Esai

Mengurai Benang Kusut Idul Kurban, Kemerdekaan dan Kekhilafahan

Kisah pengorbanan Nabi Ibrahim dan keikhlasan Nabi Ismail selalu dijadikan landasan untuk refleksi sikap pasrah dan tunduk pada Tuhan. Sejatinya, momentum Idul Adha atau Idul Kurban ini memberikan spirit beragama supaya dimaknai secara utuh. Jamak diketahui, bahwasanya perintah Allah kepada Nabi Ibrahim adalah ujian terhadap totalitas keimanannya. Sejauh ini, beberapa ahli Tafsir berpendapat, bahwa bentuk perintah Allah memiliki satu hipotesis argumentasi, yakni pelajaran meleburkan ego dalam diri Nabi Ibrahim. Secara nalar, ayah mana yang mau menyembelih putra kesayangannya hanya karena perintah lewat mimpi? Bagaimanapun juga, keyakinan yang dimiliki Nabi Ibrahim telah melewati fase memanifestasikan Tuhan dengan segala perintah-Nya.

Membincang peleburan ego dalam diri Nabi Ibrahim, sepatutnya menjadi refleksi nyata keberagamaan kita pada saat ini. Akhir-akhir ini kita menyaksikan pelbagai macam problem yang mengatasnamakan perintah agama, padahal belum tentu si pengusung memahami konteks perintah tersebut. Contoh nyata pada perhelatan Pilpres 2019 kemarin. Meskipun telah usai, masih saja ada sekelompok orang yang menentang hasil tersebut. Misalnya, dalam perkumpulan Ijtima Ulama IV, ada satu keputusan yang direkomendasikan untuk diluluskan, yakni mendirikan khilafah atas dasar amar makruf nahi munkar dan menciptakan iklim NKRI Bersyariah.

Ada pertanyaan mendasar terkait salah satu hasil Ijtima Ulama tesebut. Perintah Tuhan mana yang melandasi perjuangan mereka dalam mendirikan khilafah? Dari pertanyaan tersebut, saya memuculkan sebuah hipotesis sederhana, bahwa memahami Tuhan dengan segala perintahnya secara utuh, disertai dengan keyakinan, dapat mewujudkan refleksi agama yang benar di masyarakat dalam sebuah negara. Termasuk berkorban untuk melebur ego terhadap ideologi yang dianggap paling layak diterapkan di Indonesia pada saat ini.

Agama, Ego dan Merdeka
Beberapa kalangan melakukan tindakan yang ia yakini kebenarannya dengan membawa-bawa nama agama. Sejatinya tindakan tersebut adalah irasional dalam memahami agama. Contoh di atas merupakan salah satu indikasi terciptanya suatu pemahaman yang berdasarkan pada pembacaan teks agama yang keliru. Sebelumnya kita memahami, bahwa (salah satu pengertian) agama adalah mengetahui hakikat Tuhan dan mengagungkan-Nya. Agama tidak bisa menjadi sebuah wadah spiritual jika tidak ada korelasi antara Tuhan dengan manusia. Tuhan sebagai dzat yang tidak bisa dirasakan dengan pancaindera serta berada di alam metafisika.

Dengan demikian agama yang dapat kita pahami, setelah mengetahui korelasi antara Tuhan dan manusia, adalah wadah untuk memaknai segala kehendak dan perintah-Nya (melalui wahyu) secara utuh. Perlu digarisbawahi, bahwa dasar melakukan perintah Tuhan, tidak terlepas dari keimanan seseorang. Abu al-Ala’ Afifi, memproyeksikan keyakinan seseorang dalam tiga bentuk, sebagaimana landasan yang dibawa oleh Ibn Arabi. Sumber keyakinan manusia tergantung dari pribadi masing-masing, apakah ia seorang pemikir, sufi atau seorang pengikut teks. Saya mengambil satu contoh dari ketiganya, bahwa seorang sufi atau ârif mengetahui hakikat Tuhan dalam berbagai bentuk keyakinan yang tersingkap dalam dirinya atau proses tajali dalam dirinya. Tentu proses seperti ini telah melalui mujahadah untuk memunculkan sebuah keyakinan yang benar dalam memahami teks agama.

Menariknya lagi, landasan keyakinan yang benar akan melahirkan etika sosial. Mungkin kita berpikiran, bahwa agama dengan etika sangatlah berjauhan posisinya. Jika dilihat terminologinya, keduanya memang sangatlah berjauhan. Tersebab, etika adalah kemampuan seseorang untuk melakukan kebaikan dan menghindari hawa nafsu. Sedangkan agama, sebagaimana apa yang telah dikemukakan di atas. Akan tetapi dalam pengaplikasiannya, kedua istilah tersebut ada korelasi dalam bentuk nyata. Agama sebagai wadah Tuhan untuk memerintahkan kepada hamba-Nya berlaku sosial yang baik, sedangkan etika merupakan kemampuan untuk melakukan perintah tersebut. Secara analogi, keduanya seperti dua pohon yang saling berdekatan. Akarnya berbeda, sedangkan kedua ranting pohon tersebut saling berpilin dan berkelindan.

Seperti yang telah dibahas, bahwa etika memiliki peran dalam diri manusia untuk menghindari hawa nafsu dalam dirinya, termasuk egoisme. Ego menjadi bumerang bagi agama-agama. Sebagaimana yang lumrah, bahwa agama telah memberikan pelbagai langkah untuk mereduksi sifat ini. Sebagian ulama menyatakan bahwa ego menjadi sumber kerusakan bagi manusia bahkan dapat melegalkan cara untuk menunggangi agama. Ego dalam kendali wahyu mengubah bentuk menjadi sikap kepatuhan, kepasrahan dan ketundukan terhadap perintah Tuhan dengan keyakinan yang benar.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah bahwa puncak keberhasilan seorang hamba adalah mengalahkan hawa nafsunya sendiri. Dengan kata lain, ia telah merdeka dari hawa nafsunya sendiri. Penggambaran merdeka dalam keberagamaaan yang ada di dalam personal kedua Nabi tersebut sebagai refleksi manusia ketika mencapai derajat kemerdekaan yang hakiki dalam beragama. Pengorbanan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail telah berhasil keluar dari sekat ego yang menyelimuti dirinya. Terejawantah dengan bentuk kepasrahan dan kepatuhan tadi, menjadi bukti nyata bahwa mereka telah merdeka dalam bergama. Merdeka dalam mengenal Tuhan dan segala perintahnya. Anggaplah hawa nafsu atau ego itu penjajah yang nyata terhadap diri kita.

Pancasila dan Khilafah
Saya tertarik dengan tulisan KH. Ahmad Kafrawi, yang membahas tentang ideologi bangsa dan peran Islam di Indonesia. Dengan jelas, beliau memperkenalkan Pancasila sebagai ideologi bangsa yang menghimpun segala bentuk multikultural pemikiran, agama dan masyarakatnya. Presiden Soekarno menyatakan bahwa sila pertama dalam Pancasila bukan menjadikan bangsa Indonesia berkeyakinan tentang keesaan Allah semata. Melainkan lebih dari itu, Presiden Soekarno mengharapkan falsafah bernegara ini memiliki kekuatan untuk meyakini adanya Tuhan Yang Esa sesuai dengan tuntunan keyakinan masing-masing. Jika memahami Pancasila setengah-setengah, pasti beranggapan bahwa falsafah bernegara kita tidak memiliki nilai keislaman, melainkan diambil dari hasil musyawarah para pendiri bangsa. Dan yang lebih Islami menurut spekulasi mereka adalah khilafah.

Sebagian orang keliru memahami khilafah sebagai sistem dan bentuk pemerintahan yang wajib diterapkan. Kita memahami kata ‘khalifah’ di dalam al-Quran disebutkan sebanyak dua kali, yakni ketika Allah menjadikan Nabi Adam sebagai khalifah di bumi dan menjadikan Nabi Dawud sebagai khalifah untuk Bani Israil, tentunya beliau sebagai raja. Dalam konteksnya, khalifah bersifat pada subjek yang memimpin, bukan pada sistem pemerintahan. Maksudnya, penggunaan khalifah merujuk pada Nabi Adam dan Nabi Dawud, bukan merujuk pada pemimpin setelah Rasulullah. Pun pascawafatnya Rasulullah yang terjadi pergantian pemimpin dengan caranya masing-masing, tidak terpaku pada sistem yang tetap. Artinya yang menjadi fokus dalam Islam adalah memilih seorang pemimpin, bukan penetapan bentuk pemerintahan.

Perlu digarisbawahi, sejarah telah mencatat beberapa bentuk pemerintahan suatu negara pascawafatnya Rasulullah. Pada zaman khalifah sendiri memiliki perbedaan dalam menunjuk seorang pemimpin, sedangkan pada masa dinasti Islam mayoritas bentuk pemerintahannya monarki. Sebenarnya ketika memahami konteks khilafah—kepemimpinan—tentunya sudah usai saat para pendiri bangsa menyepakati bentuk pemerintahan Indonesia yang berideologi Pancasila dan UUD 1945. Kita mengenal istilah ‘khalifah’ dalam Islam sebagai suatu keharusan untuk memilih pemimpin, sedangkan bentuk pemerintahannya merupakan ranah ijtihad para ulama setempat.

Meminjam beberapa pertanyaan dari Gus Nadir, bisakah kita menjadi khalifah tanpa khilafah? Bisa. Karena kita anak cucu Nabi Adam sebagai pewaris dan pengelola bumi. Ini pengertian khalifah sesuai dengan konteks pembahasan al-Quran. Bisakah ada khalifah tanpa khilafah? Jelas bisa. Kita mengenal para khalifah dari tiga dinasti Islam yang memilih monarki sebagai bentuk pemerintahannya. Dan ini jelas berbeda dengan bentuk pemerintahan pada zaman Khalifah Rasyidin. Kata kuncinya ada pada khalifah bukan khilafah. Karena tidak ada konsep baku tentang khilafah yang mereka anggap sebagai kewajiban.

Lantas, motif apa yang mereka usung untuk melegalkan khilafah di Indonesia? Salah satu penyebab konflik yang terjadi di Timur Tengah adalah pemaksaan terhadap ideologi khilafah untuk diterapkan. Sedangkan di Indonesia bagaimana? Kita memahami bahwa konsep ini merupakan rumusan dari aliran politik transnasional dari ormas Hizbut Tahrir dan Ikhwanul Muslimin. Padahal, bukankah kita justru harus merdeka dalam berbangsa? Pancasila sebagai langkah pemersatu dan politik budaya khas Indonesia telah dimusyarahkan oleh tokoh nasionalis dan pemuka agama. Ranah ini masuk pada ijtihad ulama untuk berbangsa dan bernegara.

Jika mereka masih tetap memaksakan ego untuk menerapkan khilafah dan menentang Pancasila, berarti mereka belum merdeka dalam berbangsa dan beragama. Tersebab keyakinan mereka dalam memahami teks agama serta pembacaan terhadap ijtihad ulama telah keliru dan menjauh dari konteks sebenarnya. Berbangsa berarti kelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, ideologi dan sistem pemerintahan yang telah disepakati. Jika yang demikian saja belum dapat dipahami, dari mana arah konsep berbangsa yang mereka terapkan? Ego mereka sendiri belum mencapai kepasrahan dalam keyakinan untuk berbangsa dan bernegara pada satu atap ideologi. Atau jangan-jangan karena kita belum sebenar merdeka dalam beragama dan berbangsa?

Back to top button
Verified by MonsterInsights