangun keimanan seorang mukmin dalam Islam. Manakala ada keraguan pada salah satu rukun saja, hal tersebut menampakkan kecacatan iman, walau tidak sampai menafikannya sekalipun. Bangunan keimanan ini yang sedang berusaha diruntuhkan oleh para orientalis dengan cara menebar pelbagai fitnah pada akidah Islam. Berikut beberapa fitnah-fitnah orientalis barat terhadap Islam.
Pertama, ungkapan William Montgomery Watt mengenai akidah Islam. Ia berpendapat, bahwasanya akidah Islam merupakan produk budaya dan perwujudan dari kreasi manusia. Kedua, dalam buku Encyclopaedia Islamica, Mcdonald dalam artikelnya yang berjudul Allah sebagai Wujud Tertinggi Menurut Orang-orang Islam mengungkapkan, “Tidak perlu diragukan lagi, orang-orang Arab di masa lampau (sebelum Muhammad) menamai Tuhan mereka dengan Allah…… mereka mengakui Allah sebagai Tuhan mereka dan bersumpah dengan nama-Nya. Bukan hal yang mudah untuk mencari perbedaan antara pemikiran orang Arab dan penafsiran Muhammad mengenai hal tersebut.”
Dalam hal ini, secara tidak langsung Mcdonald juga punya anggapan yang sama dengan Watt mengenai hal ini, bahwasanya budaya setempat mencampuri akidah Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW pada saat itu.
Ketiga, Watt dengan polosnya menyatakan bahwa akidah yang dibawa Nabi SAW merupakan tiruan dari keyakinan orang Arab jahiliyah. Ia berdalih dengan peristiwa ayat-ayat setan yang disebutkan al-Thabari dalam kitabnya, Tarikh al-Thabari. Dalam hal ini, Watt tidak menerangkan soal fitnah yang terjadi dalam peristiwa tersebut.
Keempat, Carl Brockelman mengutarakan, “Muhammad, pada tahun pertama diutusnya mengakui ketiga tuhan yang ada di Ka’bah. Tuhan-tuhan yang diakui oleh masyarakat sekitar sebagai anak-anak Tuhan.” Kelima, orientalis juga menuduh Nabi SAW hanya menyalin pikiran-pikiran masyarakat yang berada disekitarnya untuk menyusun keyakinannya sendiri mengenai Allah SWT. Sifat-sifat yang disandarkan pada-Nya juga tidak akurat secara bangunan logis.
Masih dalam buku Encyclopaedia Islamica, salah satu orientalis berujar, “Apa yang dibawa oleh Muhammad SAW mengenai sifat-sifat Allah yang berkali-kali disebutkan di al-Quran menguraikan tentang hakikat Tuhannya Muhammad. Hanya saja, idiom tersebut kacau dan kontradiktif. Adapun yang saya maksud ialah mengenai nama-nama Allah merupakan perpaduan yang aneh antara sesuatu yang berwujud sekaligus metafisik.”
Masih banyak tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh para orientalis yang lain, hanya saja ulasan mengenai hal tersebut akan dilanjutkan dalam tulisan berikutnya-jika Allah SWTmenghendaki-. Penulis khawatir tulisan ini terlalu panjang untuk dibaca nantinya.
Adapun kesimpulan penulis mengenai tuduhan-tuduhan di atas, ada dua hal yang dilewatkan oleh para orientalis dalam mengkaji akidah Islam. Satu, metodologi yang dipakai oleh para orientalis untuk menruntuhkan bangunan keyakinan orang-orang Islam, tudingan perihal Islam merupakan agama ardiyah (ciptaan manusia) bukan agama samawi, serta tuduhan bahwa akidah Islam merupakan produk kebudayaan. Dua, dalil yang digunakan oleh orientalis mengacu pada orang-orang musyrik serta istidlal yang mereka lakukan dengan peristiwa ayat-ayat setan.
Kritik Metodologi
Beberapa orientalis memakai metode para sosiolog arat dalam mengkaji akidah Islam. Metodologi tersebut pada umumnya dipakai untuk meneliti asal-usul paganisme dan agama yang tersebar di Afrika. Salah satu sosiolog yang menulis tentang hal ini ialah John Mbiti, ia mengungkapkan, bahwa paganisme berkembang karena adanya kontak langsung dari penduduk setempat dengan lingkungan dan kondisi sosial yang ada. Tidak ada yang tahu siapa yang pertama kali membangun kepercayaan paganisme tersebut. Perkembangannya merupakan sebuah keniscayaan sebab adanya kontak langsung dengan gurun, gunung-gunung dan fenomena alam yang lain. Hal-hal seperti perang dan masa paceklik juga turut andil dalam membentuk kepercayaan paganisme.
Masih dengan masalah yang sama, Montgomery Watt mengungkapkan bahwa peristiwa sejarah tidak akan bisa lepas dengan proses terbentuknya sebuah agama. Teori kognitif sosial meyakini bahwa, semua pemikiran mengenai keyakinan sebuah agama maupun pemikiran filsafat lahir dari otoritas politik atau kondisi sosial. Dalam hal ini Scooby, mengamini metode ini, hal tersebut dapat dipahami dari ungkapannya, “Ada beberapa kajian yang menyatakan bahwa kondisi sosial dapat memiliki pengaruh dalam kepercayaan sebuah agama. Studi tersebut tidak hanya terbatas pada ajaran paganisme saja, namun sudah dipakai untuk mengkaji agama samawi, seperti Yahudi dan Nasrani.”
Metode ini mengacu pada hal-hal yang bersifat material saja, hal tersebut dapat dipahami dari kajian-kajiannya mengenai agama sangat erat kaitannya dengan fakta-fakta dan insiden sejarah. Sah-sah saja jika metode tersebut diterapkan secara menyeluruh pada paganisme, atau dipakai sebagiannya saja untuk mengkaji agama Samawi yang agak menyeleweng. Hanya saja, penerapannya akan tidak terpakai untuk mengkaji akidah Islam. Mengapa? Karena Islam masih memiliki dua acuan yang menjadi sumber ajarannya, keduanya masih otentik dan terjaga dari manipulasi manusia. Pertama, al-Quran yang sudah terjamin keotentikannya langsung oleh Allah SWT, jaminan ini ada pada QS. al-Hajr 9. Kedua, Hadis Nabi SAW yang masih dijaga kredibilitasnya oleh para ulama sejak lampau hingga kini.
Para pakar Hadis yang dianugerahi kemampuan menghafal berusaha menjaga keaslian hadis dari campur tangan orang-orang yang punya maksud tertentu. Tradisi keilmuan seperti ilmu hadis ini yang tidak ditemukan di ajaran pagan, lebih-lebih para Ahlul kitab yang sudah lebih dulu memalsukan kitab-kitab yang diturunkan oleh tuhan. Dengan ini, tidak diragukan lagi bahwa ajaran mereka sudah ada campur tangan orang-orang selain tuhan. Oleh karena itu, bukan sesuatu yang mengherankan jika metode para sosiolog yang diterapkan pada keyakinan mereka dapat diterima sebagian oleh akal. Lain cerita jika berbicara soal Islam, dalam hal ini, sisi ketuhanan merupakan sesuatu yang mutlak dan tak bisa dipisahkan. Melepaskannya bukanlah sesuatu yang benar, sebagaimana klaim yang dituduhkan pada kepercayaan orang-orang Islam. Sebab perbedaannya dengan ajaran yang lain sudah jelas, akidah yang dianut orang-orang islam pula tidak ada syubhat padanya.
Ajaran islam tidak mengajak manusia untuk menyembah manusia, bukan pula batu apalagi pepohonan. Ajaranya mengajak manusia untuk tunduk pada pencipta alam semesta dan mengabarkan bahwa ada sebuah perantara antara manusia dan tuhannya berupa doa, QS Ghafir 60. Lalu, di mana titik persamaannya dengan ajaran-ajaran yang lain? dan bagaimana bisa metodologi ciptaan manusia diterapkan untuk ajaran Tuhan yang maha tinggi?
Korelasi metodologi dengan peristiwa-peristiwa sejarah, kemudian menjadikannya bagian yang membentuk ajaran Islam merupakan sikap yang sama sekali tidak objektif. Dengan ini, condongnya para orientalis mengenai hal tersebut agaknya mengherankan. Karena dengan penerapnnya, metode tersebut pada ajaran Islam akan menggugurkan konsep gaib, seperti wahyu tuhan secara mutlak.
Para Orientralis tersebut memiliki kesimpulan bahwa sesuatu yang tidak terlihat merupakan sesuatu yang tidak ada. Padahal, berapa banyak sesuatu yang tidak terlihat secara kasat mata namun sejatinya eksistensinya ada. Sebut saja ruh yang menjadi sebab tergeraknya badan, apakah mereka dapat melihatnya? Tentu saja tidak. Apa mereka dapat menafikan keberadaanya? Pada dasarnya, tentu tidak. Ada lagi akal yang menyatakan bahwa manusia merupakan makhluk yang dapat berpikir, apakah mereka dapat menolak keberadaan akal? Atas dasar bangunan berpikir yang seperti itu, apakah mereka dapat menghukumi seluruh manusia adalah makhluk yang tidak bisa berpikir hanya karena tidak mampu melihat akalnya?
Metodologi ini sebenarnya menjadi perdebatan di kalangan sosiolog, khusunya di Barat sendiri. Sebut saja Evan Pritcherd, seorang pakar sosiologi berkebangsaan Inggris menyatakan bahwa penelitian yang dilakukan dengan metode tersebut merupakan sebuah gerakan ateisme dan sebuah usaha untuk menafikan keberadaan agama Samawi. Maryam Jamilah, seorang orientalis Amerika pun mengamini hal tersebut. Edward Said dalam galeri miliknya menuliskan, “Metodologi ini (di muka) dan kajiannya mengenai Islam merupakan kajian yang tidak mendalam dan punya kepentingan tertentu.”
Berangkat dari pembahasan di atas, untuk semua orang-orang Islam tidak perlu ambil pusing mengenai hal ini, cukup tetap berpegang teguh dengan apa yang diturunkan Allah SWT. Sama sekali tidak ada campuran dari lingkungan dan kondisi sosial dalam akidah Islam seperti tuduhan yang dilontarkan oleh para orientalis. Nabi Muhammad SAW yang menyampaikan maksud dari Tuhan kita semua. Kita diperintah untuk tetap berpegang teguh dengan wahyu ilahi. Ada jaminan untuk tidak akan tersesat bila manusia teguh dengan pendirianya.