Islamologi

Hakikat Khusyuk

Oleh: Muhamad Abdul Khasi

“Dan mohonlah pertolongan (kepada Tuhanmu) dengan sabar dan shalat. Dan (shalat) itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. (Yaitu) Mereka yang yakin akan menemui Tuhannya dan mereka akan kembali kepada-Nya. (QS al-Baqarah: 45-46)

Ayat tersebut mengajarkan bahwa kita sebagai seorang hamba, hendaknya selalu memohon pertolongan kepada Allah SWT—dengan sabar dan shalat—. Dikatakan juga di sini bahwa shalat itu berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. Di dalam tafsir al-Misbah, M. Quraish Shihab mengatakan bahwa shalat dan sabar merupakan alat yang ampuh dalam menempuh kehidupan yang lebih baik, akan tetapi kedua hal tersebut merupakan sesuatu yang berat dikerjakan jika tidak dengan khusyuk. Orang-orang yang khusyuk ialah mereka yang tunduk dan hatinya tenteram dengan dzikir kepada Allah SWT.

Beliau juga berpendapat bahwa yang khusyuk adalah orang-orang yang menemui Allah. Pada lafaz yazhunnun, zan ada yang memaknai dengan dugaan dan belum sampai pada tingkat yakin. Namun, pada umumnya pemahaman kata zan yakni yakin atau mempercayai sesuatu dengan sempurna, bukan hanya sekadar dugaan. Sedangkan mulâqû rabbihim yakni dugaan dengan keras bahwa mereka berpendapat akan bertemu dengan Tuhan dalam pandangan hati mereka.

Lalu, bagaimana sebenarnya konsep khusyuk itu? Apakah khusyuk itu hanya ada dalam ibadah? Bagaimana kita bisa menghadirkan rasa khusyuk di dalam hati?

Khusyuk secara etimologi berasal dari lafaz (خشع يخشع خشوعا), dalam mukjam al-Maani lafaz ini memiliki makna bersikap hormat, tunduk, patuh, dan rendah hati. Menurut Imam Ibnu al-Qayyim khusyuk merupakan tegaknya hati di hadapan Allah SWT dengan segala ketundukan dan kerendahan, kemudian hasilnya terejawantah dengan gerak anggota tubuh.

Dalam hal ini, Gus Baha juga menjelaskan bahwasanya khusyuk memiliki makna tunduk, dan takut. Khusyuk tersebut juga memiliki tingkatan dan proses. Dalam hal ini, kebanyakan manusia menganggapnya sebagai sesuatu yang harus ada saat itu juga. Padahal pada kenyatannya, khusyuk juga perlu tahapan-tahapan sebagaimana kebaikan. Beliau mengiaskan tahapan ini dengan seorang anak yang dipanggil bapaknya. Ketika anak tersebut niat hanya sekadar menghadap, meskipun tidak ada niatan menurut, maka sudah dikatakan bagus. Dia sudah mendapatkan satu nilai plus yaitu mau menghadap dan itu merupakan sebuah kebaikan karena patuh terhadap perintah bapaknya.

Lalu beliau juga mengiaskan ke dalam adzan (panggilan shalat). Di dalam bahasa Arab, kita mengenal aqbala (menghadap) dan lawan katanya adalah adbara (membelakangi), sehingga ketika seorang hamba mendengar suara adzan, kemudian pergi ke masjid dan melaksanakan shalat, maka dia sudah mendapatkan nilai plus tersendiri yaitu memenuhi panggilan Allah SWT. Sebaliknya, hamba yang memalingkan wajah dari panggilan Allah SWT tentu tidak baik.

Dikisahkan bahwa seorang Sahabat datang menemui Nabi dan ia mengatakan mau melakukan shalat tetapi dengan syarat masih menjalankan kemungkaran-kemungkaran. Mendengar hal itu, Sahabat Nabi protes: “Wahai Nabi, apakah engkau menghalalkan kemungkaran yang dia lakukan?” Nabi menjawab: “Aku tidak menghalalkan, selagi dia shalat. Lama-kelamaan dia akan sadar atas kemungkaran-kemungkaran yang dia kerjakan.”

Dari kejadian tersebut bisa diambil beberapa poin penting; bahwa melakukan suatu tindakan baik itu membutuhkan proses, seperti sabda Nabi. Beliau tidak langsung melarang seorang Sahabat tersebut, akan tetapi tetap membolehkan untuk melakukan shalat meskipun masih menjalankan kemungkaran. Melakukan shalat merupakan nilai plus tersendiri. Selama ia mendirikan shalat, kemungkaran itu lama-kelamaan menghilang.

Ini seperti fiman Allah SWT: “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar”. Dari ayat ini, Gus Baha juga menjelaskan bahwa dengan shalatlah kemungkaran kita akan berkurang. Berkahnya shalat adalah adanya waktu yang berpotensi bahwa shalat sebagai akhir hayat kita. Beliau juga menjelaskan bahwa melakukan shalat artinya melabeli diri sebagai hamba. Kita mengakui bahwa Allah SWT Tuhan dan kita hamba.

Iyyâka na’budu wa iyyâka nasta’în: hanya kepada-Mu kami menyembah dan meminta pertolongan. Artinya, kita tunduk, patuh atas perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Di antara berkahnya status kehambaan selain mendapatkan syafaat Nabi Muhammad SAW, adalah layak masuk surga Allah SWT. Karena syarat masuk surga adalah dengan menjadi hamba-Nya, “fadkhulî fi ‘ibâdî, wadkhulî jannatî”. Seseorang  harus resmi dulu menjadi hamba Allah SWT, kemudian baru bisa masuk surga.

Selain dari al-Quran dan sabda Nabi di atas, Imam al-Ghazali sendiri memiliki timbangan bagaimana agar rasa khusyuk itu bisa hadir dalam hati. Pertama, hudlûr al-qalb (pemusatan pikiran). Ini dilakukan dengan cara mengosongkan hati dari segala sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan apa yang dikerjakan atau diucapkan. Kedua, tafahhum (pengertian). Upaya pemahaman secara mendalam tentang makna yang tercakup dalam tiap-tiap ucapan. Ketiga, ta’dzim (penghormatan). Penghormatan kepada Allah SWT karena kesadaran akan kebesaran-Nya dan kelemahan diri sebagai seorang hamba. Keempat, haibah (takut dan kagum atas kebesaran Tuhan). Dengan pemahaman akan kuasa Allah SWT, seorang hamba akan menjauhi segala larangan-Nya. Kelima, raja’ (mengaharap ampunan/rahmat Allah SWT). Hidup dengan mengharap kasih sayang Allah SWT yang sangat luas. Keenam, haya’ (malu dan hina diri). Malu karena lalai dalam melaksanakan kewajiban dan menahan diri dari segala perbuatan keji.

Di dalam konsep psikologi, khusyuk bisa disamakan dengan kondisi meditasi. Menurut Van den Berg dan Muller, dengan teknik mediatasi seseorang akan memperoleh peningkatan harga diri, kekuatan ego, kepuasan, aktualisasi diri, percaya diri pada orang lain dan peningkatan gambaran diri. Hal ini dikarenakan, orang yang khusyuk pada saat shalat itu diliputi rasa tenang. Selanjutnya, dia akan merasa aman dan nyaman karena beriman kepada-Nya dan meraih kebahagiaan karena terus mendapat rahmat-Nya.

Khusyuk biasanya identik dengan ibadah shalat. Akan tetapi, setelah ditelaah lebih jauh, khusyuk juga bisa dipraktikkan pada hal-hal di luar ibadah, seperti dalam hal pekerjaan, misalnya. Seseorang yang memiliki rasa khusyuk tentu akan memiliki rasa taat dan tentram dalam bekerja; melakukan pekerjaan dengan niat karena Allah SWT dan melakukan tugas dengan sebaik-baiknya.

Walakhir, sebagai seorang hamba, memenuhi panggilan Allah SWT merupakan sebuah keharusan. Terlepas kemungkinan kesalahan pada shalat, yang terpenting adalah selalu menjalankan shalat dan memegang status kehambaan (pengakuan). Dengan seperti itu, kita akan terbiasa dengan rasa khusyuk, sehingga lama- kelamaan khusyuk akan tertanam dalam hati dan lebih mudah diterapkan dalam kehidupan.

Back to top button