Dua Hal yang Harus Kita Pahami saat Membincang Maqashid

Diskusi tentang hukum Islam selalu ramai digandrungi oleh berbagai kalangan. Tidak sedikit yang menawarkan konsep ihwal pembaharuan terhadap hukum Islam. Sarjana-sarjana Muslim kontemporer terlihat cukup gigih mengadvokasi pendekatannya untuk memahami Islam, di antaranya dengan menekuni kajian maqashid syariah sebagai instrumen merumuskan hukum Islam kontemporer. Tokoh-tokoh seperti al-Syathibi, Thahir ibn Asyur, Raysuni, Jasser Auda dan masih banyak lagi, secara implisit telah mengonfirmasi bahwa maqashid syariah adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari ijtihad. Intinya, ijtihad dengan pendekatan maqashid syariah dapat membidani lahirnya produk-produk ijtihad (baca: hukum Islam) yang selaras dengan perkembangan umat manusia.
Mulanya, konsep-konsep maqashid syariah yang telah banyak diulas memang mengandung hal positif untuk menunjang kualitas suatu hukum. Namun sayangnya, konsep tersebut acapkali diaplikasikan secara serampangan. Sebagian kalangan Muslim nampaknya cukup gegabah dalam memainkan pisau analisis yang bernama maqashid syariah itu. Setidaknya ada dua kecenderungan yang cukup kontras dalam memandang diskursus maqashid syariah. Pertama, maqashid syariah dipahami sebagai hikmah al-hukm yang berarti sebuah efek positif dari pelaksanaan syariah. Kedua, maqashid syariah dikehendaki oleh sejumlah cendekiawan Muslim sebagai ilat hukum. Gampangnya, kecenderungan yang kedua ini memahami maqashid syariah sebagai penyebab lahirnya suatu hukum. Hal ini cenderung keliru dan berimplikasi mengaburkan pandangan perihal statis dan dinamis (al-tsabit wa al-mutahawwil).
Salat, zakat, puasa, dan haji merupakan beberapa aspek terdekat yang masih kerap disalahpahami. Ritual-ritual tersebut memang mengarah pada tujuan penyucian diri dan pelepasan dari segala bentuk ketegangan duniawi. Namun, adanya tujuan-tujuan tersebut bukan berarti seseorang dapat meninggalkan aspek lahiriah dalam ibadah, dengan beranggapan bahwa kesucian hati yang telah dimilikinya dan keterkaitan hatinya dengan Sang Tuhan dapat menggugurkan kewajiban-kewajiban tersebut.
Contoh lain, soal berhijab. Cukup banyak kalangan Muslimah yang mulai berani menanggalkan atribut jilbabnya lantaran apresiasi mereka yang kelewat batas pada tatanan kehidupan sekuler dan liberal. Hal tersebut semakin kentara, bertepatan setelah narasi-narasi krisis identitas dan inferioritas terhadap Barat secara gencar dipromosikan oleh pihak yang gagal paham dengan ajaran Islam. Sampai pada gilirannya, tidak jarang seorang Muslimah enggan berhijab lantaran kesucian (dalam anggapannya) hanya ditentukan melalui kebersihan jiwa dan hati.
Bagai pohon yang berbuah
Berangkat dari kerancuan-kerancuan berpikir terkait maqashid syariah, saya kira penting untuk mengetengahkan kembali pandangan Abdul Fadel al-Qushi, anggota Haiah Kibar Ulama al-Azhar mengenai hal-hal yang sering disalahpahami dalam perkembangan diskursus hukum Islam. Sebelum jauh mengulas penerapan metodologi ala maqashid syariah untuk merumuskan hukum, ia mengulas dua unsur penting yang tercakup dalam prinsip maqashid syariah. Pertama, syariah itu sendiri meliputi segala hukum, ketentuan, dan ajaran yang berasaskan teks-teks suci. Kedua, nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam syariah. Dalam hal ini, ia mengilustrasikan unsur pertama sebagai sebuah batang pohon (syajarah) yang berfungsi mengalirkan spirit-spirit agama (ruh al-Syariah), sedangkan unsur kedua adalah buah (tsamrah) sebagai wujud yang mampu memberikan kenikmatan dan kelezatan.
Lantas, bagaimana seseorang mampu membayangkan tumbuhnya sejumlah buah tanpa adanya pohon? Bagaimana seseorang mampu mencapai sebuah kesucian dan kemaslahatan tanpa mengindahkan praktik keagamaan? Shalat dan maslahat, berhijab dan kesucian adalah relasi kuat yang saling mendukung satu sama lain.
Padahal jika kembali pada hakikat penciptaan manusia, ibadah adalah manifestasi persembahan segenap jiwa dan raga pada Sang Pencipta. Atau dalam bahasa lain “Bahwa shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah SWT.” Singkatnya, orientasi hidup seorang Muslim adalah ketertundukan pada Tuhan, tunduk atas segala perintah dan hukumnya. Sebagai konsekuensi logis, posisi Tuhan harus berada di atas batas-batas logika dan kepentingan manusia.
Konsekuensi lain adalah perlunya penekanan pada aspek ubudiyah. Seorang mukalaf tidak akan mampu menerapkan konsep maqashid syariah tanpa diimbangi dengan ketaatan terhadap praktik-praktik ibadah (asykâl ibâdiyyah). Dalam hal ini, praktik-praktik tersebut tidak boleh dianggap sebagai ritual tanpa makna. Ia mesti diposisikan sebagai wasilah seorang hamba kepada Tuhannya. Lebih dari itu, sebagian ulama sampai-sampai menghayati taklif sebagai sebuah peralihan dari keinginan kita (hamba) menuju keinginan Tuhan. Dari kepentingan kita menuju kepentingan Tuhan.
Premis di atas mengingatkan saya pada kalimat al-Ghazali dalam magnum opus miliknya, Ihyâ Ulûmiddîn, tentang ritual ibadah yang bersifat beribadah, ta’abbudiy, lebih mewakili rasa keberhambaan seseorang dibandingkan dengan menjalankan hukum yang bersifat rasional. Sebut saja, saling membantu terhadap sesasama dapat diterima sebagai suatu perbuatan baik.
Pemahaman terhadap maqashid syariah seacara definitif memang tidak banyak disalahpahami, namun usaha mewujudkan nilai-nilai maqashid syariah itulah yang sering kali meresahkan para ulama agama yang telah berpegang teguh pada pemikiran-pemikiran ulama lintas zaman. Berpegang teguh di sini bukan berarti terjerembab dalam pikiran-pikiran ulama masa lalu, akan tetapi menjadikan turats sebagai inspirasi utama. Hal tersebut, selain merupakan bentuk apresiasi terhadap pemikiran para cendekia masa lalu, juga dalam rangka mengeja metode-metode perumusan hukum yang telah dikaji secara mendalam.