Menyegarkan Kembali Pembacaan Khazanah Intelektual Islam

Sering kita dengar di era saat ini, bahwa Islam dikesankan sebagai agama yang tertinggal, atau agama yang kolot dan tidak bisa relevan dengan perubahan zaman. Atau juga klaim sebagian pihak yang menganggap Islam sebagai agama yang teralienasi dari perkembangan dunia modern. Sebagian cendekiawan muslim pun mengimani hal tersebut, salah satunya Muhammad Abduh, seorang reformis berkebangsaan Mesir, ia tidak segan mengatakan, “Al-Islam mahjubun bi al-Muslimin, (progresifitas) Islam terhalang oleh (oknum) kaum muslim.” Hal ini bisa kita asumsikan dalam satu dekade terakhir, bahwa cendekiawan dan peneliti muslim belum berhasil menelurkan penemuan-penemuan mutakhir yang bisa berkontribusi untuk perkembangan dunia.
Sebenarnya, cukup banyak cendekiawan muslim di pelbagai bidang yang kontribusinya tidak kalah mentereng dengan cendekiawan non-muslim. Sebut saja dalam bidang fisika teoritis, adalah Mohammad Abdus Salam yang menemukan teori yang disebut ‘Electroweak’ pada tahun 1968. Penemuan tersebut dinilai penting untuk memahami jagat raya. Karena temuan Salam—baru-baru ini juga—dianggap mengonfirmasi keberadaan ‘partikel Tuhan’ yang sering menjadi perdebatan di kalangan para fisikawan. Kemudian dalam bidang kimia muncul nama Ahmad Hasan Zewail. Ketekunannya dalam bidang kimia menghantarkannya meraih nobel pada tahun 1999. Ia diganjar nobel atas kinerja ilmiahnya di bidang femtochemistry.
Kemudian masih banyak lagi penemuan-penemuan dari para cendekiawan muslim lainnya yang tidak akan saya sebutkan di sini. Lantas kenapa narasi tentang ketertinggalan terus bergaung, dan model pembacaan seperti apa yang penting untuk diaplikasikan pada khazanah kaum muslimin, sehingga senantiasa relevan dan mampu berperan dalam situasi perubahan zaman?
Reaktualisasi Makna Wahyu Pertama
Di sini saya akan mengambil salah satu surah al-Quran untuk dijadikan titik tolak pembahasan, yaitu surah al-‘Alaq. Menurut saya surah ini mengusung tema peradaban (surah al-Hadarah). Surah inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya peradaban besar umat Islam. Di samping itu, surah ini mengandung metodologi ilmiah untuk menciptakan pola pikir progresif dalam tubuh Islam. Saya akan mencukupkan beberapa ayat dari surah tersebut. (1) Iqra’ bismirabbika alladzi khalaq, (2) alladzi ‘allama bi al-Qalam, (3) ‘allama al-Insana ma lam ya’lam. Dari beberapa tafsir yang saya baca, mulai tafsir induk, seperti tafsir at-Tabhari, Ibnu Katsir hingga tafsir al-Qurthubi, para mufassir mayoritas menjelaskan surah al-‘Alaq dari dua sisi, yakni waktu dan asbabun nuzul ayat tersebut. Hal ini merupakan pengetahuan fundamental bagi seorang muslim. Di samping itu, perlu untuk melakukan pembacaan dari sudut pandang berbeda agar memperoleh hasil yang cenderung baru dan lebih relevan.
Dalam tulisan kali ini saya akan melakukan pendekatan terhadap surah al-‘Alaq melalui pembacaan objek kontemporer (qiraah mu’ashirah) ala Abid al-Jabiri. Ia merupakan salah satu pemikir berkebangsaan Maroko, dalam bukunya Nahnu wa al-Turats Jabiri membagi pembacaan objek pada dua bagian. Yang pertama adalah mu’ashiran linafsihi, sedangkan yang kedua adalah mu’ashiran lahu. Adapun bagian yang pertama adalah usaha membuat objek kajian (maqru’) relevan dan kontekstual dengan dirinya sendiri. Dengan kata lain, objek pembacaan tersebut mempunyai kandungan makna bagi konteks lingkungan tertentu. Oleh karena itu, pembacaan surah al-‘Alaq yang demikian hanya akan bergerak dalam ruang historis; asbabun nuzul dan peristiwa proses kejadian turunnya surah tersebut pada Nabi, baik terkait waktu maupun ruangnya. Di samping itu, belum lagi perdebatan masalah perbedaan riwayat hadis mengenai turunnya surah al-‘Alaq yang selalu memunculkan pertanyaan, apakah ia wahyu yang pertama kali turun atau terdapat surah lain yang mendahului surah tersebut? Menurut saya pembacaan model seperti ini bukan tidak penting untuk dilakukan, akan tetapi seharusnya kita mulai melihat dari sudut pandang yang berbeda dan cenderung baru, sebagaimana pembacaan model nomor dua.
Sementara model pembacaan yang kedua adalah usaha menjadikan objek kajian relevan dengan diri kita atau sang pembaca (mu’ashiran lana). Maksudnya, makna yang dihasilkan melalui pembacaan tersebut adalah makna yang relevan dan terkait dengan kebutuhan diri kita, sang pembaca. Selanjutnya pembaca bisa mengelola dan memfungsikan objek maqru’ untuk menginterpretasi ulang agar memperkaya makna yang terkandung di dalamnya. Sebab ketika suatu ucapan telah bertranformasi menjadi teks, maka makna teks sendiri itu terus berjalan dan berkembang. Kaitannya dengan surah di atas adalah, bagaimana kemudian surah tersebut tidak hanya dipahami sebagai salah satu teks wahyu dalam kitab suci yang turun pertama kali di masa kenabian, atau sebagaimana pembacaan pertama. Akan tetapi, dipahami sebagai surah yang mengandung metode-metode ilmiah untuk dijadikan pijakan seorang muslim dalam membangun khazanah intelektual Islam.
Dalam makna surah al-‘Alaq sendiri terdapat beberapa metode untuk mencapai tradisi inte- lektual yang mapan dan hendaknya direaktualisasikan di era sekarang. Dari ayat pertama, (1) iqra’ bismirabbika alladzi khalaq, kata “membaca” di sini bukan sekadar bermakna membaca secara literal, tetapi juga menelaah dan mengkaji seluruh isi jagat raya ciptaan Allah. Hal itu bisa tercapai melalui pembacaan filosofis yang tidak keluar dari koridor-koridor agama. Tersebab Nabi Muhammad yang dijuluki ummi bukan berarti tidak bisa membaca dan menulis. Al-Jabiri dalam Madkhol ila ‘Ulumi al-Quran fi al-Ta’rif mengatakan, bahwa kata ummi bukan berarti Nabi Muhammad tidak bisa membaca dan menulis, akan tetapi beliau mampu melakukan kedua hal tersebut. Sebagaimana keluarga Nabi sendiri sudah tumbuh tradisi membaca dan menulis, seperti buyut (al-Jad al-‘Ala) Nabi, Qushay bin Kilab dan kakeknya, Abdul Mutthalib bin Hisyam yang mahir dalam membaca dan menulis. Tidak hanya itu, secara geografis, di kalangan Quraiys sendiri sudah tersebar dua tradisi itu. Oleh karena itu, ummi di sini, menurut hemat saya adalah bermakna keobjektivitasan Nabi dalam mengemban amanah ajaran Tuhan. Hal ini patut kita tiru dalam pola hidup sehari-hari. Lantaran ketika orang dijangkiti “virus” subjektivisme, maka dia akan jatuh kepada pembacaan literal.
Kemudian ayat kedua berbunyi, alladzi ‘allama bi al-Qalam, makna daripada ayat tersebut adalah menulis dan mempublikasikan hasil riset (maqru’). Dalam hal ini, untuk menyebarkan gagasan-gagasan yang didapat dari hasil pembacaan kita, perlu adanya budaya tulis-menulis. Tradisi melek budaya tersebut di era sekarang semakin redup. Demikian juga gairah untuk mengkaji serta meneliti suatu fenomena belum banyak diminati banyak orang, terutama dalam internal Islam sendiri. Padahal melihat dari realita sekarang dengan segala kecanggihan teknologi, seharusnya banyak melahirkan ilmuwan dan sarjana yang mampu berkontribusi terhadap Islam sendiri. Tentunya kita tidak perlu alergi dengan hal yang berbau Barat, sebab yang ada di Barat belum tentu seluruhnya buruk. Pun demikian orang yang mengkaji Islam di Barat tidak seluruhnya ingin menghancurkan tatanan Islam, sebagaimana dalam QS. Al-Maidah ayat 8, “Wa lâ yajri mannakum syana’ânu qaumin ‘ala allâ ta’dilû ‘idilû huwa aqrabu li al-Taqwâ.” Sudah saatnya untuk selalu membuka ruang dialog dan mengadopsi sesuatu yang dianggap bahkan terbukti baik untuk Islam.
Seperti halnya meniru kemelekan para orientalis ketika mengkaji Islam adalah sebuah keharusan. Tentunya tanpa menutup mata dengan unsur negatif yang terselubung di dalam proyek orientalisme. Ada beberapa metode para orientalis dalam mengkaji Islam yang berkaitan erat dengan literasi baca tulis. Sebut saja yang pertama, pengumpulan manuskrip (jam’u al-Makhthuthat wa fahrasatuha), model seperti ini telah dilakukan orientalis untuk mengkaji warisan-warisan Islam di berbagai bidang. Mereka sangat menaruh perhatian pada manuskrip-manuskrip penting untuk kemudian dikaji di beberapa kampus dan perpustakaan.
Kemudian budaya melek kalangan orientalis dalam bidang penerbitan dan pengoreksian (al-Tahqiq wa al-Nasyr). Mereka tidak hanya bergerak di ruang lingkup pengumpulan manuskrip, mereka juga melakukan pengkajian dan pengoreksian lebih lanjut terhadap manuskrip yang telah ditemukan. Lantas, manuskrip tersebut diterbitkan dan disebarluaskan. Seperti kitab Futuh al-Syâm li al-Imam al-Azdari al-Bashari, Târîkh al-Ya’qûbi, Wafayât al-A’yân li Ibni Khallikan, dan masih banyak lagi. Yang ketiga, tradisi kepengarangan di semua bidang, baik Arab maupun Islam (al-Ta’lif fi Syatta majallât al-Dirâsât al-‘Arâbiyah wa al-Islamiyyah). Hal semacam demikian perlu kita tiru dan semarakkan dalam khazanah intelektual Islam.
Selanjutnya ayat terakhir adalah, ‘allama al-Insana ma lam ya’lam yang berarti mengajarkan orang-orang yang tidak tau dengan melakukan upaya kaderisasi pelajar agar menjadi ilmuwan dan cendekiawan. Setelah dua ayat tadi bertendesi pada metode-metode, ayat yang terakhir ini orientasinya kepada praktik pendidikan, bagaimana mewujudkan dua komponen tadi melalui pengajaran dan pengaderan para pelajar Islam. Tersebab menjadi keniscayaan untuk melakukan kaderisasi dan regenerasi pemuda-pemudi Islam untuk dipersiapkan di masa depan. Karena jika kita lihat cendekiawan dan ilmuwan besar dunia, maka akan ditemukan adanya proses perjalanan intelektual yang salah satunya dilakukan dengan al-Bi’tsah al-Ilmiyah.
Terakhir, al-Quran sebagai epistemologi agama yang menjadi pedoman dan petunjuk bagi umat manusia, tidak akan menghasilkan pengetahuan-pengetahuan segar dan relevan, tanpa adanya dialog dengan teks itu sendiri. Karena itu, pembacaan teks dari sudut pandang yang berbeda adalah suatu hal yang penting dilakukan. Darinya kita bisa mengetahui dan menghasilkan hal yang baru. Sehingga objek kajian (maqru’), akan selalu dinamis dan membentuk lingkaran pengetahuan.