Pendidikan Pesantren dan Oknum

Belakangan ini, kita sering mendengar beberapa kasus yang menimpa dunia pendidikan Islam di Indonesia. Semisal, kasus kekerasan seksual dan penganiayaan yang tidak hanya muncul dalam lingkup sosial masyarakat, tetapi juga terjadi pada lingkungan pondok pesantren. Cukup ironi memang. Pesantren yang diharapkan dapat membentuk dan mendidik santri menjadi generasi yang bermoral, justru menampakkan wajah yang mengerikan. Tidak menutup kemungkinan, imbas dari beberapa kasus tersebut dapat mengubah penilaian publik terhadap kelangsungan proses pendidikan di dalamnya.
Meski permasalahan tersebut muncul dari lingkungan pesantren, tentu yang perlu kita pahami, bahwasanya persoalan ini bukan berasal dari sistem pendidikan yang diterapkan. Akan tetapi hal tersebut tentunya tidak dapat dilepaskan dari unsur-unsur yang berada di dalamnya. Unsur-unsur tersebut meliputi kiai, santri, ustadz, pengurus, ketertiban, keamanan, kedisiplinan dan lain sebagainya.
Kendati demikian, fokus utama dalam terselenggaranya pendidikan pesantren ditujukan pada peningkatan dan pengembangan kompetensi serta karakter santri ke arah yang lebih baik. Sebagai lembaga yang mendapat amanah untuk mendidik, pesantren harus menghadirkan kenyamanan dan keamanan dalam menjalankan proses pendidikannya. Tersebab, jika tidak ada jaminan dalam menghadirkan keduanya, maka dikhawatirkan muncul pelbagai penyimpangan dan penyelewangan oleh oknum.
Berangkat dari persoalan ini, saya jadi teringat pernyataan Gus Dur, bahwa pendidikan pesantren merupakan subkultur yang ciri-cirinya tidak dimiliki oleh lainnya. Artinya, konsep pendidikan yang diterapkan di pesantren memiliki perbedaan dan keunikan tersendiri dari pendidikan non-pesantren. Pola pengajarannya berorientasi terhadap pengaplikasian secara langsung, baik secara praktis maupun melalui interaksi dengan kiai, ustadz dan antarsantri. Pola sistemik semacam ini turut andil dalam pembentukan karakter santri serta kepribadiannya yang khas.
Pada hari ini, kita banyak menemukan pesantren baru dengan menawarkan sistem pengajaran yang modern. Tidak menutup kemungkinan, pesantren lama juga terus melakukan perubahan sistem dan menyesuaikan kebutuhan pendidikan saat ini. Namun, tidak sedikit juga kita menjumpai beberapa pesantren yang masih memegang erat sistem pengajaran tradisional dan hanya fokus mengajarkan kitab kuning, yakni pesantren salaf. Hal ini kemudian menyebabkan perbedaan sistem pengajaran yang digunakan. Namun, sistem pendidikan pesantren secara umum tidak dapat dilepaskan dari tiga komponen utama yang meliputinya, yakni kurikulum, ideologi dan tujuan.
Pertama, kurikulum. Dalam menjalankan fungsi sebagai lembaga pendidikan, pesantren menggunakan dua model, yaitu sekolah umum dan madrasah. Di samping itu pesantren sendiri juga menerapkan kurikulum yang berisi materi agama dan non-agama selain dengan metode pendidikan umum.
Pesantren juga bisa disebut sebagai lembaga pendidikan yang memiliki kurikulum sistemik. Pesantren mengatur, mendorong dan merangsang pembelajaran santri di setiap aktivitasnya, baik pada waktu di kelas maupun di luar kelas. Secara sederhana, kurikulum pesantren memiliki seperangkat unsur-unsur pendidikan yang saling berhubungan secara terpadu dan saling melengkapi. Oleh karenanya, pendidikan pesantren secara tidak langsung mampu membentuk nilai-nilai kehidupan yang ada di masyarakat. Konsep pengajaran yang kontekstual berkembang sesuai dengan realitas sosial yang ada. Pengajaran seperti ini lah yang dijadikan acuan dalam membentuk dan mendidik karakter santri. Sehingga, santri tidak hanya mendapat pelajaran secara teoritis saja, tetapi juga praktis.
Perbedaan kurikulum pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya dapat dilihat dari kemampuannya dalam menjaga nilai primordial secara swadaya. Hal ini membuat pesantren mampu bertahan dan memosisikan diri sebagai pemeran utama terhadap penyebaran nilai-nilai dalam pranata sosial masyarakat. Maka tidak heran, jika Gus Dur menganggap pesantren sebagai lembaga pendidikan yang subkultur, yakni tertutup dan kebal terhadap perkembangan zaman. Namun, bukan berarti menjadikannya sebagai lembaga yang konservatif, tetapi yang mampu mengambil langkah pembaruan guna menjawab tantangan dan kebutuhan transformasi sosial.
Kedua, ideologi. Secara fundamental, pendidikan pesantren berdiri di atas dasar yang cukup kuat. Prof. Dr. Abdul Djamil, Rektor UIN Walisongo Semarang, menjabarkannya menjadi 3 landasan ideologis: ideal, konstitusional dan teologis. Adapun landasan ideal pendidikan pesantren adalah Pancasila, yakni sila pertama yang mengandung pengertian, bahwa seluruh bangsa Indonesia harus beragama. Landasan konstitusional pendidikan pesantren juga telah tertera pada pasal 26 ayat 1 dan 4 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sedangkan secara teologis, terletak pada ajaran Islam dan perintah untuk memperdalam agama yang tertulis di dalam al-Quran dan Hadits.
Di sisi lain, pendidikan pesantren juga tetap menjaga ideologi lama yang diwariskan oleh para ulama. Seperti tetap mendasarkan diri pada nilai ketuhanan (teosentris), ilmu pengetahuan, kearifan dan kesederhanaan. Pesantren juga memandang ulama salaf sebagai pewaris Nabi yang membawa misi kebenaran al-Quran dan Hadits. Hal ini terbukti dengan tetap diajarkannya kitab-kitab kuning secara intens dari tingkat pemula hingga tingkat mahir.
Selain ideologi-ideologi yang telah dipaparkan di atas, terdapat landasan lain yang menurut saya unik dan membuat pendidikan pesantren memiliki prinsip kuat serta tidak dapat diintervensi oleh pihak lain yaitu kemandiriannya. Pesantren juga menekankan prinsip ini terhadap para santrinya, baik mengatur keperluan pribadi, kegiatan bersama antarsantri atau mengatur aktivitas batinnya sendiri. Perilaku-perilaku seperti ini kemudian dapat membentuk perilaku sosial secara efektif.
Ketiga, tujuan. Penyelenggaraan pendidikan di lingkungan pesantren tidak semata-mata berorientasi menciptakan manusia cerdas (ulama) secara intelektual saja. Akan tetapi pesantren berusaha membentuk santri sebagai manusia yang beriman, beretika, mampu mengikuti perkembangan masyarakat, berbudaya dan berketrampilan. Sehingga dari proses tersebut lahir manusia paripurna yang berguna bagi masyarakat dan bangsanya.
Melihat dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan generasi humanis dan berkompeten serta mampu bersaing dalam menghadapi tantangan peradaban. Selain itu, pendidikan pesantren tidak hanya mengembangkan ilmu keislaman, tetapi juga ilmu pengetahuan umum dan pendidikan sosial-masyarakat.
Dengan tetap berpegang pada prinsip yang fundamental, pondok pesantren mampu bertransformasi menjadi lembaga pendidikan yang multifungsi. Selain itu, dengan universalitas yang dimilikinya, pesantren hadir dengan berbagai solusi pendidikan yang ditawarkan. Pun, ia berfungsi sebagai pemberdaya manusia yang berlandaskan pada ajaran Islam dan beorientasi pada kemajuan umat serta bangsa.
Jika melihat orientasi pesantren yang sedemikian rupa, maka potensi tindak kriminal di dalamnya bisa dikatakan kecil kemungkinannya terjadi. Sehingga, berbagai kasus yang muncul di beberapa pesantren belakangan ini tidak semerta dijadikan dalih untuk menilai sistem pendidikan di dalamnya yang bobrok. Akan tetapi yang perlu dicermati adalah, kesalahan yang dilakukan seorang muslim seyogianya dikembalikan kepada personalnya bukan pada agamanya. Saya rasa poin ini perlu dipahami dengan benar.
Begitu juga halnya kesalahan oknum yang terjadi di lingkungan pesantren. Segala persoalan menyangkut pelanggaran terhadap norma-norma yang dilakukan oknum, semestinya dikembalikan pada pelakunya. Jika di tengah-tengah menjalakankan proses pendidikan terdapat oknum yang melenceng, maka yang seharusnya ditindak tegas adalah oknum tersebut. Maka hemat saya, terdapat dua hal pembeda yang mesti diketengahkan agar tidak menjadi bola liar dalam menghakimi pesantren secara general. Yaitu sistem pendidikan pesantren dan oknum yang telah menciderai sistem pendidikan tersebut. Lalu sebagai catatan, bahwa pesantren kudu transparan dan bekerjasama dalam memproses hukum yang dilakukan oknum di dalamnya.