Islamologi

Corak Menarik Hukum Islam dan Hukum Positif

Oleh: Firdaus Ulul Absor

Manusia mengultuskan hukum agama dan hukum negara sejak dahulu. Lihat saja Islam yang berisi ajaran universal. Ia menjelaskan hubungan antara makhluk dengan Tuhannya, dirinya sendiri, orang lain dan lingkungan. Adapun hukum positif negara, ia hanya mencakup hubungan manusia dengan dua hal terakhir tadi. Kendati demikian, masih banyak yang mempertentangkan dua hukum ini. Mereka saling berdebat perihal hukum apakah yang paling baik diterapkan dalam negara.

Di zaman sekarang, tidak ada negara yang murni mengadopsi hukum Islam, termasuk negara yang beragama resmi Islam, Mesir contohnya. Namun, ada beberapa negara yang menerapkan hukum Islam, seperti negara-negara Arab, Brunei Darussalam dan Malaysia. Adapun pemerintahan Barat dan sebagian besar negara-negara Timur, mereka menerapkan hukum positif. Dalam tulisan ini, saya ingin memberikan refleksi menarik seputar hukum Islam dan hukum positif.

Keterkaitan Hukum Islam dan Hukum Positif

Hakim Arab terkemuka, Ali Ali Manshur di dalam karyanya, Muqāranāt bayna al-Syarî’ah al-Islâmiyyah wa al-Qawānin al-Wadl’iyyah, menyebut muamalah sebagai cabang dari fikih. Muamalah sendiri merupakan hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan orang lain dan lingkungan. Lingkupnya bisa dalam satu negara dan bisa juga dengan negara lain, serupa dengan pemahaman hukum positif. Dari sini, bisa kita Tarik siimpulan bahwa objek serta lingkup hukum Islam dan hukum positif, sama.

Hakim Ali Ali Manshur lebih lanjut menyebutkan adanya hubungan menarik antara hukum Islam dan hukum positif. Menurutnya, hukum Islam mengandung hukum positif, dan hukum positif mempunyai istilah tersendiri yang bisa disandingkan dengan istilah-istilah dalam hukum Islam. Ia memberikan contoh dengan istilah hukum perundang-undangan dan administratif dalam hukum positif. Kedua istilah tersebut dinamai dengan siyāsah syar’iyyah atau siyāsah hukmiyyah dalam hukum Islam. Ada pula istilah hukum perdata dan perdagangan yang dalam hukum Islam disebut dengan ‘uqud. Hukum pidana, dalam hal ini bisa disandingkan dengan istilah hudud wa ta’zir. Terakhir, hukum internasional disebut dengan istilah siyar wa maghāzi.

Dasar perbedaan antara hukum Islam dan hukum positif ada pada siapa yang menciptakan kedua hukum tersebut. Hukum Islam dibuat oleh Allah, sedangkan hukum positif dirumuskan oleh manusia. Sumber utama hukum Islam ialah al-Quran dan Hadits atau Sunnah. Beberapa sumber lain seperti ijmak, kias, istihsan dan mashālih mursalah dibutuhkan sebagai pendamping kedua sumber utama; sebab teks terbatas, sedangkan persoalan manusia tidak terbatas.

Berbeda dengan hukum Islam, hukum positif bersumber dari undang-undang, adat, dan traktat—untuk hukum yang mengatur antar-negara. Ketiga sumber tersebut berbeda antar-satu negara dengan yang lain. Karena itu, tidak mengherankan bila terdapat banyak perbedaan dalam hukum positif setiap negara. Hal tersebut tidak seperti apa yang ada di dalam hukum Islam. Perbedaan hukum Islam disebabkan beragamnya metode Imam dalam menyimpulkan hukum dari al-Quran, Hadits, dan sumber lainnya.

Untuk melihat perbedaan kedua jenis hukum tersebut, mari kita lihat hukum perundang-undangan. Hukum ini menjelaskan apa saja hak setiap individu dalam negara. Ia juga menjelaskan tiga perangkat terbentuknya negara dalam sistem presidensial, yaitu badan eksekutif, legislatif dan yudikatif; perbedaan serta sejauh mana fungsi dan pengawasan antara ketiganya. Adapun siyāsah syar’iyyah atau siyāsah hukmiyyah yang dipakai oleh negara-negara Islam, telah mencakup pembahasan hukum perundang-undangan tadi.

Di dalam hukum Islam, selain sistem presidensial, siyāsah syar’iyyah juga mengakui adanya sistem pemerintahan lain yang disebut dengan khilafah. Di dalam sistem ini disebutkan syarat-syarat yang wajib dimiliki seorang kepala pemerintah (khalifah), bagaimana cara memilihnya dengan perantara badan ahl al-hall wa al-‘aqd, apa esensi hubungan antara khalifah dan rakyat dan lain sebagainya.

Ada satu di antara prinsip-prinsip dasar yang sama-sama dimiliki oleh hukum perundang-undangan dan siyāsah syar’iyyah, yaitu prinsip musyawarah. Hakim Ali Ali Manshur beranggapan bahwa setiap keputusan yang akan diambil seorang hakim ataupun penguasa harus melalui proses musyawarah dengan pihak yang kompeten. Di dalam hal ini, hukum Islam berlandaskan pada al-Quran Surah Ali Imran ayat 159.

Nabi sendiri telah meneladani bagaimana seorang pemimpin perlu mendengarkan suara bawahannya, yaitu pada saat perang Badar. Ketika itu, Sahabat Hubbab ibn Mundzir memberi usul agar pasukan Islam pindah ke tempat yang dekat dengan sumber air. Setelah musyawarah dengan Sahabat lain kemudian didapat kesepakatan, Nabi mengerjakan usul Sahabat yang cerdas tersebut.

Hal menarik lain bagi saya ialah hudud wa ta’zir yang dapat disandingkan dengan hukum pidana. Hudud adalah kriminal besar yang ditentukan dengan jelas jenis dan hukumannya dalam al-Quran dan Hadits. Ini berbeda dengan ta’zir: tindakan kriminal yang tidak lebih besar bahayanya dari hudud. Di samping itu, di dalam ta’zir hukum Islam menyerahkan pada penguasa atau hakim perihal ketentuan jenis kriminal dan hukumannya.

Hudud wa ta’zir, dengan demikian bisa dibilang melampaui hukum pidana. Hakim Ali Ali Manshur menjelaskan bahwa hukum pidana menentukan setiap jenis kriminal, hukuman serta prosedur peradilannya. Di sisi lain, situasi dan kondisi manusia berubah seiring dengan berjalannya waktu. Maka dari itu, hukum positif yang mana di sini adalah hukum pidana, sulit atau bahkan tidak mungkin dapat berubah dengan cepat mengikuti perbedaaan dan perubahan kondisi masyarakat.

Berbeda halnya dengan hudud wa ta’zir. Dalam hal ini, hukum Islam hanya berisikan kaidah-kaidah umum, sehingga penerapannya fleksibel dan dapat dipakai di setiap zaman dan tempat. Dengan ini, jelas bagi kita bahwa konsep hudud wa ta’zir yang terdapat dalam hukum Islam lebih fleksibel dan mudah diterapkan di tengah-tengah masyarakat.

Kendati demikian, sedikit kita temukan negara yang menerapkan hukum Islam. Profesor di bidang fikih perbandingan, Rosyad Hasan Khalil menyebutkan bahwa alasan merosotnya penerapan hukum Islam bukan disebabkan kurangnya esensi hukum tersebut, akan tetapi di antara sebabnya adalah kolonialisme. Dalam penjajahan, hukum yang dibawa negara penjajah wajib diterapkan di negara yang terjajah.

Pada akhirnya, kita tidak perlu mempertentangkan hukum positif. Sistem hukum positif yang tidak bertentangan dengan hukum Islam, dan bahkan memberi lebih banyak maslahat dari pada mafsadat, ia baik diterapkan. Hal ini sejalan dengan kaidah yang menjadi sumber hukum Islam, yaitu mashālih mursalah.

Back to top button
Verified by MonsterInsights